Mohon tunggu...
SATRIA KUSUMA DIYUDA
SATRIA KUSUMA DIYUDA Mohon Tunggu... Wiraswasta - ya begitu deh...

Menulis di waktu senggang saja...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mungkinkah Isu Radikalisme Hilang dari Percaturan Politik Rakyat Jelita di Masa Depan?

8 November 2019   13:42 Diperbarui: 8 November 2019   13:56 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Saya teringat film Iron Man 3, dimana konflik yang terjadi pada film tersebut berdasarkan pembalasan dendam seorang scientist bernama Aldrich Killian kepada Tony Stark karena hasil temuannya di acuhkan oleh sang jenius kala itu. Lalu Aldrich membuat sebuah tokoh fiktif yang bernama Mandarin. =

Di sisi lain, Aldrich juga melakukan penculikan kepada Presiden Amerika dan berencana menggantinya. Pada salah satu scene film, aldrich berujar ia dapat menguasai dunia dengan menciptakan supply dan demand, dimana pada waktu itu, ia berhasil menciptakan kekacauan dan disisi lain ia juga hampir berhasil menguasai pemerintahan Amerika sebagai alat untuk meredam kekacauan.

Artinya ia berhasil menguasai sektor keamanan dunia dengan menciptakan kekacauan melalui Mandarin (supply) dan menciptakan permintaan keamanan dengan menguasai pemerintahan Amerika (demand).

Lalu bagaimana dengan kampanye melawan radikalisme di Indonesia sendiri? Sejak zaman kolonial pemerintahan Hindia Belanda, kelompok-kelompok radikal memang telah ada, dan memang merupakan bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia, baik yang bercirikan Nasionalisme ataupun bercirikan Agama. dan gerakan ini pun banyak berafiliasi dengan kelompok-kelompok bawah tanah baik kelompok kiri maupun kanan.

Bisa kita lihat bagaimana SI di zaman kolonial terpecah menjadi SI merah dan SI putih, ketika kelompok-kelompok di dalam SI sendiri merasa tidak puas dengan pergerakan SI dalam menentang kebijakan kolonial, sehingga banyak anggota SI yang pada akhirnya menjadi SI merah dan berubah menjadi PKI karena merasa gerakan radikal mampu melepaskan rakyat Indonesia dari kekuasaan kolonial, mereka bukanlah orang-orang bodoh dalam hal agama, beberapa pemuka agama, bahkan kyiai juga bergabung dalam gerakan radikal ini.

Sehingga pada akhirnya di tahun 1928, mereka melakukan pemberontakan yang gagal di Banten dan Sumatera Barat.

Pada masa penjajahan Jepang, untuk mempertahankan Indonesia dan membantu Indonesia mempertahankan kemerdekaannya, Pemerintah Militer Jepang di Jawa, mulai mengakomodir kelompok-kelompok Islam dan dididik secara militer yaitu gerakan Hizbullah untuk mengakomodir laskar-laskar Masyumi selain kelompok Nasionalis yang telah banyak membantu Jepang dalam perang Asia.

Kelompok Hizbullah ini kemudian mampu mengganti TNI, ketika Pemerintah RI harus melaksanakan perjanjian Renvil dengan menarik pasukan TNI ke Jogja.

Pasukan Hizbullah, berhasil mempertahankan daerah-daerah yang ditinggalkan oleh TNI terutama di Jawa Barat, dan atas restu Sukarno Hatta dan Jenderal Sudirman (perlu klarifikasi dokumen), Karto Suwiryo didapuk memimpin gerakan tersebut. Akibat pertarungan politik antara kelompok radikal kiri dan kanan, pada masa perdana menteri Amir Sjarifuddin, konflik mulai timbul, dan berakhir pada pemberontakan.

Kelompok Radikal Kiri kemudian melakukan pemberontakan Madiun, sedangkan kelompok radikal kanan Hizbullah, menolak kembalinya pasukan Siliwangi ke Jawa Barat dan berakhir dengan pemberontakan DI/TII di tahun 1950an.

Pada masa pemerintahan Orde Baru yang tersisa hanya gerakan radikal kanan saja, yang banyak menyebar di Selatan Jawa Barat dan sebagian Sumatera. Kemudian, kelompok-kelompok ini mulai diinfiltrasi dan akhirnya dikuasai oleh intelejen.

Selain untuk mengontrol gerakan ini, pihak keamanan juga dapat menggunakan kelompok ini untuk membuat isu keamanan, entah bertujuan untuk memperkuat atau menjatuhkan faksi di dalam kekuasaan Orde Baru. 

Hal yang sangat kontroversi adalah saat peristiwa pembajakan pesawat Garuda Woyla, yang kemudian melejitkan nama LB Moerdani di jajaran para Jenderal Orde Baru. Atasan Benny Moerdani kala itu adalah Ali Moertopo yang disebut-sebut dekan dengan kelompok NII.

Sedangkan LB Moerdani merupakan anak didik dari Ali Moertopo. Dari sini kita dapat setidaknya menduga, faksi Ali Moertopo dan LB Moerdani kala itu setidaknya berhasil menguasai Supply dan Demand.

Ali Moertopo berhasil menciptakan Supply dengan menggerakkan kelompok radikal jihad di Bandung untuk melakukan aksi pembajakan pesawat Garuda, sedangkan LB Moerdani yang memiliki pengaruh di Kopasanda menyediakan permintaan dengan menggerakkan Kopassanda untuk menghancurakn gerakan pembajakan tersebut.

Bagaimana gerakan radikal di masa Orde Reformasi?

Ketika tahun 1996-1999, ketika itu masa-masa transisi politik, kebetulan saya bersekolah di kawasan Tanah Abang. Beberapa teman yang tinggal di kawasan Petamburan, sering melihat beberapa Jenderal bertemu dengan pemuka ulama di kawasan Petamburan. Dulu nama FPI tidaklah sebesar saat ini.

Selain itu, di kawasan Tanah Abang juga terdapat kelompok-kelompok preman dari kawasan Indonesia Timur yang tentunya dibekingi oleh beberapa Jenderal. Namun kelompok ini tidak memiliki identitas sebagai kelompok kanan maupun kiri.

Yang menarik pada masa ini juga mulai timbul dan membesar gerakan-gerakan kiri yang banyak didominasi oleh kelompok-kelompok pelajar mahasiswa, misalnya SMID. Walaupun gerakan ini telah lama ada sejak peristiwa Malari, namun kalangan awam mulai mengenalnya ketika terjadi peristiwa 27 Juli 1996.

Pada masa transisi di tahun 1998 ini, setelah Presiden Suharto tidak lagi mampu mengontrol faksi-faksinya, sehingga mungkin belum ada satu faksi pun di kelompok elit yang mampu untuk menguasai sisi permintaan untuk menstabilkan keadaan.

Sehingga yang terjadi adalah situasi anarkis dikarenakan banyak bermunculannya kelompok-kelompok ekstrim dan saling berhadap-hadapan.

Sedangkan elit yang menciptakan supply ini masih berebut untuk menguasai kekuasaan atas yang telah ditinggalkan oleh Presiden Suharto. Pada tahun 2000 sampai dengan 2003, konflik yang terjadi mulai bergeser ke daerah-daerah, seperti Aceh, Ambon, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Pada masa ini, kelompok radikal yang muncul kebanyakan berasal dari kelompok kanan, dan identitas kesukuan.

GAM yang pada awalnya merupakan kelompok nasionalis lokal Aceh yang menginginkan kemerdekaan Aceh, kemudian berubah dan mengambil isu keagamaan sebagai identitas perjuangan mereka disamping juga menggunakan isu etnisitas yaitu persaingan Aceh dan Jawa.

Sedangkan konflik Ambon dan Sulawesi banyak menggunakan isu sentimen Agama antara Islam dan Kristen, sehingga muncullah organisasi-organisasi Jihad dan setidaknya menjadi cikal bakal kelompok yang lebih radikal di era reformasi ini.

Lalu siapa yang dapat mengontrol semua ini?

Tentu saja kelompok elit yang dapat mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran dalam sektor keamanan, dan menginginkan bargain kuat terhadap faksi-faksi elit lainnya.

Seperti kata Jean-Baptiste Say "supply creates its own demand", sehingga mungkin saja, kita masih akan mendengar istilah-istilah "radikal" dalam pertarungan politik para rakyat jelita (elit) ke depannya.

--- Happy Weekend ---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun