Mohon tunggu...
BEDAH BUKU
BEDAH BUKU Mohon Tunggu... Jurnalis - RUMAH ASIK

#alamdilema

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Alternative Maluku Utara

21 Februari 2022   01:19 Diperbarui: 21 Februari 2022   09:09 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PENDAHULUAN
Untuk menjadi manusia harus menjalin hubungan dengan sesama dan dengan dunia. Menjadi manusia berarti mengalami dunia sebagai realitas obyektif, yang tidak tergantung pada siap pun, dan dapat mengerti. Binatang hanyut dalam realitas dan tidak dapat berhubungan dengan dunia. Mereka hanya lah makhluk yang berinteraksi. Sedangkan keterpisahaan dan keterbukaan manusia  terhadap dunia mencirikan manusia sebagai ada yang terikat. Manusia sangat berbeda dengan binatang, mereka tidak hanya ada di dalam dunia, tetapi ada bersama dengan dunia. Oleh karena manusia diharapkan dapat membagi peranan dia dalam segala hal tentang persoalan-persoalan dunia, untuk menghadapi tantangan-tantangan lingkungan yang nantinya sangat berbeda, bahkan terhadap tantangan yang sama, reaksi manusia seharusnya tidaklah terbatas hanya dalam satu  pola saja, guna menanggapi semua itu, manusia harus mengatur diri, memilih tanggapan terbaik, mengujinya lagi, bertindak, dan mengubah tindakan-tindakannya. Manusia melakukan semua itu seharusnya dengan sadar, agar manusia dapat menggunakan itu sebagai alat untuk menentukan dan menyelesaikan masalah. Kita sadari bersama bahwasanya kita sebagai manusia sangatlah berhubungan dengan dunia secara kritis, yang di mana kita mengenal dan memahami data-data obyektif dari realitas (dan juga jalinan satu data dengan lainnya) melalui refleksi, dan bukan hanya secara refleksi seperti halnya binatang.


Dalam melakukan persepsi yang kritis, kita juga menyadari temporalitasnya. Untuk mengatasi dimensi tunggal, manusia mampu menjangkau hari kemarin, mengenai hari ini, dan menemukan hari esok. Dan dari dimensi waktu lah suatu penemuan yang sangat mendasar dalam sejarah kebudayaan manusia.


Dalam kebudayaan buta huruf, ‘penyempitan” waktu yang dianggap tidak terbatas menghambat manusia untuk mencapai kesadaran waktu sehingga kepekaan historis tidak dimiliki, ketidak mampunya untuk muncul dari waktu yang menenggelamkannya dan mengurungnya dalam dimensi yang tunggal “hari ini” tanpa ada alasan kesadaran, akhirnya manusia berada dalam waktu yang di dalam, di luar, mewarisi, melibatkan, dan mengubah. Padahal kita sadari bersama bahwa manusia tidak terpenjara secara permanen, melainkan hadir dalam pertimbangan keduniaan dan menjadikan manusia untuk temporal.


Begitu juga halnya ketika manusia hadir dalam waktu dan menyadari adanya temporalitas, dan memaksakan diri untuk terbebas dari dunia akan sangat berpotensi terhadap konsekuensi. Maka perlu disadari manusia untuk tidak pasif dan tidak terbatas pada suasana alami (biologis), melainkan peranan juga dalam dimensi kreatif, maka itu lah alasan manusia untuk dapat memasuki realitas dan dapat mengubahnya. Dengan mewarisi pengalaman-pengalaman, mencipta dana menciptakan kembali, mengintegrasikan diri dengan lingkungan, menanggapi tentangan-tantangan, melihat diri secara obyektif, merenung dan mengatasi, manusia memasuki bidang yang khas manusiawi, yakni sejarah dan kebudayaan.


Pada fenomena yang digambarkan di atas ada semacam transisi yang nantinya akan dialami oleh manusia itu sendiri dan mau tidak mau manusia harus dapat menyesuaikan hal tersebut, dari awal masa transisi adalah sebuah alasan untuk dijadikan sebagai spektrum perubahan atau seringkali kita kenal dengan peradaban yang baru (Era Revolusi Industri 4.0). transisi zaman ini menjadi sebuah dorongan yang riil untuk dihadapi oleh setiap negara-negara agar proses penyesuaian zaman tersebut dapat disesuaikan oleh masyarakat, dalam pembentukan peranan untuk penyesuaian manusia diperlukan sistem dan pemahaman agar tidak keliru dalam proses implementasinya untuk membentuk kualitas setiap SDM setiap negara. 


Langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah bagaimana dapat membentuk sebuah tatanan yang baru sehingga lahirnya nilai yang dihasilkan dan dirasakan oleh masyarakat secara adil, mau tidak mau pemerintah harus membentuk dan mengatur regulasi yang sangat pas, layaknya pendidikan yang sangat memiliki andil khusus diperlukan untuk masyarakat yang baru lahir ini ialah pendidikan kritis yang akan membantu terbentuknya sikap-sikap kritis, mengangkat kesadaran transitif-naif rakyat yang telah menenggelamkannya dalam proses sejarah dan membuatnya mudah termakan irasionalitas.


Hanya pendidikan yang memperlancar pergeseran kesadaran transitif-naif ke kesadaran transitif-kritis yang akan mengembangkan kemampuan manusia untuk melihat tantangan-tantangan dari zamannya, yang nantinya dapat menyiapkan rakyat untuk melawan kecenderungan emosional dari masa transisi semakin cepat kemajuan zaman akan berdampak pada kecepatan transisi rakyat Indonesia yang bergerak dan bergeser pada  arah posisi irasional, untuk itu perlu adanya kecepatan dalam pembangunan pendidikan yang secepatnya guna mendorong sikap-sikap kritis dari para pelajar untuk mengaktualisasi teori dan gagasan terhadap masyarakat, tidak hanya diperlukan persoalan pembaharuan lembaga-lembaga pendidikan, akan tetapi juga aspek-aspek edukatif dan organisatoris dari lembaga-lembaga lain, untuk membangkitkan pendekatan total terhadap tanggung jawab serta keputusan-keputusan sosial dan politik.

 “Dalam masyarakat dimana perubahan-perubahan utama dijadikan melalui musyawarah, dan dimana penilaian kembali harus didasarkan atas persetujuan dan pandangan intelektual, maka diperlukan sistem pendidikan yang sama sekali baru, yakni sistem yang musatkan segala upaya untuk mengembangkan kekuatan intelektual dan menghasilkan kerangka berpikir yang dapat memikul beban skeptisisme, dan tidak panik manakala banyak kebiasaan-kebiasaan berpikir mulai melenyap."^40
Mahasiswa bukan lagi menjadi objek sosialisasi yang dibentuk dan dipengaruhi orang lain untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan para pemegang otoritas, dalam hal ini kampus tempat dimana mereka menimba ilmu. Kampus sebagai penyelenggara pendidikan tinggi tidak cukup hanya memberi tambahan pengetahuan saja, tetapi kampus harus mampu membekali mahasiswa dengan rasa percaya diri yang kuat. Orientasi belajar yang ditekankan pada mahasiswa sebagai orang dewas haruslah berpusat pada kehidupan, sehingga mereka tidak hanya berfokus pada nilai yang akan mereka dapatkan di akhir masa semester atau ijzah yang akan mereka dapatkan di akhir masa perkuliahannya, tetapi juga ilmu yang nantinya menjadi bahan pertimbangan apa yang mereka dapatkan di kampus harus mampu meningkatkan taraf hidupnya dan dijadikan sebagai pengetahuan dalam pemetaan konsep untuk menemukan solusi maupun mampu membentuk sebuah gagasan baru yang nantinya berdampak pada masyarakat Indonesia. Menurut Knowles (2002) terdapat empat asumsi utama yang membedakan pendidikan orang dewasa dengan anak-anak, yaitu: (a) perbedaan dalam konsep diri dimana orang dewasa memiliki konsep diri yang mandiri dan tidak bergantung bersifat pengarahan diri, (b) perbedaan pengalam, dimana orang dewasa mengumpulkan pengalaman yang makin meluas, yang menjadi sumber daya yang kaya dalam keadaan belajar, (c) kesiapan untuk belajar, dimana orang dewasa ingin mempelajari bidang permasalahan yang kini mereka hadapi dan anggap relevan, dan yang terakhir adalah (d) perbedaan dalam orientasi ke arah kegiatan belajar, dimana orang dewasa orientasinya berpusat pada masalah. Berdasarkan pada hal tersebut diperlukan upaya yang maksimal dari sebuah program studi di perguruan tinggi untuk mampu menjawab tantangan yang ada dan mampu memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai pada harapan dan keinginan dari mahasiswa sebagai orang dewasa yang ingin menemukan identitas dan jati dirinya serta mampu memberikan sumbangsih pada masyarakat umum.
 

Ditambah lagi dengan adanya globalisasi yang telah mengakibatkan perubahan pada keseluruhan kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya sektor pendidikan dan ketenagakerjaan. Mobilitas tenaga kerja yang telah berlaku global memberikan tantangan tersendiri bagi perguruan tinggi untuk mampu menghasilkan mahasiswa yang mampu bersaing dengan tenaga kerja asing. Era revolusi industri 4.0 merupakan tantangan berat bagi pendidikan di Indonesia. Revolusi industri keempat (4.0) mengubah ekonomi, pekerjaan, dan bahkan masyarakat itu sendiri Hakikat Industri 4.0, merupakan penggabungan teknologi fisik dan digital melalui analitik, kecerdasan buatan, teknologi kognitif, dan Internet of Things (IoT) untuk menciptakan perusahaan digital yang saling terkait dan mampu menghasilkan keputusan yang lebih tepat.


Perubahan tersebut memerlukan karakter yang kuat, khususnya karakter religius, sebagai upaya untuk membekali generasi penerus agar memiliki karakter yang baik, ketrampilan literasi yang tinggi, dan memiliki kompetensi unggul abad 21. Hal tersebut menjadi alasan penting bagi para pelajar yang nantinya mengalami dan menangkap fenomena tersebut oleh karena itu peranan dan fungsi mahasiswa harus dapat diaktifkan kembali lagi secara kongkret. Mahasiswa merupakan orang dewasa yang dalam perspektif pendidikan mengarahkan dirinya pada pencapaian identitas dan jati diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun