Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Ivana Lie Ing Hoa

1 Juni 2021   07:00 Diperbarui: 1 Juni 2021   07:22 1675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta di suatu hari di September 1979, gadis cantik berkulit putih itu telapak tangan kanannya mengepal dan menempel di dada sebelah kiri. Dinyanyikannya Indonesia Raya mengikuti musik pengiring yang menyertai naiknya Sang Saka Merah Putih. 

Ditatapnya Sang Saka Merah Putih yang perlahan naik. Medali emas tetap dalam genggamannya di dada, ketika bibirnya bergetar kuat, lidahnya mulai kelu, dan ia tak mampu lagi menyelesaikan nyanyian Indonesia Raya. 

Air mata perlahan menetes dari kedua sudut matanya. Menetes, menetes dan terus menetes. Sang Merah Putih kini sudah berada di puncak tiang, musik pengiring Indonesia Raya sudah berhenti. Tak ada teriakan kegembiraan dari gadis cantik berkulit putih ini. Justru tangislah yang meledak dalam rangkulan Sang Pelatih.

Itulah Ivana Lie Ing Hoa, gadis kelahiran Kota Bandung 7 Maret 1960. Ia Lahir dari keluarga Tionghoa dengan latar belakang ekonomi sulit. Sehari makan  sehari tidak dan diusièr dari rumah kontrakan mewarnai masa kecil Ivana dan keluarganya. 

PB Mutiara Bandung membuka jalan baginya untuk meneratas sukses. Ia diijinkan berlatih bulutangkis tanpa harus keluar biaya sepeserpun. Klub bulutangkis yang telah melahirkan legenda-legenda bulutangkis Indonesia seperti Cuncun, Christian Hadinata, Imelda Wigoena, Heryanto Saputra dan lain-lain itu, menempa Ivana menjadi pebulutangkis andal, sampai kemudian berhasil menembus Pelatnas. 

Dia berlatih sangat keras 3 kali dalam sehari, padahal rekan-rekan pelatnasnya hanya berlatih 2 kali. Ia ingat betul pesan Rudi Hartono kepadanya : "kalau kamu mau sukses, kamu harus berlatih lebih keras dari yang lain".

Medali emas yang digenggamnya bukan menjadi sebab tangisnya. Baginya berjuang untuk berkibarnya Sang Merah Putih dan berkumandangnya Lagu Kebangsaan Indonesia Raya adalah sebuah kebanggaan sebagai bagian dari Bangsa Indonesia.

Sejak saat itu, segenap bangsa Indonesia menjadi tahu bahwa seorang Ivana Lie Ing Hoa yang telah melanglangbuana mengharumkan nama Indonesia ternyata belum memiliki kewarganegaraan Indonesia. 

Semua menjadi paham kenapa Ivanna sangat emosional dalam sesi penghormatan pemenang itu. Ia tidak pernah berhenti berjuang mengharumkan negeri yang sangat ia cintai, tapi pada saat yang sama perjuangannya untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia tak jua kunjung berhasil.

Ivana adalah korban diskriminasi rasial yang dipertontonkan rejim orde baru terhadap etnis Tionghoa. Di era itu, rejim orde baru sangat membatasi ruang gerak saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa. Larangan perayaan hari besar di tempat umum termasuk ibadah menurut keyakinannya, pemaksaan mengganti nama dengan nama Indonesia, adalah contoh dari diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa di Indonesia. Kewarganegaraan yang disandang seorang keturunan Tionghoa diberi label "WNI Keturunan". Tidak pernah dikabulkannya permohonan kewarganegaraan seorang Ivana adalah akibat dari diskriminasi ini.

Seorang Ivana yang dilahirkan serta tumbuh dan besar di Indonesia, terus berjuang mengharumkan negeri yang sangat dicintainya, sejatinya sangat layak untuk disambut dengan karpet merah saat menerima SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun