Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kemelut Liga Super Eropa: Mempertanyakan Efektivitas Trickle-Down Economics

14 Mei 2021   19:52 Diperbarui: 15 Mei 2021   05:47 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 18 April 2021, dunia sepak bola dihebohkan oleh sebuah kompetisi baru. Dua belas klub dari tiga negara berkomplot untuk membentuk apa yang mereka sebut sebagai Liga Super Eropa (European Super League).

Mengandalkan nama-nama tersohor seperti Real Madrid, FC Barcelona, dan Manchester United, kompetisi ini menjanjikan sepak bola yang segar dan berkualitas tinggi. Liga Super juga kerap diagung-agungkan sebagai "penyelamat sepak bola dari keterpurukan pandemi".

Naas, hanya selang 48 jam setelah pembentukannya, hampir semua klub yang tadinya berpartisipasi memutuskan untuk mundur dari liga ini. Kecaman universal dari organisasi induk, klub-klub lain, hingga penggemar menyulut terjadinya pengunduran massal tersebut.

Menariknya, kemelut mengenai Liga Super sebenarnya tidak berbeda jauh dengan salah satu perdebatan yang sering terjadi di ranah ekonomi, yakni mengenai konsep yang kita kenal sebagai "trickle-down economics".

Liga Super: Antara Kepentingan Bisnis dan Desakan Pandemi

Nama Liga Super mungkin baru terdengar kembali selama beberapa bulan ke belakang. Namun, rencana untuk membentuk liga ini sendiri sebenarnya sudah ada sejak tahun 1998.

Adalah Florentino Perez, presiden klub Spanyol Real Madrid, yang menjadi penggagas utama dari Liga Super yang kita kenal sekarang. Perez pertama kali mengusulkan "liga pemberontak" ini pada 2009 dengan dalih bahwa Liga Champions besutan UEFA tidak kompetitif dan tidak menguntungkan bagi klub-klub besar. Sayangnya, saat itu Liga Super tak pernah melewati tahap perencanaan belaka.

Pandemi Covid-19 menghadirkan kesempatan baru bagi Liga Super untuk menjadi kenyataan. Sepak bola merupakan industri yang sangat terpukul oleh social distancing, dengan dua puluh klub terbesar Eropa kehilangan lebih dari 1 miliar euro selama setahun ke belakang (KPMG, 2021).

Kondisi ini menghadirkan desakan baru bagi terbentuknya sebuah kompetisi yang dapat menghasilkan keuntungan besar. Perez, tidak puas dengan kegagalannya pada 2009, mendapat angin segar bagi realisasi rencananya.

Berbekal suntikan dana 4 miliar euro dari bank investasi AS JPMorgan Chase, Perez mengajak sebelas klub ternama lainnya---enam dari Inggris, tiga dari Italia, dan dua dari Spanyol---untuk mendirikan kompetisi yang telah lama ia dambakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun