Mohon tunggu...
Silahudin Din
Silahudin Din Mohon Tunggu... Dosen - Berbagi info, menuai setetes pengetahuan

Berbagi info, menuai setetes pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tarung Simpati, Jemput Obsesi

18 Juni 2014   22:44 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:13 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PEMILIHAN PRESIDEN (Pilpres), tinggal menghitung hari. "Tarung" simpatik yang dilakonkan oleh kedua belah pihak terus tak henti-henti. Bahkan makin masif, entah itu dengan sekadar klaim, atau memang sebaliknya.

Tampak itu dipermukaan jagat kepolitikan nasional Pilpres 2014. demokrasi citra menjadi "budaya pop" politik pilpres untuk membangun simpatik dukungan dari lapisan masyarakat. Ada klaim dukungan Ormas keagamaan ini dan itu, dan ormas-ormas lainnya.

Memang, persoalan politik Pilpres adalah persoalan bagaimana merebut hati rakyat pemilih, dan calon pemimpin nasional itu terpilih sebagai presiden. Namun kesan yang hilir mudik baik itu di media elektronik, media cetak dan media- media sosial (seperti tweeter, facbook, dll) justru menyesakkan dada dengan sederet gosip yang tidak sehat.

Pertanyaannya, sebegitukah calon pemimpin nasional mencari simpatik rakyat dengan menebar isu-isu yang menggelisahkan rakyat negeri ini? Ataukah kalian sesungguhnya bukan kehendak jadi pemimpin nasional, namun mencari kekuasaan semata dengan setumpuk kewenangan yang ada di pundak yang bernama "Presiden".?

Menjadi presiden memegang kekuasaan yang strategis dalam membawa kehidupan politik negara bangsanya. Oleh karena di pundak presidenlah negara bangsa ini baik atau sebaliknya.

Kenyataan yang harus diakui, bahwa rakyat yang menentukan kalian terpilih jadi presiden atau tidaknya. Oleh karena itu, sangat krusial dipahami bagaimana memahami bahasa rakyat, bukan sebaliknya rakyat diprovokasi oleh segala macam bentuk semacam memberi kebencian karena dirasuki ambisi dapatkan kekuasaan.

Transparansi mengejar kedudukan semakin menonjol dan aliensi elit politik tidak menunjukkan pada usaha kedewasaan politik berbangsa dan bernegara, malah mempertontonkan kepentingan politik individu atau kelompoknya.

Dengan perkataan lain, dominasi politik kekuasaan, tampak semakin diprioritaskan bagi kepentingan dan tujuannya, sedangkan kepentingan rakyat banyak, nyaris tidak ditengok (sedikit tersentuh). Kepentingan-kepentingan kelompok terus menerus menghiasi dan mendominasi pada pelataran arena politik. sedangkan "simulasi" kepentingan rakyat banyak masih jauh tersemtuh.

Persoalannya, apakah negara bangsa Indonesia ini menganut “kedaulatan kelompok”? Sementara kedaulatan rakyat justru semakin terbelah terpinggirkan dalam percaturan perpolitikan Indonesia. Atau rakyat ini sekedar menjadi penonton “pertengkaran” elit politik yang tak kunjung reda, karena bersikut berebut kekuasaan.

Secara substantif rakyat tersandera oleh hiruk pikuk politik yang ditontonkan para pencari kedudukan politik. Panggung politik nasional “disandera” oleh kepentingan-kepentingan yang tidak membebaskan dalam menikmati ‘negara untuk melindungi segenap bangsa dan warganya’.

Entah kebingungan apa yang sedang menyelimuti bangsa ini, termasuk elit-elit negeri ini seakan negara ini tiada dalam keadaannya. Apakah memang ini sebagai anomali bangsa yang sedang kehilangan orientasi kebangsaannya? Ataukah kehadiran negara sebagai intrumen kolektif justru terbuai oleh hegemoni “kedaulatan kelompok” dan kedaulatan rakyat berada dalam black box politik ?

Rakyat bukan saatnya lagi untuk dininabobokan, namun justru harus terlibat mendesain kehendak negara. Artinya, pemimpin sebagai orang yang telah diberi amanah dalam mengelola dan mengendarai negara ini benar-benar mencurahkan segala kemampuannya untuk kepentingan khalayak banyak, bukan sibuk dan sensitif mengurus “dapur sendiri”. Atau memenuhi ambisi kekuasaan yang tersembunyi dan disembunyikan dalam pertarungan Pilpres. Semoga tidak demikian adanya!


Bandung, Juni 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun