Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Attention Economy: Ketika Perhatian Menjadi Komoditas

3 Agustus 2020   19:16 Diperbarui: 3 Agustus 2020   19:34 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengacu kepada dua level kompetisi yang ada, perusahaan mula-mula harus memberikan sinyal sekuat mungkin kepada para konsumen supaya bisa meraih pendapatan. Lebih lanjut, Falkinger menyatakan bahwa sinyal yang kuat adalah sinyal yang mampu menembus gerbang pikiran manusia. Lantas apakah 'gerbang' yang dimaksud itu?

Berbicara mengenai pikiran manusia pastinya tidak jauh-jauh dari disiplin ilmu yang lebih andal membahasnya. Psikolog Harold Phasler (1998) menyampaikan istilah 'gerbang' atau perceptual gating sebagai sebuah filter di dalam pikiran kita yang bertugas untuk menyaring informasi. Hanya informasi tersaring kemudian berhak mendapatkan perhatian kita. 

Setelah itu, keberhasilan menembus 'gerbang' menjadi entri pertama perusahaan yang mengantarkannya ke kompetisi berikutnya, pasar monopolistik. Eksistensi 'gerbang' di ilmu psikologi juga semakin memperkuat alasan ilmu ekonomi menjadikan perhatian sebagai komoditas.

Kembali ke Kita

Selepas membicarakannya dari sudut pandang attention-seeker, adakah perbincangan mengenai alokasi perhatian yang kita miliki? Gabaix dan Laibson (2005) menyajikan model directed cognition yang menyinggung seputar masalah itu. Dalam modelnya, seseorang dengan kendala waktu yang terbatas hanya akan menganalisis informasi yang mungkin berguna untuknya dan mengabaikan apa yang menurutnya mubazir.

Sebagai contoh, ketika kita dihadapkan dengan dua pilihan sulit untuk tinggal di desa atau kota, kita pasti akan menimbang-nimbang terlebih dahulu kedua opsi yang ada. Namun, apabila kita pada dasarnya memiliki preferensi yang kuat terhadap gaya hidup perkotaan, waktu mempertimbangkan diri untuk tinggal di desa akhirnya akan sia-sia. Dengan kata lain, memikirkan pilihan yang nantinya kemungkinan besar tidak dipilih hanya membuat alokasi perhatian kita menjadi tidak optimal.

Lebih dekat lagi, kita bisa memahami seluruh konsep di atas dari hal-hal yang erat dengan keseharian kita, sebut saja YouTube. Dia menawarkan akun berbayar dengan beragam fitur unggulan, di mana salah satu yang menarik adalah bebas dari iklan. Kita sebagai penikmat layanan gratis boleh jadi merasa irit karena tidak menggelontorkan uang hanya demi beberapa detik. 

Meskipun begitu, kita rupanya tetap berakhir pada pilihan untuk membayar. Hanya masalahnya, apakah kita mau membayarnya dengan uang atau justru 'perhatian' melalui iklan yang wajib ditonton?

Di akhir cerita, walaupun pemahaman akan kelangkaan perhatian sudah bisa dibentuk, perhatian nampaknya belum bisa dihitung secara akurat. Apalagi, alat untuk mengukurnya pada saat ini baru sebatas waktu, like, dan subscribe. Indikator itu jelas tidaklah sempurna untuk menilai perhatian karena angka di sosial media tidak selamanya sejalan dengan kenyataan. 

Ada banyak faktor lain seperti keunikan manusia, misalnya attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), yang ikut mempengaruhi perhatian seseorang namun nyatanya masih sulit terkuantifikasi secara ekonomi.

Alhasil, tulisan ini hanya sekadar membukakan wawasan pembaca terhadap perkembangan dunia kita, suatu era di mana perhatian telah memiliki nilai ekonomi tersendiri. Satu pelajaran penting barangkali bisa dipetik: di kala semua perhatian yang kita curahkan kepada orang lain mungkin terasa sia-sia, setidaknya perhatian itu tetap berharga di mata ilmu ekonomi. Untuk itu, terima kasih atas perhatiannya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun