Mohon tunggu...
Kanya Prasetyo
Kanya Prasetyo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencegah "Tragedy of The Commons" di Teluk Sawai dengan Sasi

24 Oktober 2018   19:58 Diperbarui: 17 November 2018   08:23 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi sebagian orang, laut mungkin terlihat memiliki sumber daya yang tak terbatas karena biota di dalamnya dapat bereproduksi. Hal ini yang menyebabkan banyak orang mengeksploitasi bahkan merusak sumber daya laut. Padahal, sumber daya laut juga membutuhkan waktu untuk regenerasi. Jika semua ikan ditangkap, termasuk ikan-ikan kecil, lantas bagaimana ikan-ikan tersebut akan tumbuh dewasa dan berkembang biak. Jika semua orang dapat memanfaatkan laut dengan seenaknya, apakah generasi mendatang masih dapat menikmatinya?

Tidak adanya aturan atau hukum yang mengatur pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan dapat mengakibatkan terjadinya “tragedy of the commons”. Tragedy of the commons, sebuah konsep yang dipopulerkan Garrett Hardin (1968) menunjukkan situasi pemanfaatan sumber daya bersama (commons) di mana setiap individu bertindak demi keuntungan pribadi sehingga menyebabkan berkurangnya sumber daya tersebut.

Berkenaan dengan konsep Hardin, Elinor Ostrom dalam Araral (2014) berpendapat bahwa tragedy of the commons dapat dihindari dengan adanya pengelolaan kolektif atas sumber daya bersama (commons). Di Kepulauan Maluku pengelolaan kolektif ini dikenal dengan nama sasi.

Pengelolaan laut untuk menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat Maluku menjadi hal yang penting. Mengingat kehidupan bahari di Kepulauan Maluku tak lepas dari pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan karena 90% wilayah Provinsi Maluku adalah lautan (BPS Maluku, 2017). Sejak abad ke-17 masyarakat Maluku telah menyadari pentingnya pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan secara berkelanjutan di mana mereka menerapkan suatu sistem adat yang disebut sasi.

Sasi, sebuah kearifan lokal untuk menjaga sumber daya perikanan dan kelautan telah diberlakukan secara luas di Kepulauan Maluku, yakni di Pulau Buru, Seram, Ambon, Lease, Watubela, Banda, Key, Aru, dan Kepulauan Barat Daya. Tidak hanya itu, tradisi sasi juga dapat ditemukan di pulau Papua dan kepulauan sekitarnya. Namun, ternyata ada beberapa daerah yang tidak menerapkan sasi, seperti wilayah sekitar Teluk Sawai yang berada di Kecamatan Seram Utara dan Seram Utara Barat, Kabupaten Maluku Tengah.

Di 2 kecamatan tersebut ada 13 desa yang wilayahnya berbatasan dengan laut. Namun, dari hasil wawancara dan observasi, diketahui sistem sasi tidak diberlakukan di wilayah tersebut. Hal ini menjadi temuan menarik dan unik karena pada umumnya setiap daerah di Maluku memiliki sejumlah sasi, antara lain 1) sasi laut, sasi sungai, sasi darat, sasi binatang, 2) sasi pribadi, dan 3) sasi agama. Pada umumnya sasi laut diterapkan di laut sesuai kesepakatan antara pemerintah adat dan masyarakat setempat.

Menurut Nikijuluw (2002), sasi laut (marine tenure) ialah suatu sistem kelembagaan yang mengatur larangan penangkapan sumber daya perikanan dalam suatu periode waktu tertentu agar dapat berkembang biak hingga mencapai ukuran konsumsi dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Sasi juga memberlakukan sanksi sosial bila terjadi pelanggaran.

Hal di atas justru tidak ditemukan di desa-desa pesisir sekitar Teluk Sawai yang terletak di Kec. Seram Utara & Kec. Seram Utara Barat. Hal ini tentu menjadi anomali dengan wilayah pesisir lainnya di Maluku. Dari wawancara di desa-desa tersebut, tak seorang pun tahu apakah sasi pernah atau tidak pernah diterapkan. Jika sasi pernah diterapkan dan sekarang tidak lagi, maka bisa jadi sasi tersebut kalah dengan arus modernisasi perikanan seperti yang dipaparkan Latuconsina (2009).

Selama ini, tanpa adanya sasi nelayan bisa bebas mengambil sumber daya yang ada di laut. Sayangnya, sebagian besar nelayan di desa-desa tersebut mengaku bahwa hasil tangkapan ikan sudah berkurang dan terumbu karang semakin rusak. Selain itu, ada potensi konflik antara nelayan lokal dengan nelayan luar yang menangkap di perairan sekitar Teluk Sawai. 

Berdasarkan observasi dan wawancara dengan beberapa orang nelayan, meskipun hukum sasi tidak diterapkan, mereka sebenarnya mendukung adanya pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Pengelolaan secara berkelanjutan dapat diterapkan secara adat seperti sasi atau secara formal dari pemerintah daerah.

Penerapan sasi dapat menjadi salah satu solusi pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan secara efektif, efisien, dan berkelanjutan di Teluk Sawai. Terlebih, UU no.31/2004 tentang Perikanan juga mengakui pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan hukum adat dan peran serta masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun