Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cecep dan Jakarta

21 April 2021   08:30 Diperbarui: 21 April 2021   08:30 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gani mulai luluh dan tampak mulai bisa menerima kehadiran Cecep. Dia berjanji untuk bicara dengan Jansen, kawan satu lagi yang jabatannya setara dengan Cecep.

Jansen ini berasal dari Medan lulusan S2 sebuah universitas swasta di Jakarta. Mungkin karena sudah ngobrol dengan Gani, ia dengan hangat menerima draft perencanaan dari Cecep.

Luar biasa berat baginya yang baru belajar menjadi laki-laki dewasa. Badan menyusut kerempeng kurus kering. Kepala sering pusing, lieur kata Urang Sunda. Mungkin karena menu sarapan hanya bergantian antara indomie rebus, roti bakar dan bubur kacang ijo. Semuanya dari warung si Kumis yang asli Kuningan Jawa Barat. Dari warung yang kalau di Jogja dikenal sebagai "warmindo" itu, Indomie rebus selain sebagai menu sarapan, sering kali pula menjadi menu makan siang atau makan malam Cecep.

Cecep pernah ke dokter yang praktik tidak jauh dari kantor. Konsultasi. Dokter mengatakan kurang gizi, harus banyak makan yang enak-enak. Cecep tidak begitu percaya, harus cari second opinion. Besoknya dia datang ke dokter yang lain. Yang ini dokternya perempuan. Didapatkannya diagnosa yang sama, kurang gizi, harus banyak makan yang enak-enak.

Masih penasaran seminggu kemudian mendatangi dokter yang lain. Diagnosa yang sama dia terima, kurang gizi dan harus banyak makan yang enak-enak. Tiga dokter yang berbeda memberikan diagnosa dan saran yang sama kepadanya. Tapi dokter yang ketiga ada lebihnya. Ada tambahannya. Keterangan dan saran yang bikin Cecep ketawa ngakak. Dokter itu mengatakan, bahwa yang Cecep alami ini adalah masalah umum yang dialami seorang bujangan (maaf bukan jomblo ya). Obatnya yang paling mujarab adalah menikah, kata dokter itu. Cecep ketawa ngakak. Kerempeng kurus kering, kepala sering pusing, kok obatnya menikah.

Tapi kemudian dia pun segera tersadar. Usia sudah 27, pujaan hati sudah ada dan setia menunggu di keindahan Bandung. Kenapa tidak menikah saja. "Tapi kantong... kantong... ini gimana kantong. Masih tipis juga," Cecep bergumam di keheningan malam. Untuk hal yang satu ini tidak ada yang namanya langkah tegap semangat 45. Meski tiba di Jakarta saat Hari Lahir Pancasila.

Kondisi yang dialaminya, yaitu tidak wellcome-nya belasan kawan itu, dan badan kerempeng kurus kering, kepala sering pusing, tidur di mushola serta kerja siang malam, bagi Cecep ini adalah ongkos yang harus dibayarnya untuk sebuah asa yang sempat terajut di Kota Bandung bersama 2 sahabatnya, Togar dari Medan dan Made dari Bali.

Di Bandung mereka bertiga dipertemukan. Togar seorang Insinyur Pertanian lulusan IPB. Made lulusan salah satu STIE favorit di Bandung. Ia meraih magister dari salah satu universitas swasta di Bandung dan nyambi sebagai dosen tidak tetap di STIE almamaternya. Togar dan Made bekerja di kantor yang sama tapi lain divisi. Cecep tidak sekantor dengan mereka.

Mereka bertiga kerap bertemu karena urusan pekerjaan. Sering kali di sela-sela urusan pekerjaan itu mereka ngopi atau maksi (makan siang) bersama sambil ngobrol ngalor ngidul, ketawa-ketawa. Jarang mereka ngobrol serius saat ngopi atau maksi itu. Lagi pula tempat mereka ngopi atau maksi itu bukanlah tempat-tempat yang ekslusif yang bisa leluasa memperbincangkan hal-hal serius. Maklum ketiganya berstatus tipis kantong. Mereka pilih tempat yang murah meriah. Namun, dari ngobrol ngalor ngidul sambil ketawa-ketawa itu, lahirlah sebuah asa. "Menaklukkan ibukota." Itulah asa yang mereka rajut bersama.

Dan Cecep menjadi yang duluan datang di Jakarta, sendirian. Sendiri berjuang menggapai asa itu. Saat Cecep berhasil meluluhkan hati Gani dan juga Jansen, belasan kawan yang lain tetap belum bisa menerima kehadiran Cecep. Bertiga dengan Gani dan Jansen, Cecep mengimplementasikan naskah perencanaan yang telah disetujui RUPS.

Jurus pamungkas dia, yakni mondok di kantor, ternyata sangat ampuh. Tidak seperti mantra yang dari guru pidatonya itu. Menjelang 6 bulan keadaan berubah. Belasan kawan itu bisa terbebas dari virus imsomnia tanpa harus meminta Biofarma membagi vaksin. Kini mereka sudah ingat lagi bahwa di kantor ada yang namanya jam kerja. Mereka mengapresiasi hasil kerja keras Cecep. Hasil kerja siang malam. Beberapa pekerjaan besar, menurut ukuran kantor mereka waktu itu, berhasil didapatkan. Mereka pun mendapatkan kesibukan yang lumayan berarti yang selama ini jarang mereka dapatkan.

Namun, PR besar menanti. Mereka sudah cukup berkarat, lama tidak disibukan dengan tuntutan pekerjaan dengan intensitas tinggi. Kaku, kikuk, dan lamban menjadi kendala. Ini tak ubahnya seperti pemain-pemain Persib yang lupa cara mengoper bola saat Piala Menpora dimulai karena lama tidak bermain akibat pandemi covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun