Mohon tunggu...
Kanopi FEUI
Kanopi FEUI Mohon Tunggu... -

Untuk artikel terbaru dari Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (Kanopi) FEBUI, silahkan kunjungi dan ikuti akun baru kami: http://kompasiana.com/kanopi_febui

Selanjutnya

Tutup

Money

Pertalite: Ya atau Tidak?

26 September 2015   12:46 Diperbarui: 14 September 2016   11:27 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah Pertalite memang mengurangi ketergantungan terhadap premium? Bahan bakar baru ini telah diluncurkan pada Mei dengan tingkat oktan 90. Petralite juga dikabarkan lebih ramah lingkungan dan juga cocok untuk rata-rata mobil yang digunakan masyarakat Indonesia. Pertalite diluncurkan dengan harga sekitar Rp 8000 – Rp 8300 per liter dengan harapan akan mengurangi impor premium.1 Namun, peluncuran bahan bakar baru ini tetap menimbulkan kontroversi.

Lagi-Lagi Harga

Harga Pertalite yang lebih mahal daripada harga Premium meskipun lebih murah dari Pertamax tidak disambut baik oleh sebagian lapisan masyarakat. Terutama, masyarakat yang memang tidak rela subsidi Premium dicabut. Argumen yang disampaikan masih berkisar bahwa harga BBM yang mahal akan meningkatkan harga-harga kebutuhan pokok.2 Belum lagi, harga-harga komoditas umum masih akan naik lebih mahal lagi daripada semata-mata karena harga BBM, tetapi karena Bulan Suci Ramadhan yang sudah dekat.

Hal yang menarik dari kontroversi harga bahan bakar kali ini adalah protes mengenai harga BBM tidak hanya datang dari masyarakat menengah ke bawah, tapi juga dari Tim Anti-Mafia Migas. Menurut Faisal Basri, peluncuran Pertalite ini bertentangan dengan rekomendasi Tim yang mengusulkan perpindahan dari Premium ke Pertamax.3 Tim juga menegaskan bahwa yang perlu dilakukan sekarang ini adalah menentukan harga BBM secara transparan dan ada indikator yang jelas. Timbulnya kontroversi berasal dari fakta bahwa setidaknya di Asia Tenggara, BBM Oktan 90 tidak di jual sehingga sulit menentukan indikator pembanding harga. Harga Pertalite pun akhirnya ditentukan dengan menggunakan rumus yang baru. Hal ini kemudian dianggap mencurigakan.

Keuntungan

Menurut saya pribadi, terdapat beberapa hal mengapa keuntungan Pertalite yang sudah dipaparkan sebelumnya merupakan hal-hal yang dibutuhkan Indonesia untuk berkembang. Menurut berbagai tokoh, Pertalite merupakan BBM yang lebih ramah lingkungan dan lebih merawat mesin mobil. Melihat tingginya tingkat polusi udara di ibukota, tentu bahan bakar yang lebih sedikit ‘berasap’, berapa kecil pun selisihnya, harus disambut. Belum lagi harga minyak yang lebih mahal bisa menjadi alat untuk membuat masyarakat lebih enggan membeli kendaraan pribadi.

Dari sisi masyarakat menengah kebawah, memang akan cukup berat untuk masa-masa awal kemungkinan terjadinya kenaikan harga barang-barang akibat Pertalite (meskipun karena Premium tidak ditarik seiring dengan peluncuran Pertalite menurut saya masyarakat akan lebih membeli Premium yang lebih murah harganya). Namun, kesulitan ini pasti akan terjadi cepat atau lambat melihat tren umum harga minyak dunia yang cenderung naik ketimbang pendapatan negara kita yang makin menurun. Harapan bagi mereka memang hanya kepada keberhasilan program-program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kecil.

Kerugian

Banyak hal-hal negatif yang menyelubungi peluncuran Pertalite ke dalam pasar. Seperti yang sudah dibahas, mekanisme penentuan harga Pertalite yang mencurigakan ini memang sangat mengundang bagi mafia-mafia migas. Harga ditentukan oleh rumus yang dihitung oleh Pertamina tanpa ada referensi perbandingan harga karena BBM dengan oktan 90 memang tidak dijual di Asia Tenggara. Tanpa perbandingan harga pasar, oknum-oknum rakus bisa menetapkan harga sekena hati di atas biaya produksi karena tidak ada pembandingnya.

Selain hal itu, menurut saya pribadi, bahan bakar ‘peralihan’ dari Premium ke Pertamax tidak terlalu dibutuhkan. Hal ini malah akan mengurangi insentif penurunan harga Pertamax. Rupanya di negara tetangga seperti Malaysia, harga BBM setara Pertamax bisa lebih murah dari harga Premium tak bersubsidi di Indonesia4. Belum ada penjelasan yang memuaskan mengapa hal ini bisa terjadi. Sejauh ini baru disimpulkan harga di Indonesia lebih mahal karena inefisiensi distribusi BBM dan juga karena di Indonesia lebih banyak kilangan untuk BBM bersubsidi seperti Premium dan Solar sementara hanya ada satu kilangan untuk BBM seperti Pertamax, yaitu di kilang Balongan. Bila kita bisa mendapatkan BBM berkualitas oktan 92 dengan harga dibawah Premium, mengapa tidak kita usahakan? Keberadaan Pertalite tidak akan menstimulus usaha-usaha pembangunan infrastruktur pendukung produksi Pertamax dan mungkin cenderung menguranginya karena harganya yang lebih murah dan iming-iming bahwa Pertalite lebih ramah lingkungan dari Premium.

Pada akhirnya, menurut saya, peluncuran Pertalite ini mencurigakan, apalagi dengan cara penetapan harga yang tidak sesuai dengan observasi harga pasar.  Memang, Pertalite lebih ramah lingkungan ketimbang Premium yang hanya memiliki oktan 88. Akan tetapi, saya lebih setuju dengan langsung pindah ke Pertamax yang kandungan oktannya jauh lebih tinggi yang otomatis lebih ramah lingkungan lagi dari Pertalite. Mengenai masalah mafia migas, menurut saya memang semua sektor komoditas yang padat modal dan pionir rentan mafia, terutama komoditas sumber daya alam. Apalagi dengan panjangnya proses birokrasi dan fakta bahwa sektor-sektor ini memang kurang transparan kepada publik. Oleh karena itu, sebaiknya kita mengurangi proyek-proyek yang rentan mafia sampai mekanisme transparansi dan pengawasan sektor-sektor rawan seperti ini selesai dibenahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun