Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kejayaan Industri Musik Independen Indonesia: Besok Mungkin Kita Sampai

6 Desember 2019   20:39 Diperbarui: 8 Desember 2019   09:59 2435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun ini merupakan tahun terbaik untuk menjadi musisi di Indonesia. Setidaknya, begitulah kata Bam Mastro, vokalis dari band Elephant Kind, sebuah grup musik indie yang lahir pada tahun 2013. Band tersebut merupakan salah satu band alternatif dengan genre indie-pop yang sedang naik daun di Indonesia pada tahun ini.

Sebelum Elephant Kind membumi, ia pernah didahului oleh Payung Teduh dan Danilla yang meroket pada medio 2017. Selain itu, ada beberapa band indie yang senantiasa menemani telinga pendengar musik alternatif dari dekade lalu seperti The Adams.

Meskipun belum ada data serta riset yang menunjukan adanya tren peningkatan jumlah pendengar musik alternatif di Indonesia, dapat dilihat bahwa ada peningkatnya animo pendengar akan musik-musik dari musisi indie.

Lantas, beberapa orang seperti Bam Mastro mulai beropini bahwa kejayaan untuk musik independen sudah dekat. Benarkah demikian?

Persoalan Kebebasan
Musik memang adalah sebuah seni, namun industri musik berputar seputar uang. Para musisi di industri musik sendiri bertumpu pada lima sumber pendapatan: performance, lagu, rekaman musik, brand, dan penggemar.

Secara spesifik, sumber pendapatan mereka berasal dari konser-konser dan live performance lainnya, distribusi digital, penjualan digital, royalti dari performance digital, streaming, merchandise, serta crowdfunding. 

Dalam berkarya, musisi pada umumnya bekerja sama dengan label rekaman besar seperti Sony dan Universal Music Group. Setelah musisi menandatangani kontrak dengan sebuah label rekaman yang besar, label ini akan 'memandu' para musisi untuk mencapai ketenaran.

Label akan turut berkontribusi mulai dari proses produksi musik hingga distribusinya ke konsumen. Karena label rekaman ini pada umumnya adalah sebuah perusahaan besar, mereka memiliki modal dan jaringan yang sangat luas.

Modal besar serta jaringan luas ke televisi dan radio yang dimiliki akan digunakan untuk proses produksi dan yang lebih penting, promosi. Sebagai bentuk timbal balik, pendapatan yang diterima oleh musisi akan dipotong sebagian untuk diberikan sebagai pendapatan bagi label rekaman besar ini.

Tentu, musisi memiliki kewajiban untuk mencari pendapatan yang lebih besar dibanding modal awal yang dikeluarkan oleh label rekaman, agar terdapat profit.

Pada umumnya, hubungan antara label dan musisi bisa dikategorikan sebagai 'simbiosis mutualisme'. Dengan kata lain, hubungan keduanya saling menguntungkan. 

Namun, ada beberapa sisi yang tidak terlihat oleh masyarakat awam. Karena dituntut untuk 'mengembalikan' modal awal yang diberikan oleh label rekaman, musisi harus bekerja keras untuk mendapatkan pendapatan sebanyak-banyaknya agar mampu mengembalikan modal yang diberikan.

Oleh karena itu, mereka cenderung memproduksi musik yang bisa diterima oleh semua orang alias mainstream, contohnya adalah musik pop. 

Musik indie pun hadir sebagai alternatif bagi mereka yang tidak menyukai konsep musik yang ditawarkan oleh musisi-musisi dari label rekaman besar ini. Musik indie, seperti kata asalnya yaitu independent yang berarti kebebasan, memberikan warna baru bagi seni dan industri musik.

Karya-karya dari musik indie ditujukan secara khusus kepada segmentasi tertentu dari pasar konsumen musik. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan karya-karya dari musisi label rekaman besar yang cenderung generik. 

Musisi indie hadir sebagai bentuk perlawanan serta pengisi 'celah' (atau dalam istilah ekonomi disebut niche) yang ada dalam pasar musik ini. Genre musik yang biasa dibawakan-pun berbeda. Biasanya, musisi-musisi di segmen pasar ini membawakan musik dengan genre alternatif.

Oleh karena itu, pada umumnya musisi-musisi indie ini tidak tergabung dalam label rekaman, ataupun membangun label rekaman independennya sendiri.

Dikarenakan modal dan jaringan yang minim, label rekaman independen biasanya memiliki basis komunitas tertentu dan mempromosikan musiknya pada masyarakat menggunakan media sosial. Tak adanya batasan-batasan dari label rekaman dalam berkarya, pesan-pesan yang dibawakan dalam musiknya lebih frontal dan ekspresif. 

Dalam artian, mereka berani menyampaikan pesan yang cenderung kritis terhadap berbagai hal. Sebagai contoh, band dari FISIP UI, .feast, menyampaikan pesan tentang kerusakan lingkungan melalui lagunya 'Tarian Penghancur Raya'. 

Selain itu, seperti musisi pada umumnya, musisi indie masih bergantung pada sumber-sumber pendapatan seperti performance, konser, serta penjualan musik fisik dan merchandise.

Bedanya, dengan jaringan yang lebih sempit dibandingkan label rekaman besar (yang mengakibatkan jumlah pendapatan yang lebih sedikit), musisi indie menjadi lebih bergantung pada fans club yang setia hadir dalam berbagai penampilan, dan rela untuk merogoh kocek untuk musisi favorit mereka, dibandingkan dengan musisi non-indie.

Konsekuensi Berkembangnya Internet
Bisa dikatakan, musisi-musisi indie sedang naik daun beberapa tahun ke belakang. Sebut saja beberapa musisi Indie berikut: Danilla, White Shoes & Couples Company, Reality Club, dan Payung Teduh. Belum 'keren' kalau anak muda urban jaman sekarang tidak mengenal nama-nama tersebut.

Karena tidak tergabung dalam label rekaman besar sehingga memiliki modal dan jaringan yang bisa dikatakan 'minim' dan sempit, mereka beruntung dengan adanya platform-platform musik digital akhir-akhir ini seperti Joox, Spotify, serta Youtube.

Sebuah survey yang dilakukan oleh Dailysocial pada tahun 2018 berjudul 'Online Music Streaming in Indonesia', 88% responden mendengarkan musik secara online. Dari jumlah tersebut, 52% membayar langganan pada aplikasi tertentu untuk mendengarkan musik dengan sistem pay-to-play. Apa artinya?

Sebagian besar masyarakat Indonesia (jika responden benar-benar mewakili populasi) sudah dan sadar untuk mendengarkan musik legal melalui platform-platform tersebut. Seperti halnya membeli album musik secara fisik, kehadiran aplikasi seperti Google Play Store dan Apple Itunes memberikan akses bagi masyarakat untuk membeli musik dalam bentuk online secara legal.

Tak hanya itu, kehadiran internet dalam dunia musik membawa inovasi baru untuk mendengarkan musik: streaming. Platform-platform musik ini memberikan bayaran pada artis berdasarkan jumlah lagu yang didengarkan oleh konsumen.

Salah satu aplikasi streaming musik paling populer di Indonesia, Spotify, memberikan bayaran sebesar $0.00397 dengan sistem pay-per-stream. Artinya, dari setiap lagu satu yang konsumen di Indonesia dengar melalui Spotify, musisi akan mendapat Rp 55,84 dari Spotify.

Spotify akan menggunakan pendapatan dari biaya langganan untuk membayarkan royalti tersebut kepada para musisi. Di tengah menurunnya tren untuk mengonsumsi musik secara fisik melalui penjualan vinyl, CD, serta kaset, kehadiran berbagai platform dengan sistem pay-to-play memberikan sumber pendapatan 'baru' bagi musisi.

Selain sumber pendapatan baru, aplikasi semacam ini juga turut berkontribusi dalam membumikan musisi-musisi baru. Apabila sebelum adanya kehadiran platform-platform ini musisi bergantung pada label rekaman (besar) untuk menjadi musisi ternama, di era ini mereka bisa mempublikasikan karyanya dan mendapatkan sumber pendapatan 'hanya' dengan 'gerakan jari'.

Selain itu, di masa yang serba digital ini, dengan mudahnya musisi-musisi mempromosikan musiknya melalui media sosial tanpa harus bergantung pada saluran-saluran konvensional seperti TV dan radio.

Pola Konsumsi yang Tercela dan Infrastruktur yang Tanggung
Internet telah menjadi pembebas bagi musisi-musisi dari ketergantungan akan label rekaman besar yang selama ini menguasai pasar musik. Dengan demikian, menjadi relevan bagi kita untuk memberikan perhatian lebih pada internet dalam rangka memajukan industri musik independen Indonesia.

Sayang, infrastruktur internet untuk dunia musik di Indonesia masih belum bisa menyokong ekosistem musik digital dengan baik.

Merujuk kembali pada survey di atas, pola konsumsi masyarakat Indonesia masih belum tepat. Alasan terbesar yang mendominasi mengapa orang-orang belum membeli musik dan/atau berlangganan musik melalui platform yang tengah berkembang adalah anggapan bahwa biaya berlangganan adalah sebuah 'pemborosan' (51,03%).

Selain itu, alasan dominan lainnya adalah mereka juga merasa untuk apa membeli musik/berlangganan di sebuah platform apabila mereka bisa mendapatkannya secara gratis dengan mengunduhnya secara ilegal (47,04%).

Alasan terakhir, selain menunjukan pola konsumsi yang buruk, juga menunjukan bahwa internet bisa menjadi bumerang bagi para musisi, terutama musisi independen. Internet belum bisa melindungi mereka dari tindakan kriminal mengunduh musik secara ilegal di internet di dalam pasar yang sudah tersegmentasi.

Setiap tahunnya, orang Indonesia mengunduh 2,8 milliar lagu secara ilegal. Perlu adanya fokus dari pemerintah serta ekosistem internet untuk bisa meminimalisir dampak dari pembajakan secara digital karena hal ini bisa memiliki dampak bagi salah satu sumber pendapatan para musisi, terutama musisi indie.

Dalam survey dari media yang sama pada tahun sebelumnya mengenai pola konsumsi musik di Indonesia, salah satu alasan terbesar mengapa seseorang enggan untuk berpindah menggunakan musik secara online adalah lemahnya koneksi internet (68,99%).

Tentu, hal ini menunjukan bahwa penunjang bagi ekosistem digital di Indonesia belum siap karena akses internet yang cepat dan layak bagi masyarakat Indonesia belum meluas.

Bangsa Indonesia juga belum memiliki budaya arsip yang mengakar. Terlepas dari usaha pemerintah untuk menciptakan perpustakaan musik digital melalui Lokananta Project, pemerintah masih memiliki kesulitan untuk mencatat dan mengarsipkan musik secara digital di Indonesia. Bahkan, pemerintah masih kesulitan untuk mengumpulkan 95% metadata musik Indonesia di Youtube.

Padahal, pencatatan dan pengarsipan musik merupakan suatu aktivitas penting dalam industri musik, agar karya-karya anak bangsa ini dicatat, diakui, dan memiliki hak cipta. Tanpa adanya label rekaman besar yang mungkin memiliki arsip sendiri, musisi-musisi indie membutuhkan bantuan pemerintah agar karyanya sendiri bisa diakui.

Besok Mungkin Kita Sampai
Masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki untuk mencapai kejayaan musik indie di Indonesia. Pertama, pemerintah perlu memikirkan kembali pajak royalti sebesar 15% bagi musisi yang memperoleh pendapatan dari royalti konsumsi musik secara digital. Tentu, pendapatan bagi para musisi indie yang mungkin bergantung pada aplikasi-aplikasi ini akan semakin sedikit.

Penurunan pajak royalti akan memberikan insentif bagi musisi untuk semakin gencar dan fokus dalam mendistribusikan karyanya melalui platform yang mudah diakses oleh masyarakat. Yang paling penting, penurunan pajak royalti ini akan turut berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan musisi secara general dan musisi indie secara spesifik di Indonesia.

Selain perlunya menaruh fokus untuk membangun infrastruktur internet di Indonesia, pemerintah juga bertanggung jawab untuk membangun infrastruktur musik yang lebih baik.

Untungnya, pemerintah semakin menunjukan keseriusannya dalam membangun industri musik ini. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yakin bahwa industri musik akan menjadi subsektor yang paling bertumbuh paling pesat pada tahun 2019 ini. 

Seperti yang telah dikatakan di awal tulisan ini, musisi indie bergantung pada penampilan-penampilan live sebagai salah satu sumber pendapatannya. Hal ini berarti dibutuhkan semakin banyak tempat umum yang bisa digunakan untuk penampilan musik.

Pemerintah melalui Perusahaan Umum Percetakan (Perum Peruri) Uang Indonesia yang bekerja sama dengan PT. Ruang Riang Milenial menunjukan keseriusannya, salah satunya dengan menciptakan M Bloc Space sebagai suatu ruang publik untuk mengekspresikan sisi kreatif masyarakat dengan memanfaatkan salah satu gedung milik Perum Peruri yang tidak terpakai.

Tempat ini juga bisa digunakan untuk acara-acara musik. Harapannya, akan ada lebih banyak lagi semacam 'M Bloc Space' yang tersebar tidak hanya di Jakarta, agar semakin banyak area publik yang bisa digunakan untuk menyokong industri musik ini.

Bukti keseriusan pemerintah lainnya adalah Proyek Portamento yang digagas oleh Bekraf. Proyek Portamento, dengan menggunakan teknologi blockchain, akan menjadi sebuah 'big data' dari industri musik di Indonesia.

Dengan adanya proyek ini, musisi akan mendaftarkan musiknya sekaligus mencatat pencipta musik dan lirik, rekening bank, nomor NPWP, dan data-data lain yang dibutuhkan perihal produksi dan distribusi musik.

Dengan adanya dukungan lisensi musik semacam ini, hak cipta dari pencipta musik di Indonesia, terutama musisi indie yang musiknya tidak terarsip oleh label-label rekaman besar bisa lebih terjamin. Setiap pihak yang menggunakan karya musik mereka-pun akan diwajibkan untuk membayar royalti karena musiknya telah secara legal diakui.

Bagi konsumen musik, pola konsumsi perlu diperbaiki. Dengan mengunduh/membeli musik ilegal, konsumen tidak turut berkontribusi pada kemajuan industri musik dan tidak menghargai hak cipta sang musisi. Perlu adanya pemberian nilai lebih atas suatu hasil karya yang mungkin tidak tangible, karena hasil karya tersebut juga meningkatkan utilitas seseorang.

Selain itu, sebagai seorang konsumen yang bijaksana, kita juga bisa turut mendukung musisi-musisi indie dengan menghadiri penampilan-penampilannya secara live, membeli merchandise, serta mendukungnya melalui berbagai crowdfunding.

Bagi para musisi, beradaptasi terhadap cara mendengar musik yang baru ini dapat menjadi salah satu jalan dalam untuk menjadi lebih profitable.

Bentuk adaptasi yang dapat dilakukan adalah dengan lebih banyak memproduksi single dibandingkan dengan memproduksi satu album secara sekaligus. Hal ini berkaitan dengan preferensi konsumen untuk mendengarkan musik melalui playlist  serta attention span konsumen yang semakin pendek.

Dengan demikian, kejayaan musisi-musisi indie semakin dekat. Kalau kata Baskara Putra melalui alter ego-nya Hindia:

besok mungkin kita sampai.

Oleh:
Kevin Bagas Ksatria | Staf Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2019 | Ilmu Ekonomi 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun