Mohon tunggu...
Karisma Wulan Sejati
Karisma Wulan Sejati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

21107020048 Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Teori Dramaturgi Erving Goffman

23 September 2022   05:35 Diperbarui: 23 September 2022   05:37 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Erving Goffman adalah seorang tokoh sosiologi aliran Chicago dan teoritisi interaksionalisme simbolik yang lahir di Mannville, Alberta, Canada pada 11 Juni 1922 serta wafat pada 19 November 1982. Goffman wafat setelah ia terpilih sebagai presiden The American Sosiological Association. Goffman berpengaruh besar terhadap interaksionalisme simbolik. 

Ia juga berperan dalam membentuk etnometodologi dan metode analisis percakapan. Erving Goffman dalam karyanya The Presentation of Self in Everyday Life (1959) membahas mengenai kajian-kajian sosiologis yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, bagaimana perilaku manusia dalam situasi sosial serta bagaimana kita terlihat oleh orang lain. Buku ini menjelaskan tentang teori dramaturgi, konsep interaksionalisme simbolik dan teori Goffman lainnya.

Saya mengenal Teori Dramaturgi Erving Goffman dari buku Teori Sosiologi Modern edisi keenam (George Ritzer -- Douglass J. Goodman) dan beberapa jurnal. Buku ini menjelaskan teori Dramaturgi sebagai gambaran bagaimana individu berinteraksi dengan masyarakat. Teori Dramaturgi adalah pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan sandiwara, pertunjukan teater, dan segala drama yang ditampilkan di atas panggung. 

Dalam pemahaman saya, Teori Dramaturgi menjadi sebuah teori tentang bagaimana seorang individu menampilkan dirinya di dunia sosial. Teori Dramaturgi juga bisa dianggap sebagai kacamata untuk melihat bahwa realitas dunia ini diibaratkan pementasan disuatu panggung. 

Kita semua adalah aktor yang siap berakting memainkan perannya masing-masing, tergantung siapa audiens, kapan, dan di mana kita berada. Didalam pertunjukan yang kita mainkan, terdapat panggung panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) (Rorong, 2018).

Panggung depan (front stage) terdiri dari audiens (orang lain) dan aktor (diri sendiri) yang akan memainkan bentuk karakter orang lain yang berbeda dari dirinya yang asli. Setiap penampilan kita akan dinilai sebagai pembangunan citra, pembentukan self-image sekaligus social image. 

Maka kita sebagai aktor pasti akan memainkan peran sebaik mungkin agar mendapatkan penilaian dan kesan dari audiens yang baik. Sedangkan panggung belakang (back stage) terdiri dari diri sendiri yang merupakan tempat para aktor kembali ke setelan awal atau dirinya sendiri yang asli tanpa harus pencitraan menjadi orang lain.

Back stage dapat diartikan sebagai tempat aktor berlatih peran dan teknik akting serta melakukan usaha-usaha untuk mendukung penampilannya. Back stage juga disebut sebagai tempat untuk mengekspeksikan diri sendiri serta tempat di mana terdapat fakta yang disembunyikan di panggung depan.

Kita semua pasti seringkali melihat atau menilai orang lain, kok kelihatannya hidupnya enak sekali ya? Kok hidupnya seperti tidak ada masalah dan beban? Kok dia hedon sekali ya? Kita seringkali menilai seorang individu hanya dengan apa yang kita lihat di media sosial atau menilai orang yang tergolong baru untuk kita. Mungkin bagi sebagian orang apa yang mereka tampilkan memanglah sebuah fakta kehidupan mereka secara apa adanya. Tetapi ada pun seorang individu yang bermain peran ketika berinteraksi sosial. 

Mereka enggan untuk menunjukkan diri mereka apa adanya karena berbegai macam alasan. Sebagai contoh gaya hidup hedonisme dan konsumerisme di kalangan mahasiswa (contoh ini berdasarkan apa yang saya lihat dari story teman saya). 

Front stage mahasiswa ketika melakukan gaya hidup hedonisme dan konsumisme adalah gemar bersenang-senang dengan selalu nongkrong di kafe, pergi ke tempat hiburan malam (dugem), berfoya-foya, berbelanja barang mahal dan branded di mall, dan memilih kos dengan tarif sewa yang mahal. Hal tersebut dilakukan untuk menampilkan kesan hedon, fasionable, kekinian, ingin menunjukkan kelas sosialnya serta agar dapat diterima oleh komunitas yang mereka tuju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun