Keluarga Permana: Tragedi Sunyi dalam Rumah yang Retak
Oleh Karnita
Pendahuluan
“Setiap keluarga memiliki cerita, namun tak semua cerita bisa dibaca dengan mudah. Ada lapisan-lapisan yang tersembunyi di balik tawa dan air mata.” — Keluarga Permana, Ramadhan K.H.
Keluarga Permana adalah karya Ramadhan K.H. yang diterbitkan pertama kali pada 1978, setelah meraih penghargaan dalam Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1975. Sebagai seorang penulis, jurnalis, dan biografer, Ramadhan K.H. berhasil menyampaikan kisah keluarga yang bukan hanya personal, namun juga mencerminkan realitas sosial. Penghargaan yang diterima novel ini menegaskan pentingnya tema yang diangkat—tentang kekerasan dalam rumah tangga, konflik keluarga, dan perasaan terabaikan.
Sebagai pembaca, saya tertarik pada Keluarga Permana karena ia menguak realitas kelam dalam kehidupan rumah tangga yang sering disembunyikan. Di balik kehidupan keluarga yang tampak harmonis, tersembunyi ketegangan dan kekerasan emosional yang meruntuhkan keutuhan. Kisahnya begitu relevan dengan permasalahan sosial yang kita hadapi hari ini, terutama tentang ketimpangan kekuasaan dalam keluarga dan dampaknya terhadap perempuan.
Urgensi novel ini kini semakin terasa, mengingat banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang masih terjadi. Keluarga Permana bukan hanya sebuah karya sastra, melainkan juga sebuah cermin sosial yang mengingatkan kita tentang pentingnya memahami dinamika keluarga dan menghargai perasaan setiap anggotanya. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, novel ini tetap relevan sebagai refleksi kesulitan yang kerap dialami dalam ruang privat, namun tetap mempengaruhi kehidupan publik.
Sinopsis Novel Keluarga Permana
“Tidak ada rumah yang sepenuhnya aman dari badai, dan kadang, badai terbesar datang dari dalam sendiri.” — Ramadhan K.H., Keluarga Permana
Keluarga Permana dulunya adalah potret keluarga kecil yang hangat. Permana, sosok ayah yang dikenal bijaksana dan penuh tanggung jawab, hidup tenang bersama istrinya, Saleha, dan anak semata wayang mereka, Ida. Namun segalanya berubah ketika ia diberhentikan dari pekerjaannya secara tiba-tiba. Sejak saat itu, langit rumah tangga mereka menggelap. Permana bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga kehilangan arah hidup, kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri sebagai laki-laki dan kepala keluarga.
Perubahan sikap Permana drastis dan menyakitkan. Ia menjadi pemurung, kasar, dan mudah tersulut emosi. Rasa frustrasi dan ketidakberdayaannya kerap dilampiaskan kepada Saleha dan Ida dalam bentuk kekerasan. Saleha, yang kemudian mengambil alih peran pencari nafkah, menjadi sasaran utama kemarahan suaminya. Cemburu, curiga, bahkan fitnah datang silih berganti. Namun Saleha bertahan, bukan karena tidak punya pilihan, melainkan karena ingin menjaga utuhnya keluarga di tengah kehancuran yang terus menjalar dari hari ke hari.