Mohon tunggu...
Karla Wulaniyati
Karla Wulaniyati Mohon Tunggu... Senang Membaca, (Kadang-kadang) Menulis, Menggambar Pola/Gambar Sederhana

Let the beauty of what you love be what you do (Rumi)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Krisis Empati di Era Digital: Mengapa Kita Harus Lebih Mindful di Media Sosial

18 Maret 2025   14:14 Diperbarui: 19 Maret 2025   10:42 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: iStockphotos

Krisis Empati di Era Digital: Mengapa Kita Harus Lebih Mindful di Media Sosial?

Sejak tidak bekerja kegiatan berseluncur di media sosial jadi memiliki jatah lebih banyak dalam hal jenis media sosialnya juga dalam waktu saat mengunjungi untuk keliling melihat-lihat kontennya.

Banyak hal baik yang bisa saya dapatkan terutama tentang informasi yang sedang saya cari, tetapi ada juga hal yang tidak baik dan tidak menyenangkannya. Hal ini terjadi karena konten yang dilihat tidak hanya yang diperlukan informasinya tetapi juga hal random yang muncul di beranda.

Salah satu yang menggangu adalah saat membaca komentar yang jauh dari empati bahkan sampai ke cyberbullying. Mengapa komentar dibaca oleh saya? Karena dari komentar saya tidak jarang mendapat informasi tambahan yang melengkapi dari konten/postingan yang dilihat.

Teknologi telah mengubah cara manusia berkomunikasi. Media sosial menjembatani jarak, memungkinkan informasi tersebar dalam hitungan detik, dan membuka ruang diskusi global. Namun, di balik kemudahannya, ada fenomena yang mengkhawatirkan yaitu krisis empati.

Saat layar menjadi perantara utama dalam interaksi sosial, batasan moral dan etika sering kali memudar. Kekerasan verbal di dunia maya---mulai dari ujaran kebencian, komentar sarkastik, hingga serangan personal---menjadi semakin umum.

Untuk artikel kali ini saya ingin menyoroti mengapa ini terjadi? Dan bagaimana mindfulness bisa membantu mengubahnya?

Ketika Dunia Maya Kehilangan Empati

Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Communication, komunikasi berbasis teks cenderung mengurangi empati karena kurangnya ekspresi wajah, intonasi suara, dan bahasa tubuh. Akibatnya, orang lebih mudah melontarkan kata-kata tanpa mempertimbangkan dampaknya.

Fenomena ini juga diperburuk oleh:

Anonimitas di internet. Identitas yang tersembunyi membuat banyak orang merasa bebas berkata kasar tanpa takut konsekuensi.

Budaya viral dan cancel culture. Kecenderungan untuk "menghakimi" seseorang secara massal membuat orang lupa bahwa di balik layar ada manusia nyata dengan perasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun