Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Nasib "Si Gemuk" dalam Pusaran Perdagangan Bebas

16 Maret 2018   19:56 Diperbarui: 20 April 2018   12:32 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika dalam beberapa bulan terakhir kita mendengar dan membaca banyak diskursus tentang masalah gizi buruk di Papua, rasanya kita juga perlu menyadari bahwa negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak hanya berhadapan dengan masalah malanutrisi atau kekurangan gizi. Ada masalah kesehatan yang sama-sama mengerikan dan tidak kalah sering kita jumpai: obesitas.

Epidemi obesitas yang menghantui banyak negara tidak lagi semata-mata disebabkan oleh pola hidup masyarakat atau kualitas makanan yang buruk. Di era perdagangan bebas, kebijakan perdagangan internasional menjadi faktor yang relevan untuk ikut disalahkan. Obesitas tidak boleh sekadar dilihat sebagai masalah kesehatan, akar persoalannya justru terletak pada isu ekonomi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaiamana ancaman obesitas meningkat seiring berkurangnya hambatan dalam perdagangan internasional? Bagaimana sebenarnya prevalensi 'Si Gemuk' bisa dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan suatu negara?

Menjadi Gemuk di Era Perdagangan Bebas

Pada Februari 2018, laporan WHO menunjukkan bahwa semenjak tahun 1975 tingkat obesitas di dunia naik tiga kali lipat. Tahun ini, 1,9 miliar orang tercatat memiliki kelebihan berat badan dan 650 juta di antaranya mengalami obesitas (body mass index di atas 30) [1]. Obesitas bertanggung jawab atas lebih kurang 5 persen kematian di dunia. McKinsey Global Institute mengestimasi kerugian akibat obesitas mencapai 2,8 persen dari total PDB global, hampir menyamai kerugian akibat rokok, perang, dan terorisme [2].

Namun, fakta menariknya terletak pada kasus-kasus di negara emerging market. Negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dan memiliki stabilitas  perekonomian yang relatif baik ini dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan prevalensi obesitas yang cukup dramatis. Kebijakan ekonomi dan perdagangan internasional masing-masing negara turut ambil andil dalam kejadian ini.

Meksiko adalah contoh yang paling tepat. Sejak ikut menandatangani perjanjian NAFTA pada tahun 1993, investasi dari Amerika Serikat di bidang makanan olahan mengalir masuk ke Meksiko dengan sangat deras. Dalam rentang waktu 1999 hingga 2004, tiga perempat dari total investasi asing yang masuk ke Meksiko didominasi oleh sektor produksi makanan olahan. Pada waktu yang sama, tingkat penjualan produk-produk tersebut juga tumbuh 5-10 persen [3].

Dalam dua dekade terakhir, pemerintah Meksiko sudah menandatangani lebih dari 30 perjanjian investasi dan perdagangan internasional yang semakin menelanjangi food environment di negara tersebut. Arus modal dan foreign direct investmentdalam bidang makanan olahan dan ritel semakin bebas masuk. Meksiko menjelma menjadi salah satu produsen makanan olahan terbesar di dunia. Implikasinya, Meksiko semakin dipenuhi oleh 'Si Gemuk'. Epidemi obesitas meledak akibat adanya perubahan pola konsumsi makanan yang masif. Dari periode 1988 hingga 2012, prevalensi obesitas untuk kelompok umur 20-49 tahun naik dari 9,5 persen hingga 37,5 persen [4].

Selain melalui perjanjian investasi dan perdagangan internasional, kebijakan pemerintah di negara berkembang untuk berlomba-lomba memperbaiki ease of doing business ternyata juga menjadi bumerang. Semakin mudahnya mendirikian restoran cepat saji, toko ritel, dan bisnis waralaba di negara-negara berkembang dimanfaatkan oleh perusahaan makanan olahan untuk mengais keuntungan lebih dalam. McDonald's, KFC, Pizza Hut, Burger King, hingga Subway berpacu merebut pasar dan mencari mulut untuk terus disuapi produk makanan mereka.

Penetrasi restoran cepat saji dan toko ritel di berbagai negara berkembang memang sangat kasat mata. Afrika, Asia Tenggara, dan Timur Tengah adalah target ekspansi konglomerasi (yang umumnya berasal dari Amerika) tersebut pada beberapa tahun terakhir. Agresifnya ekspansi perusahaan ini ke sejumlah negara berkembang berpotensi memperburuk persoalan obesitas di negara tujuan.

Hipotesis ini didukung oleh penelitian Courtemanche, et al. (2016), yang menemukan bahwa 27 variabel ekonomi mampu menjelaskan 43 persen penyebab dari obesitas. Dari 27 variabel tersebut, ada dua variabel yang mencolok, yakni jumlah pertumbuhan restoran dan toko ritel per kapita, yang masing-masing dapat menjelaskan kenaikan prevalensi obesitas sebesar 14 persen dan 16 persen [5].

Dampak dari invasi restoran cepat saji dan toko ritel ke berbagai negara berkembang terhadap peningkatan obesitas setidaknya bisa dijelaskan dengan dua alasan. Pertama, menjamurnya restoran cepat saji terbukti mengubah pola diet masyarakat. Sebab, selain mendirikan restoran, perusahaan-perusahaan tersebut juga menggencarkan strategi pemasaran dan periklanan yang sangat masif, sehingga faktor persepsi tentang kemudahan, kecepatan, dan ketersediaan yang ditawarkan oleh produk tersebut mengalahkan fakta tentang buruknya nutrisi yang terkandung di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun