Mohon tunggu...
Achmad Leandro
Achmad Leandro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilgub Papua, "Gawe" Demokrasi Pecah Belah?

30 Januari 2018   08:54 Diperbarui: 30 Januari 2018   17:24 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Orang-orang meributkan gawe demokrasi yang menghancurkan tatanan nilai-nilainya. Warisan budaya di Tanah Papua tidak mengajarkan keributan-keributan tak bermoral. Adat Papua melihat perang sebagai seni membangun tradisi bukan cara-cara picik yang serampangan dan tidak beralur. Budaya bangsa disini memberi arti kematangan berpikir dan bersikap karena Papua melahirkan hal itu se-dari dulu.

Mempolitisir nilai-nilai budaya akan menjadikan kita tidak beradab, jauh mengahargai sesama dengan segala langkah gerak kita dan tidak ada nilai bhaktinya. Sebelum gawe demokrasi pilgub Papua berkumandang semangat generasi kita menggelora, membicarakan nilai-nilai positif membangun dan memberdayakan anak bangsa. Seminar dan diskusi-diskusi kebersamaan dan keberagaman menjadi pilar penting membicarakan masa depan generasi Papua.

Gawe demokrasi menghancurkannya, semua menjadi terbalik, anak-anak bangsa saling mencibir menjatuhkan. Melihat saudara berdasar warna identitas politik dan dukungan suara. Gawe demokrasi telah menjadi tumbal perpecahan sesama kita generasi Papua. Dukungan dua kubu di pilgub Papua akan meninggalkan hilangnya semangat batu-batu barapen, tifa, dan noken serta honai-honai terbakar api emosional.

Tulisan dan status-status media social menjadi kejahatan internet yang selama ini kita takutkan. Rangkaian kata di ukir menjadi kalimat-kalimat pembunuhan karakter yang jauh dari kampanye Papua tanah damai. Musuh kita saat ini adalah diri kita sendiri, sekali lagi tumbal kejahatan adalah diri kita sendiri.

Kita memulai seni dengan cara tradisonal, meludahi muka kita sendiri. Tidak memikirkan nasib anak-anak bangsa di pelosok-pelosok daerah dengan menjual dan membeli suara mereka tanpa rasa malu. Kunci utama perebutan kekuasaan terletak pada kemahiran orang-orang berkarakter dari team-team pemenangan. Saya sarankan kepada mereka yang subjective untuk belajar cara-cara yang kita anggap tidak relevan seperti pramuka.

Menurut seorang sastrawan E.S Ito, bahwa pramuka jelas siap melakukannya, pramuka memiliki keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk operasi intelijen. Bila tokoh muda alergi bekerjasama dengan BIN, Bais atau Intelkam Polri, mereka bisa menggunakan keterampilan teknis Pramuka. Bukankah dalam era Iptek dimana kita senantiasa ketinggalan ini yang dibutuhkan adalah keterampilan sandi pada tingkat yang sangat dasar untuk kepentingan intelijen. Pramuka, bukan tokoh muda, memiliki keterampilan tersebut. Mereka menguasai morse, Smaphore dan tentu saja sandi-sandi jejak menggunakan batu,rumput dan ranting.

Jadi belajarlah kepada pramuka, mereka bekerja tanpa koar-koar. mereka menjalankan misi-misi pemenangan dengan tenang dan berkarakter. Bertindak sesudah berpikir secara matang sehingga memberi dampak untuk kemenangan strateginya. Jika anda-anda yang subjektif mendukung bakal calon gubernur, meributkan strategi dan berselisih paham tanpa dasar pijak, maka saya merekomendasikan anda untuk menemui anak-anak berseragam coklat itu untuk belajar morse dan sandi-sandi pemenangan.

Memenagkan hati rakyat harus belajar dari adat kebiasaan mereka, makan dan tidur bersama mereka. Mampu mengidentifikasi apa kemauan mereka. Apakah LUKMEN dan JWW -- HMS selalu bersama mereka ataukah tidak?. Ini menjadi pertanyaan penting dalam politik di Papua, apakah politik gunung VS pantai dalam perspektif nilai-nilai hidup bersama yang ditulis sendiri oleh Jhon Wempi Wetipo dalam bukunya dapat di implementasikan? ataukah hanya menjadi wacana ilmiah yang tertata rapih di rak-rak buku para politisi.

Mungkin juga buku yang di tulis Sendius Wonda mengenai Gubernur Papua Tokoh Pluralis, Moderat dan Modern yang menceritakan perjalanan hidup seorang Lukas Enembe hanya menjadi catatan kelam perjalanan seorang anak koteka.

Saya membayangkan buku-buku apik dengan ulasan yang menggugah rasa para pembaca ini menjadi mubazir tak terpakai. Semua menjadi khayalan dengan pertarungan politik adu domba, hitam putih dan cipta kondisi. Manfaatkan suara rakyat karena suara rakyat berasal dari para-para adat atau honai-honai orang tua untuk menggugah suara one man one voote.

Berbaik hatilah pada rakyat, stop memecah belah generasi Papua dengan jemari di media social. Membangun team dengan lintas team, memangun network dengan mengurai jaringan kusut. Gunakan cara-cara yang berbeda yang tidak dimiliki politisi-poltisi lain diluar sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun