100 hari sudah berlalu sejak kepemimpinan kedua Presiden Trump dimulai. Dalam seratus hari tersebut, 143 kebijakan eksekutif presiden, terbanyak di antara presiden AS, dikeluarkan oleh Presiden Trump. Dengan banyaknya perubahan yang ia bawa, dampak kepemimpinan Presiden Trump pun tidak dapat diganggu gugat. Namun, ini bukan berarti hal yang baik. Trump memiliki approval rate terendah dibandingkan presiden AS lainnya di 100 hari pertama mereka dan terus berkurang setiap bulannya (CNN, 2025). Tentu saja ini masuk akal jika kita melihat seberapa kebijakan kontroversial yang ia keluarkan, terutama di bidang sosial dan ekonomi. Walau begitu, terdapat satu kebijakan yang paling mencolok dibandingkan kebijakan lainnya yaitu kebijakannya terhadap tarif.
Kebijakan tersebut memantik reaksi yang besar, baik dalam maupun luar negeri. Pasar saham hancur dan menderita salah satu kerugian terbesar dalam sejarah AS sebagai respon untuk Tarif Trump. Pemimpin di seluruh dunia menunjukan ketidakpuasan mereka untuk kebijakan tersebut. Sri Mulyani Sebagai Menteri Keuangan Indonesia bahkan menyebut kebijakan tersebut "Tidak ada landasan ilmu ekonominya." Oleh karena itu, sebenarnya seberapa parah kebijakan tersebut dan apakah hal ini dapat dihindari sejak awal?
Tarif Trump
Tarif Trump berawal dari kampanye milik Presiden Trump dimana dia berjanji akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja di pabrik, mengurangi defisit anggaran negara, menurunkan harga makanan, dan memungkinkan pemerintah untuk mensubsidi pengasuhan anak dengan menggunakan tarif sebagai landasannya. Saking percayanya ia dengan kebijakan tarif ia menyebut tarif sebagai "the greatest thing ever invented." dan bahkan menyebut dirinya sendiri sebagai "a Tariff man" (Wiseman, 2025). Namun, tentu saja tarif tidak akan seindah apa yang Trump janjikan.
Tarif adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah terhadap barang impor. Hal ini berguna untuk mengurangi trade deficit yang dimiliki AS karena sekarang impor akan menjadi lebih mahal. Trade deficit tentu dapat berdampak buruk bagi Amerika. Ketika impor menjadi terlalu dominan dalam suatu ekonomi, ekonomi tersebut akan bergantung pada pihak luar. Oleh karena itu saat terjadi gejolak ekonomi secara global, Â ekonomi tersebut menjadi lebih rentan terhadap krisis. Perlu diingat bahwa AS telah mengalami defisit perdagangannya selama hampir 35 tahun. Defisit berkepanjangan tersebut menyebabkan Utang AS membengkak sampai 123% dari PDB AS pada tahun kemarin. Â Jika neraca perdagangan semakin terpuruk, maka masalah ini akan menjadi bom waktu untuk perekonomian AS (Shearing, 2025). Namun, bukan berarti tarif adalah cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut. Tarif sendiri memiliki eksternalitas yang signifikan kepada perekonomian dan dapat mengurangi tingkat kemakmuran masyarakat. Impor sendiri bukan berarti hal yang buruk, dalam perekonomian. Tingginya tingkat impor menunjukan bahwa Negara tersebut jauh lebih sejahtera dibandingkan negara lainnya (Costinot & Werning, 2025)
Pandangan Trump terhadap defisit perdagangan juga bisa dibilang ketinggalan zaman. Pandangan Trump bahwa defisit perdagangan menunjukkan kerugian ekonomi mencerminkan pemikiran negara-negara Eropa abad ke-16 yang menganut merkantilisme. (CNBC, 2018). Mercantilism merupakan pemikiran di mana kekayaan sebuah negara dinilai hanya dari jumlah kekayaan yang mereka miliki. Penganut pemikiran tersebut meyakini bahwa melakukan impor berarti mengirim harta yang mereka punya ke negara lain. Oleh karena itu, mereka sangat enggan untuk melakukan impor karena takut akan kalah saing dengan negara lain. Sekarang pemikiran ini sudah tidak terpakai lagi. Kekayaan suatu negara dinilai dengan seberapa banyak barang atau jasa yang mereka dapat hasilkan. Sekarang kita percaya bahwa dengan saling berdagang satu sama lain, kita dapat saling memenuhi kebutuhan satu sama lain dan ketika kita melakukan impor, itu berarti kita mendapatkan barang yang ekonomi tersebut butuhkan.
Walau begitu, Tarif Trump tetaplah berjalan sesuai apa yang ia inginkan. Pada 1 Februari 2025, Trump menyatakan national emergency terhadap narkoba dan menggunakan hal tersebut untuk mengimplementasikan 25% tarif ke Kanada dan Meksiko dan 10% tarif ke China. Tarif tersebut langsung dihentikan dan akan dilanjutkan kembali pada 4 Maret melalui negosiasi yang dilakukan oleh Kanada dan Meksiko, akan tetapi tarif yang dirasakan oleh China akan menjadi 20%. Namun, Kanada dan Meksiko gagal untuk memenuhi keinginan AS sehingga Trump kembali mengeluarkan tarif tambahan kepada mereka seperti dalam sektor automobile, besi, dan aluminium (CNBC, 2025). Namun, tentu saja kita belum mencapai puncak dari kebijakan tarif tersebut.
Liberation Day
02 April 2025, atau yang disebut sebagai Liberation Day, Trump mengeluarkan 2 tarif utamanya, Universal dan Reciprocal tariff. Tarif pertama akan memberlakukan bea masuk sebesar 10% untuk seluruh barang impor dari semua negara di dunia. Sementara itu, untuk reciprocal tariff, AS akan mengenakan bea masuk kepada 60 negara. Angka yang diterapkan beragam tergantung negaranya dan tentu negara-negara yang menjadi target utama adalah negara seperti China (34%), Vietnam (46%) ataupun Kamboja (49%). Akan tetapi, terlihat ada beberapa negara kecil seperti Lesotho (50%), Saint Pierre and Miquelon (50%) dan Falkland Islands (42%) yang terdampak oleh tarif sangat besar sampai menimbulkan tanda tanya di seluruh dunia mengenai bagaimana Trump menghitung tarif ini (CBS, 2025).