Pelarangan artinya menganggap kripto illegal untuk diperdagangkan. Kebijakan ini umumnya dilakukan karena negara memandang kripto sebagai pengganggu stabilitas finansial. Komoditas ini seakan-akan disetarakan dengan narkoba. Bahkan, sampai ada crackdown nasional terhadap kripto di Tiongkok. Adanya perburuan tersebut membuat harga berbagai kripto jatuh pada awal 2021.
Indonesia juga melakukan hal yang sama pada Januari 2018. Kita secara hukum melarang semua kripto dari negara kita. Namun setahun kemudian, pemerintah berubah haluan. Diputuskan bahwa kripto akan diakui sebagai aset berjangka dan diatur dalam rezim Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Sejak itu, maka semua pihak yang melakukan jual-beli kripto diotorisasi Bappebti (Law, 2021).
Sekarang, pemerintah malah berencana terjun ke dalam kripto. Dengan kata lain, pemerintah sebagai pelaku ekonomi ingin ikut pula menikmati hasil bonanza. Keikutan tersebut dilakukan lewat usulan pajak transaksi kripto. Bentuknya sendiri diusulkan berupa PPh Final dengan tarif 0,05% (Mediatama, 2021).
Kalau penulis berpikir dari kacamata ideologis, jelas pajak ini harus ditentang. Instrumen ini menciptakan distorsi pasar yang seharusnya bisa dihindari. Namun, karena pemerintah sekarang sedang mengejar penerimaan pajak demi mengurangi defisit yang kedodoran, pendirian penulis melembut. Pajak boleh dipungut, namun dengan satu syarat.
Pemerintah kita harus berani mencontoh El Salvador. Akui satu kripto seperti Bitcoin sebagai alat transaksi legal. Pengakuan tersebut akan membuat transaksi kripto sebagai objek pajak menjadi lebih besar lagi. Selain itu, pengakuan legal tender akan mendorong inklusi finansial sebagai salah satu aspek di mana Indonesia masih lemah. Dengan inklusi yang lebih luas, maka pembangunan sektor finansial akan lebih dalam (Moy & Carlson, 2021).Â
Selain itu, akomodasi legal yang lebih luas juga akan membuka Indonesia kepada global financial inclusiveness. Natur kripto sebagai sistem yang berbasis blockchain adalah cakupannya yang mendunia dan berbiaya transaksi rendah (Moy & Carlson, 2021). Dua karakteristik tersebut membuat sistem finansial lebih inklusif bagi jutaan unbankable poor.
Akhirnya, upaya ini akan membuka pilihan yang lebih luas bagi seluruh rakyat Indonesia. Mereka bisa memilih untuk bertransaksi menggunakan rupiah atau kripto. Bagi yang ingin menerima rupiah saja, itu hak mereka. Begitu pula dengan yang menerima rupiah dan kripto. Ini akan memicu diversitas kompetitif dalam sistem pembayaran.
Dari diversitas tersebut, maka bonanza kripto tidak akan menjadi sebuah keriaan elitis. Bonanza itu menjadi lebih egaliter dan membumi sebagai ujung tombak inklusi finansial. Ibarat tentara, kita mengubah pedang menjadi mata bajak dengan legalisasi kripto sebagai alat transaksi. Kalau ini terjadi, maka keadilan sosial yang hakiki akan terpatri.
REFERENSI
Law, I. (2021, March 9). Global Cryptocurrency Regulatory Landscape - Technology - Worldwide. Mondaq. https://www.mondaq.com/india/fin-tech/1044546/global-cryptocurrency-regulatory-landscapeÂ
Mediatama, G. (2021, April 19). Pemerintah wacanakan pajak transaksi aset kripto, bagaimana skemanya? PT. Kontan Grahanusa Mediatama. https://newssetup.kontan.co.id/news/pemerintah-wacanakan-pajak-transaksi-aset-kripto-bagaimana-skemanyaÂ