Mohon tunggu...
Kanzi Pratama A.N
Kanzi Pratama A.N Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Jadikan membaca dan menulis sebagai budaya kaum intelektual dalam berpikir dan bertindak!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Opini: Gender dalam Kebijakan Luar Negeri

17 Oktober 2021   07:00 Diperbarui: 17 Oktober 2021   07:02 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam penyusunan kebijakan luar negeri berdampak pada perbedaan sikap-sikap politik dan tindakan. Inilah yang disebut dengan "gender opinion gap" yang semakin menjelaskan bagaimana laki-laki dan perempuan memandang sebuah isu termasuk cara memandang peperangan dan tindak kekerasan. Sebagai contoh perang Amerika Serikat dengan Irak tahun 2003, dimana peran laki-laki lebih besar dibandingkan peran perempuan. 

Dapat diidentifikasi bahwa terdapat gender gap terdapat di banyak tempat dan kasus. Cross National Surveys mengemukakan bahwa ditemukan gender gap di seluruh dunia. Gender gap hadir sebab faktor biologis dan faktor sosial. Perlu diketahui bahwa gender tidak sama dengan jenis kelamin dan perilaku laki-laki atau perempuan didasari oleh peran yang telah dijlankan sebelumnya. Sederhana, gender merupakan sikap atau perilaku manusia sedangkan jenis kelamin digolongkan sebagai seks. 

Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa perilaku dapat dikontrol oleh sifat-sifat bilologis. Mansfield : 2006 menyatakan bahwa perilaku agresif manusia berkaitan erat dengan seks. John T. Rourke berpedapat bahwa manusia dapat bertindak agresif atau dapat menunjukkan kegelisahan. Namun secara alamiah, laki-laki lebih menonjolkan "kejantannnya". Kejantanan yang ditunjukkan dapat berwujud penguasaan. Penguasaan dapat berbentuk wilayah teritorial dan mempertahankan wilayah. 

Konsep inilah yang digunakan dalam penyusunan kebijakan luar negeri baik untuk laki-laki dan perempuan. Dalam perjalanannya, laki-laki cenderung dipilih untuk memimpin layaknya pendapat Kenneally : 2006 bahwa "pria jantan memegang kendali saat mengendalikan dan sulit diperebutkan darinya". Akibatnya muncul dorongan kaum perempuan untuk melakukan penyetaraan melalui representasi dalam penyusunan kebijakan luar negeri dan pertahanan dalam konteks politik global. 

Hal ini tidak berarti bahwa jika dipimpin oleh laki-laki maka tidak ada kerentanan akan konflik atau permusuhan (Francis Fukuyama : 1998). Florea : 2003 beropini bahwa dunia yang dipimpin oleh perempuan maka terdapat sedikit kerentanan terhadap konflik dan cenderung menciptakan situasi damai dan kooperatif. Dari penjelasan tersebut, maka perempuan bersifat kolaboratif dengan upaya negosiasi dan resolusi konflik dibandingkan dengan laki-laki yang berifat konfliktual. Beberapa hasil studi juga menunjukkan jika di masa depan perempuan akan berperan sangat penting dalam penyusunan dan penetapan kebijakan (Caprioli : 2002).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun