Melalui hubungan timbal-balik antara kedua sektor ini, kita dapat melihat bahwa setiap peser uang yang dibelanjakan dalam sebuah perekonomian menjadi pendapatan bagi sektor lain (Samuelson, 1948). Maka, berdasarkan asumsi model dua sektor, pendapatan nasional suatu negara akan sama dengan total pengeluarannya.
Jika kita mengamati model ini lebih saksama, kita akan menyadari bahwa tabungan, terutama yang bersifat nonproduktif, justru berdampak negatif terhadap pendapatan nasional. Ketika setiap peser uang yang dibelanjakan menjadi penggerak roda ekonomi, setiap peser uang yang ditimbun justru memperlambat roda tersebut. Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah paradox of thrift (paradoks tabungan).Â
Keynes sendiri menyadari hal ini, yang hasil temuannya ia publikasikan dalam The General Theory. Mengutip Keynes, "Segala upaya untuk menambah tabungan dengan mengurangi konsumsi akan juga mengurangi pendapatan sehingga upaya tersebut dipastikan menggagalkan dirinya sendiri". Ia juga membedakan antara enterprise (investasi produktif) dan thrift (tabungan). Walau kerap diatribusikan kepada Keynes, istilah paradox of thrift sendiri sebenarnya baru disematkan oleh ekonom Amerika Serikat Paul A. Samuelson pada 1948.
Meskipun paradox of thrift merupakan konsep yang sangat disimplifikasi dan telah mendapat banyak kritik, kebenarannya masih dapat kita lihat di dunia nyata. Sebagai contoh, selama krisis moneter 2008, tabungan nasional neto di Amerika Serikat mengalami penurunan meskipun terjadi kenaikan dalam tabungan pribadi. Kenaikan ini dapat diartikan sebagai penurunan permintaan agregat (aggregate demand), yang menjadi sangat berbahaya di masa krisis. Namun, kenaikan tabungan bukanlah faktor tunggal, melainkan satu dari sekian banyaknya faktor yang saling memperkuat dan menjerumuskan.
Ekspektasi Konsumen, Katalis Lingkaran Setan Deflasi
Untuk menjelaskan fenomena ini lebih dalam, perilaku konsumen sebagai penentu demand berperan sangat besar, terutama dari segi ekspektasi (Angeletos dan Lian, 2020).Â
Ekspektasi konsumen mempunyai kekuatan untuk mewujudkan ramalannya sendiri; kekuatan untuk mengubah ketakutan menjadi kenyataan. Manifestasi dari kekuatan ini tak lain adalah sebuah lingkaran setan (vicious circle), suatu rentetan kejadian yang efeknya memperparah kejadian itu sendiri. Dalam kasus ini, lingkaran setan tersebut berupa sebuah spiral deflasi (deflationary spiral), yang ilustrasinya tertera pada gambar di bawah ini.
Ketika kondisi perekonomian diperkirakan memburuk, wajar apabila terjadi penurunan permintaan agregat, sebab masyarakat ingin berjaga-jaga. Namun, penurunan permintaan ini akan menyebabkan kelebihan penawaran dan jatuhnya harga. Dari sini, pendapatan perusahaan akan menurun, yang dapat menimbulkan masalah-masalah baru seperti kegagalan membayar utang (defaulting), kebangkrutan, serta pemotongan gaji dan bahkan PHK. Kondisi demikian tentunya akan membuat ekspektasi masyarakat ke depannya menjadi semakin buruk.
Pada tahap ini, perkiraan masyarakat di awal telah berhasil mewujudkan dirinya sendiri. Meski jatuhnya permintaan juga disebabkan oleh penurunan disposable income, ekspektasi turut menjadi katalis yang mempercepat siklus deflasi ini. Jika dibiarkan terus, akan sulit bagi suatu negara untuk pulih dari jurang perekonomian tersebut.