Kemarau di Ladang, Kemarau di Pikiran
Oleh Karnita
Pendahuluan
"Di negeri ini, musim bisa berubah, tapi cara berpikir yang tumpul kadang lebih kekal dari kemarau." --- A.A. Navis
Kemarau basah sedang menguji kita, bukan hanya di ladang, tapi juga dalam cara kita menghadapi ketidakpastian hidup. BMKG memperkirakan musim ini akan berlanjut sampai Agustus, lalu memasuki masa pancaroba penuh teka-teki sebelum hujan datang kembali. Ketika cuaca pun tak menentu, pertanyaan yang muncul bukan hanya kapan hujan turun, tapi apakah kita cukup berani mengubah cara pandang, bukan sekadar menunggu datangnya perubahan?
Di tengah gejolak alam yang sulit diprediksi itu, novel klasik Kemarau karya A.A. Navis hadir sebagai cermin tajam yang masih relevan. Terbit pertama kali pada 1957, novel ini mencerminkan ketegangan hidup petani di ladang kering, di mana kemalasan kolektif dan keputusasaan menjadi bahaya nyata. Terinspirasi dari film Naked Island, Navis membingkai kisah yang menyindir umat yang sibuk beribadah namun mengabaikan kerja keras—kritik yang jenaka sekaligus pedas, ciri khas karya Navis yang tak lekang oleh waktu.
Karya ini tidak hanya menyentil kebiasaan, tapi juga menantang kita menggugat kedalaman iman di tengah era yang sering terjebak dalam kosmetika agama dan konflik tafsir. Di mana sebenarnya letak ibadah sejati? Di surau atau di ladang? Di lidah atau di tangan? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini justru semakin relevan ketika kita menghadapi realitas yang keras dan penuh ujian.
Maka, mari kita memasuki dunia Kemarau, menapak jejak Sutan Duano yang tak lelah melawan kejumudan dan kemalasan jiwa. Sebuah perjalanan yang mengajak kita bertanya—apakah kita cukup berani menjadi berbeda, walau harus berjalan sendiri? Karena kadang, perubahan besar dimulai dari keberanian kecil yang tak mudah.
Sinopsis Kemarau
Di suatu desa yang digerogoti oleh kemarau panjang, tanah bukan satu-satunya yang kering---jiwa warganya pun tampak nyaris layu. Para petani lebih memilih duduk bermalas-malasan, bermain kartu, daripada menantang terik untuk menyiram sawah yang mulai retak. Dalam kondisi seperti itu, muncullah Sutan Duano, seorang petani biasa, namun hatinya tidak ikut kering oleh keputusasaan. Ia terus mengangkat air dari danau, menyiram sawahnya sendiri, berharap ketekunannya bisa menjadi nyala kecil di tengah padang keputusasaan kolektif.