"You take a policy, you write it down, you implement it, and you stick to it. If you keep changing your policies, nobody will take you seriously"
- Lee Kuan Yew
Mari sejenak kita kembali menengok dinamika panggung perpolitikan Indonesia di tahun 2009. Di tengah hangatnya tensi politik menjelang Pemilu kala itu, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, melontarkan sebuah kritik yang berbalut lelucon pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ia menyamakan arah kebijakan pemerintahan SBY dengan permainan yoyo---naik turun, tak menentu, dan membingungkan rakyat yang ikut terseret di dalamnya.
"Pemerintah telah menjadikan rakyat seperti permainan anak-anak, yoyo. Terlempar ke sana ke mari, kelihatannya indah tetapi pada dasarnya membuat rakyat tidak menentu hidupnya," kata Mega waktu itu.Â
Menariknya, kritik Megawati soal "yoyo" ternyata tidak berhenti sebagai bagian dari dinamika politik saat itu. Enam belas tahun berselang, istilah tersebut terasa masih relevan untuk menggambarkan kecenderungan pengambilan kebijakan yang kerap berubah dalam waktu singkat---mulai dari diumumkan, lalu direvisi, ditunda, atau bahkan dianulir.
Berbicara mengenai relevansi dari istilah "yoyo policy" tersebut, kemudian merefleksi atas apa yang terjadi pada pemerintahan kita akhir-akhir ini, memicu sebuah pertanyaan,Â
"Tidakkah mereka mengulang pola yang sama?"
Masih Segar
Masih segar diberitakan, Prabowo memerintahkan jajarannya untuk merelaksasi aturan terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Hal ini disebabkan Prabowo merasa aturan TKDN inilah yang membuat industri Indonesia menjadi tidak kompetitif (CNN Indonesia, 2025). Dari sumber lain didapatkan bahwa deregulasi ini diduga muncul sebagai konsesi yang Indonesia tawarkan setelah menghangatnya polemik mengenai pengenaan reciprocal tariffs Amerika Serikat atas produk impor dari Indonesia hingga sebesar 32 persen (Katadata, 2025). The White House sendiri menyatakan bahwa kebijakan Non-Tariff Measures (NTM) seperti TKDN inilah yang menjadi landasan akan pengenaan reciprocal tariffs tersebut (Tempo, 2025).
Namun, di balik wacana deregulasi yang diklaim sebagai bentuk pragmatisme ekonomi, patut dipertanyakan, apakah kebijakan tersebut benar-benar dapat diterapkan tanpa menimbulkan risiko?