Mohon tunggu...
kardianus manfour
kardianus manfour Mohon Tunggu... Editor - belajar mencintai kebijaksanaan hidup

mahasiswa filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami dan Menemukan Brahman dan Atman dalam Realitas Sehari-hari

22 November 2019   22:52 Diperbarui: 25 Juni 2021   02:35 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(unsplash/inaki del olmo)

Di India, tidak seperti Barat, perbedaan antara filsafat dan agama sangat tipis sehingga yang satu sering mengalir ke yang lain, menjadikan filsafatnya sama religiusnya dengan filsafat agamanya. Pada zaman kuno, para filsuf India kuno memahami bahwa yang tertinggi atau yang paling utama memanifestasikan dirinya secara tidak langsung hanya di dunia fenomenal dengan beberapa kasus luar biasa. 

Dengan kata lain, kita tidak bisa menghargainya secara langsung tetapi hanya secara tidak langsung di dunia empiris kita. Makhluk tertinggi ini seharusnya ada tidak secara fisik tetapi secara metafisik dalam bentuk yang tak terlihat di balik dunia yang fenomenal. Dari sinilah ditemukan bahwa unsur yang tertinggi adalah Brahman.

[1] Gagasan ini diberikan, misalnya, dalam ungkapan bahwa makhluk tertinggi, Brahman, disebut 'tidak terwujud' (Avyakta) dan digambarkan berada di luar indra (Atndriya) dan ditangkap oleh beberapa tanda (lingagr ahya ).

[2] Brahman disebut sebagai "sesuatu"  yang dari padanya segala sesuatu yang lain dapat ada dan yang telah membuat segala sesuatu yang lain itu menjadi agung. Nama yang diberikan kepada "sesuatu" ini adalah Brahman yang berarti "yang membuat menjadi agung."

Baca juga : Relasi Brahman dan Atman dalam Filosofi Manusia Hindu

 Brahman Sebagai Asas Alam Semesta

Realitas sehari-hari atau fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari merupakan percikan dari realitas tertinggi yakni Brahman. Dengan demikian, orang mulai mendekati dan melihat realitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. 

Mereka mulai menggali dan mendalami serta  mengidentifikasikan realitas tertinggi itu dengan lambang-lambang religius dan upacara-upacara, atau dengan benda-benda alam seperti matahari dan bulan, atau dengan fungsi-fungsi psikologis tertentu dari manusia. Lalu muncul persoalan di sini. 

Bukankah Brahman itu sebagai realitas tertinggi tidak terbatas pada upacara-upacara atau lambang atau dengan benda-benda alam? Mengapa para filsuf India kuno mencoba mengidentifikasi realitas tertinggi dengan realitas dunia yang terbatas? Para filsuf menyadari hal ini dan mereka mulai menggunakan cara lain untuk mendefenisikan Brahman yakni jalan negatif.  

 Mereka mengatakan bahwa Brahman sebagai realitas yang tidak terbatas,  tidak dapat dilihat oleh mata manusia.  Indra penglihatan manusia hanya mampu melihat realitas yang terbatas. Brahman  tidak dapat dimengerti, karena akal manusia hanya mampu menangkap sesuatu yag dapat dimengerti. 

Brahman melampaui pemikiran, maka dia tidak dapat dikonsepkan oleh pikiran. Brahman itu tanpa mata atau telinga, tanpa tangan atau kaki, tak berakhir, masuk ke dalam segala hal dan hadir di mana-mana, dialah yang tidak dapat berubah, yang dipandang si bijak sebagai sumber dari segala sesuatu yang ada.[3] Pada akhirnya brahman tetap tinggal dalam suatu misteri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun