Mohon tunggu...
Karman Mustamin
Karman Mustamin Mohon Tunggu... profesional -

Achieved a certificate from Jim Russell Racing Drivers School (JRRDS) at Donington Park, in 1993 and held a single seated racing drivers licensed from Royal Automobile Club (RAC), UK.\r\nFounder Smart Driving Institute (SDI). SDI particularly motivating and learning to the road user how to come as a low risk drivers and also develop their driving behavior.\r\nFollow me on twitter: @karman_mustamin

Selanjutnya

Tutup

Nature

Pastikan Strategi Triple Tracks via Listrik (Tanggapan atas Artikel Kusmayanto Kadiman)

22 September 2011   16:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:43 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rubrik Teknologi Kompasiana Edisi 22 September 2011, menurunkan salah satu Head Line berjudul “SBY: Menguji Strategi Triple Track via Bioenergi.” Artikel ini tak lain ditulis oleh Kusmayanto Kadiman (KK), mantan Menristek Republik Indonesia dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid-1. Tulisan ini, member inspirasi kepada saya untuk mengurai fakta-fakta lain di seputar gagasan yang terkandung di dalamnya.

Pada tulisan dimaksud, KK yang meraih gelar Doktor bidang Systems Engineering di Australian National University mensitir banyak mengenai sebuah gagasan dari situs pribadi SBY tentang triple track strategi. Entah kebetulan atau tidak, KK yang mantan Rektor ITB ketika menjalankan amanah sebagai Menristek, juga menggunakan idiom triple yang disebutnya sebagai triple helix ABG (Academicians, Businessman, dan Government). Yakni berupa sinergi tiga unsur ABG dalam kerangka komersialisasi Iptek.

Akan halnya triple track strategy versi SBY yang diklaim sebagai upaya mencapai keseimbangan sasaran dan upaya pembangunan ekonomi (pro growth), dengan dua jalur yaitu pro job dan pro poor. Lantas, dari pemikiran ini, dimunculkan salah satu pendekatan pembangunan yang menjanjikan. Seperti ditulis KK, pendekatan dimaksud tak lain dari pemberdayaan energi alternatif Bahan Bakar Nabati (BBN).

Gagasan BBN ini, seperti diuraikan KK, lahir dari pertemuan yang dikenal dengan ‘Losari Retreat’ karena berlangsung di Losari, Desa Grabag, Jawa Tengah. Pertemuan dimaksud - lebih tepatnya - sebuah rapat terbatas tetapi tidak terlalu formal antara SBY dengan beberapa kementrian, lembaga pemerintah non-kementrian serta BUMN.

Pada intinya, BBN sebagai bagian dari strategi triple track, tak lain dari upaya pencarian energy alternative dalam bentuk pengembangan bioenergi. Ada empat komoditas yang menjadi target pengembangan ini. Masing-masing tebu dan singkong untuk etanol, sawit serta jarak-pagar untuk biodiesel. Tujuannya, tentu tak lain untuk memangkas konsumsi bahan bakar yang berasal dari sumber energi fosil. Jenis bahan bakar ini, memang merupakan kebutuhan terbesar bagi aktivitas industri, transportasi dan rumah tangga.

Sungguh, gagasan ini tentulah akan menjadi sebuah keniscayaan yang patut diapresiasi, andaikan saja lahir setidaknya 20 tahun silam. Saya tidak ingin memperdebatkan, berapa energi (dikompensasi menjadi berapa biaya) yang terbuang untuk memproduksi lagi energi dari BBN ini. Apalagi bila dasar pemikirannya juga mengacu pada alasan pemanfaatan lahan untuk ditanami bahan baku BBN dimaksud. Bukankah ini justru ironi di saat efektivitas pemanfaatan lahan untuk pertanian rakyat belum optimal dan berimbas pada keharusan Indonesia mengimpor beras misalnya?

Saya hanya akan fokus pada sudut pandang sektor transportasi yang lebih spesifik; mobil. Konsumsi bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi yang menggerakkan mobil sebagai moda transportasi, harus diakui cukup besar pula. Sehingga mau tidak mau, mestinya ini termasuk dalam kalkulasi atau perhitungan, terkait dengan sebuah gagasan yang boleh jadi akan menjelma menjadi sebuah kebijakan.

Era BBN atau bahan bakar nabati di sektor industri mobil, sekarang ni boleh disebut telah mencapai penghujung masa. Pabrikan mobil, tak lagi memfokuskan riset dan pengembangannya, apalagi untuk memproduksi mobil hybrid dengan aplikasi teknologi dual-fuel. Sisa-sisa hasil temuan dari pengembangan teknologi ini, sifatnya hanya menjadi pilihan antara sambil menunggu datangnya era teknologi yang memanfaatkan sumber energi lebih terbarukan dan berbiaya rendah.

Pengembangan teknologi permobilan dual-fuel, juga sebelum ini lebih banyak untuk menyerap gabungan dua dari trio petahana. Yang pertama, minyak bumi yang diolah menjadi bensin dan yang kedua adalah gas. Sedangkan satu petahana lainnya, batu bara, lebih banyak terserap di sektor industri.

Thailand, sebagai contoh negara yang bertetangga dengan kita, sudah beberapa tahun silam memanfaatkan gas sebagai sumber energi alternatif untuk konsumsi mobil. Namun, negara ini sama sekali tidak punya pemikiran untuk mengembangkan bahan bakar nabati. Tentu, karena didasari banyak alasan dan pertimbangan pula. Namun, saya yakin lebih kepada pertimbangan trend teknologi tadi.

Kesimpulannya, bila sasaran dari gagasan BBN ini adalah pemanfaatan etanol dan biodiesel pada sektor transportasi (baca: mobil), diperlukan rekayasa teknologi permobilan itu sendiri. Lebih jauh, setidaknya Indonesia memiliki bargaining position yang kuat dengan negara industri atau produsen, agar bersedia memproduksi mobil yang bisa mengkonsumsi etanol dan biodiesel ini.

Lantas, apa yang saya bayangkan berkaitan dengan sumber energi alternatif yang lebih masuk akal bagi Indonesia?

Kembali lagi, pada acuan trend teknologi yang sedang dikembangkan industri otomotif dewasa ini. Yakni, keseriusan yang luar biasa dalam pengembangan electric car atau mobil listrik dengan teknologi plug-in. Pemanfaatan lahan yang menjadi penyokong gagasan BBN, biarlah tetap menjadi alokasi untuk menghasilkan produk pangan dan tanaman industri secara optimal. Menjadikan Indonesia menjadi surplus beras, misalnya, akan mensejahterakan rakyat petani yang juga menjadi sasaran dari triple track-nya SBY.

Sebaliknya, pemikiran menciptakan keselarasan dengan trend teknologi berupa upaya menghasilkan listrik yang berlimpah justru akan menjadi tiga lompatan ke depan (triple jump). Lompatan pertama, pemanfaatan energi alam terbarukan seperti angin, gelombang atau arus deras dan menjadikan energi fosil tetap sebagai sumber devisa. Lompatan kedua, membawa rakyat Indonesia menjadi konsumen teknologi mutakhir. Lalu lompatan ketiga, menjadikan Indonesia sebagai kawasan bebas polusi dari emisi gas buang kendaraan bermotor.

Bila mau jujur, sumber-sumber alam yang terbarukan untuk menghasilkan listrik, sebenarnya sangat berlimpah di negeri ini. Yang diperlukan, hanyalah kemauan untuk membeli teknologi yang mampu mengubah energi alam ini menjadi komoditi yang dibutuhkan.

Brasil contohnya, sekarang sudah memanfaatkan angin untuk menghasilkan energi listrik. Mereka tidak ragu untuk berkolaborasi dengan Vestas, sebuah perusahaan raksasa dalam pengembangan energi angin untuk memproduksi listrik sebesar 90 Megawatt. Indonesia, tak akan pernah kekurangan angin. Terbukti, rakyatnya banyak yang masuk angin.

Belum lagi bila bicara tentang sumber energi gelombang laut (wave power), arus deras, hingga panas matahari (solar power). Sebagai negara tropis, Indonesia dikaruniai energi seperti ini yang sangat berlimpah.

Saya pun membayangkan, suatu saat pemilik mobil di Indonesia tidak perlu lagi membeli bahan bakar bensin. Yang mereka lakukan, cukup berhenti di charge point, menarik kabel pengisian dan mencolokkannya ke stop kontak yang sudah tersedia. Cukup menunggu 15 menit, mobil-mobil ini dapat melaju kembali hingga jarak tempuh 150 km.

Ini bukan sebuah khayalan kosong tanpa fakta. Bicara Inggris misalnya, sekarang sudah tersedia 752 titik pengisian ulang atau charge point dengan katagori slow, fast dan rapid untuk mengakomodir bertambahnya unit mobil elektrik. Jumlah terbesar charge point ini memang masih tergolong memiliki kemampuan pengisian ulang yang lambat (slow). Namun, secara perlahan terus diatasi. Dari jumlah itu, sudah ada 27 point yang masuk katagori rapid.

Hebatnya, pemerintah Inggris sendiri sangat serius dengan menerbitkan peta lokasi charge point yang disebut Zap-Map. Lalu sebagai canangan berikutnya, di seluruh Inggris Raya akan ditempatkan lebih dari seribu charge point. Biaya tambahan yang digelontorkan pemerintah untuk program ini mencapai 30 juta Poundsterling.

Akankah gagasan ini bisa diwujudkan di Indonesia? Alih-alih membagi listrik untuk mobil, bukankah PLN sendiri masih sulit memenuhi kebutuhan listrik untuk industri dan rumah tangga? Jawabnya, barangkali SBY perlu sekali lagi melakukan retreat. Tapi bukan lagi di Losari sambil melihat hijaunya kebun kopi, melainkan di sepanjang pantai Pelabuhan Ratu sambil melihat gelombang dan air pasang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun