Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Baju Adat Bali yang Menyisakan Masalah

12 Juni 2020   03:10 Diperbarui: 12 Juni 2020   03:36 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 1996 adalah tahun kedua keluarga kami tinggal di kota Surabaya. Saat itu kami masih tinggal di rumah kontrakan di sebuah kompleks perumahan di ujung timur Surabaya.Anak kami baru satu, laki-laki. Ia lahir di Bandung setahun sebelum kami pindah dari Jakarta ke Surabaya. 

Selama 14 tahun di Surabaya anak kami bertambah dua. Anak kedua, laki-laki lahir tahun 1997. Kemudian anak ketiga, perempuan lahir tahun 2000. Jadi keluarga kami termasuk generasi abad 20.

Dengan demikian saya ini sudah termasuk usia senja. Dulu seusia saya sekarang, akan mendapat penghargaan dari negara berupa KTP seumur hidup. Kalau sekarang dengan E-KTP semuanya punya masa berlaku seumur hidup.

Saya harus mengatakan bahwa saya sudah termasuk dalam usia senja. Ini bukan sebuah pengakuan, ya. Tapi faktanya memang begitu, saya sudah tua, 55 tahun (tapi ini rahasia ya, jangan bilang-bilang sama yang lain).

Alasan utama saya mengatakan sudah tua, adalah munculnya “gugatan” dari anak ketiga saya, Alya, yang saat ini sudah menginjak semester V di Sastra Jepang UNPAD. Saya sempat berpikir, sudah tua begini kok malah “digugat” oleh anak sendiri.

Bermula tahun 1996 itu kami bertiga (saya, istri dan anak) pergi berlibur ke Bali ditemani supir kantor yang mengemudikan kendaraan yang kami pakai. 

Singkatnya, setelah menikmati berbagai objek wisata, pada hari ketiga sebelum pulang ke Surabaya kami menyempatkan diri berfoto ria dengan mengenakan baju adat Bali. Tempatnya di sebuah studio di pusat kota Denpasar. Saya sudah tidak ingat nama studio dan lokasi tepatnya (mungkin kalau Pak Ketut Suweca masih ingat situasi kota Denpasar sekitar tahun itu).

Beberapa tahun kemudian kami kembali mengunjungi Bali sekeluarga (anak kami sudah dua). Kami pun kembali berfoto dengan baju adat bali di tempat yang sama. Inilah yang menjadi titik pangkal masalahnya.

Bulan lalu dua hari sebelum lebaran, tepat di hari ulang tahun saya yang ke 55, anak ketiga saya menshare beberapa foto di WAG keluarga kecil kami. Foto yang dishare adalah foto-foto kami dalam balutan Baju Adat Bali dengan menambahkan caption “Tega gak pernah ada  alya di foto bali mah” (dengan emoji marah).

Anak saya yang pertama memberikan komen sbb : “Gppa..cuma ke Bali. Mungkin satu hari Alya ke Jepang atau ke Korea gaakan ada foto aufal sama aimal

Atas komen itu anak perempuan saya itu, hanya membalas dengan sticker emoji “speechless”. Sesuatu yang belum selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun