Mohon tunggu...
Kanopi FEUI
Kanopi FEUI Mohon Tunggu... -

Untuk artikel terbaru dari Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (Kanopi) FEBUI, silahkan kunjungi dan ikuti akun baru kami: http://kompasiana.com/kanopi_febui

Selanjutnya

Tutup

Money

Foreign Direct Investment: Solusi untuk Indonesia?

20 November 2015   21:00 Diperbarui: 20 November 2015   21:53 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Foreign Direct Investment (FDI) dinyatakan sebagai kunci utama Presiden Joko Widodo untuk meraih pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen pada akhir masa kepresidenannya, tahun 2019. Sebagai salah satu komponen kuat yang mampu mengembangkan GDP (Gross Domestic Product) Negara, membuat peluang FDI dipertanyakan. Seberapa signifikan kah peran FDI? Apa saja kontribusinya bagi pengembangan Indonesia?

Menurut data dari BPKM (Indonesia Investment Coordinating Board), FDI meningkat sebesar 14% menjadi IDR 82 trilliun dalam periode bulan Januari hingga Maret, dan meningkat sebesar 18,2% menjadi IDR 92,2 trilliun dalam periode bulan April hingga Juni. Peningkatan yang bergerak selangkah demi selangkah ini membuat FDI berkontribusi sebesar 66% dari total investasi. Tentunya didukung juga oleh investor domestik, yang meningkat sebesar 12,3% pada periode bulan April hingga Juni menjadi IDR 42.9 trilliun. Hingga pada akhir Juli, total investasi Indonesia telah mencapai IDR 135.1 trilliun.

Kontribusi dari FDI yang berbobot 66% menunjukan bahwa investasi asing di Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan domestik. Sangat disayangkan, padahal investor domestik semestinya lebih loyal terhadap Negeri sendiri. Salah satu alasannya mungkin didasari oleh faktor umur, karena 70% dari total populasi di Indonesia berumur dibawah 40 tahun.

Dengan kecenderungan umur yang masih muda, kebanyakan masyarakat Indonesia tidak tertarik untuk berinvestasi karena umur yang masih jauh dari pensiun. Sehingga, masyarakat Indonesia cenderung konsumtif dan mengakibatkan investasi domestik tergolong minor. Akibat dari situasi ini, dapat divisualisasikan ketergantungan Indonesia lebih mencondong terhadap FDI.

Dalam 24th World Economic Forum (WEF) April lalu, Presiden Joko Widodo menjelaskan targetnya dalam membimbing perekonomian Indonesia. Menurutnya, Indonesia harus berkembang dan maju dari sektor agriculture ke sektor manufacturing, agar memiliki industri dalam negeri dan human capital yang lebih berkembang. Serta, dibutuhkannya juga pembangunan infrastruktur, karena dengan keadaan infrastruktur fisik Indonesia yang masih lemah berdampak pada kurangnya daya saing pebisnis di Indonesia.

  Dengan itu, FDI merupakan salah satu sumber dana untuk membiayai pengembangan ini. WEF membuka kesempatan bagi Presiden Joko Widodo untuk menarik minat investor asing, dan dengan mempertimbangkan kepentingan FDI yang sangat besar, tokoh-tokoh pergerak ekonomi di Indonesia setuju untuk mengurangi kesulitan birokrasi agar investasi di Indonesia terlihat lebih menarik.

Menurut laporan daya saing global yang dirilis oleh WEF tahun 2011-2012 kawasan ASEAN, dipercaya bahwa tiga faktor yang menghalangi potensi FDI ke Indonesia adalah birokrasi, korupsi, dan infrastruktur. Indonesia menempati peringkat ke 3 se-ASEAN sebagai negara dengan birokrasi tinggi, pangkat ke 1 memiliki indeks korupsi tertinggi diantara 10 negara ASEAN, dan kondisi infrasruktur fisik urutan 76 yang memiliki fasilitas pelabuhan dengan urutan ke 103 dan keterbatasan pasokan listrik urutan ke 98.

Selain menghambat potensi FDI, ketiga faktor ini juga memberikan implikasi negatif terhadap daya saing industri di Indonesia. Menurut Sofyan Wanandi, selaku Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), daya saing industri akan semakin kuat jika biayanya lebih kecil. Sedangkan, beban birokrasi bagi industri di Indonesia dapat mencapai 19% dibandingkan dengan Negara tetangga yang hanya dibebani sebesar 9%. Membuktikan bahwa peringkat ini bersangkutan dengan situasi Indonesia sekarang yang memiliki daya saing industri kurang berkompeten.

Data statistika ini menunjukan posisi Indonesia yang masih tidak diuntungkan. Maka dari itu, menteri perokonomian Indonesia, Sofyan Djalil memberikan pernyatan dukungan di WEF mengenai rencana pengurangan syarat birokrasi dan pajak. Pernyataan ini membuahkan hasil yang cukup signifikan dengan FDI yang meningkat sebesar 18,2% di periode bulan April hingga Juni setelah WEF diselenggarakan.

Melihat perkembangan FDI yang masuk ke Indonesia, menunjukan bahwa Indonesia memiliki funding. Menurut data BPKM, Sekitar USD $2.16 billion, digunakan untuk perkembangan transportasi, gudang, dan telekomunikasi. Sekitar USD $1.05 billion dan USD 631 million, digunakan untuk sektor konstruksi dan pertambangan negara. Sektor-sektor ini dikategorikan sebagai pembangunan infrastruktur negeri. Progres yang tercatat bulan Juli 2015 ini, membuahkan hasil yang cukup maksimal layaknya terbangun 493.552 unit pembangunan rumah tersebar di seluruh Indonesia, sesuai dengan program satu juta rumah Jokowi.

Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) optimis bahwa program tersebut dapat mencapai lebih dari 50% dari target rumah terbangun. Program sejuta rumah yang ditetapkan Jokowi sejak April ini memiliki target pembangunan 603.516 unit untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), dan 396.484 unit untuk non MBR. Hingga pertengahan September ini telah mencapai 24% dari total pembangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun