Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Selebritas dan Narkoba: Imoralitas atau Kegagalan Mengentas?

2 April 2021   20:54 Diperbarui: 2 April 2021   21:05 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selebritas dan narkoba. Dua kata ini berkelindan erat, termasuk di Indonesia. Gemerlap industri hiburan ternyata membuat pelakunya kesepian. Apalagi di kala resesi parah seperti ini, subjective well-being selebritas turun drastis karena permintaan job yang menurun. Akibatnya, mereka mencari sarana pelampiasan. Narkoba adalah salah satunya.

Lihat saja tajuk berita infotainment akhir-akhir ini. Banyak di antaranya berbicara soal artis yang ditangkap karena narkoba. Bahkan, tidak sedikit yang tertangkap untuk kedua kalinya. Dahulu, ada nama-nama besar seperti Roy Marten dan Tio Pakusadewo yang mengalaminya. Sekarang, figur seperti Millen Cyrus, Iyut Bing Slamet, dan Ridho Rhoma mengagetkan publik karena jatuh ke lubang yang sama.

Peristiwa-peristiwa ini jelas meninggalkan tanda tanya. Mengapa banyak selebritas tertangkap narkoba sampai dua kali, bahkan lebih? Pasti ada suatu insentif yang mendorong mereka untuk melakukannya lagi. Lagipula, tidak ada asap kalau tidak ada api, bukan?

Ternyata, asap itu hadir dari berbagai faktor yang saling terkait. Adanya perkembangan ilmu ekonomi berhasil mengupas keterkaitan tersebut. Hasilnya, ada sebuah siklus ekonomi sistemik yang menjerat semua pengguna narkoba, termasuk para selebritas. 

Jerat tersebut dimulai dari strategi pemerintah dalam memerangi narkoba. Hampir semua pemerintahan di dunia memiliki upaya perang melawan narkoba masing-masing. Total biayanya mencapai US$100 miliar jika dihitung secara global (Mejia dan Csete, 2014:3). Di antara mereka, ada satu hal yang sama. Semua upaya itu berdasar kepada prohibisi terhadap peredaran narkoba. Supply side drug-war adalah istilah keren untuk strategi ini. 

Maknanya, pemerintah berupaya untuk menekan kuantitas narkoba yang diproduksi. Melalui minimisasi ini, diharapkan harga narkoba menjadi tinggi. Tingginya harga narkoba akan menjadi penghalang bagi banyak orang untuk mengkonsumsinya. Ketika konsumsi berkurang, maka tingkat penetrasi narkoba di masyarakat akan menurun (Powell dalam econlib.org, 2013).

Logika di atas memang terlihat sempurna. Apalagi jika kita memandangnya dari sebuah dunia hipotetikal. Sayang, ada satu realitas yang terlewat di sini. Powell (dalam econlib.org, 2013) menyatakan bahwa permintaan terhadap narkoba bersifat inelastis. Implikasinya, konsumen zat-zat ini tidak sensitif terhadap perubahan harga barang di pasar.

Gambar 1 Kurva Permintaan dan Penawaran Pasar Narkoba (Powell dalam econlib.org, 2013)
Gambar 1 Kurva Permintaan dan Penawaran Pasar Narkoba (Powell dalam econlib.org, 2013)

Insensitivitas tersebut membuat pengurangan kuantitas konsumsi lebih kecil dibandingkan kenaikan harga narkoba. Alhasil, semakin keras pemerintah melawan dengan strategi ini, semakin besar laba yang diterima produsen dan pengedar narkoba. Laba yang membesar itu adalah insentif bagi mereka untuk memproduksi lebih banyak. Padahal, kita ingin mengurangi kuantitas narkoba yang beredar!

Lebih rinci lagi, laba tersebut juga dijamin oleh dua hal: daya beli dan adiksi yang tinggi. Apalagi jika kita melihat dari kasus para selebritas. Mereka yang terjebak candu tidak lagi peduli dengan harganya. Dompet mereka juga masih tebal untuk menanggung kenaikan harga zat ilegal itu. Daripada tidak ada dan sakau, lebih baik bayar saja harganya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun