Mohon tunggu...
MUSHOFA
MUSHOFA Mohon Tunggu... Guru - KHODIM PP. DAARUL ISHLAH AS-SYAFI'IYAH TANAH BUMBU KALSEL

Hobby Baca Buku-Buku Islami Klasik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bolehkah Membahas Dzat "Allah"?

8 Desember 2022   07:00 Diperbarui: 8 Desember 2022   07:01 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bolehkah Membahas Dzat "Allah"?

Pertanyaan seperti ini terkadang sering muncul di benak kita. Kita perlu tahu bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini adalah merupakan cara syetan menyesatkan dan melemahkan keimanan manusia. Jika pertanyaan yang muncul masih standar seperti: siapa tuhan kita? berapa jumlahnya? Hal ini masih bisa dijawab dengan akal. Namun jika sudah bertanya "seperti apa wujudnya tuhan kita?" dan dia berada dimana?", sementara akal kita tidak mampu menjangkaunya, maka yang muncul adalah "keraguan". Ketika manusia sudah ragu, di situlah syetan berhasil memasukkan perangkapnya. Oleh karena itu, di sinilah pentingnya belajar ilmu tauhid.

Diantara yang wajib pertama kali diketahui oleh orang mukallaf (yaitu orang yang sudah baligh dan berakal) adalah mengetahui dan mengenal Tuhannya. Disinilah pentingnya belajar ilmu tauhid sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Sebab tauhid ini yang akan menjadi dasar seseorang kepada siapa ia harus menyembah dan kepada siapa ia harus meminta pertolongan. Seseorang harus kenal dengan tuhannya sebelum ia menyembah.

Oleh karenanya Ibnu Ruslan Arramli (w. 844 H) menulis di awal bait fiqihnya yang terkenal "Matan Zubad" sebagai berikut:

  • () *  
  •  *  

Artinya: 

"Pertama yang wajib bagi manusia adalah mengetahui tuhannya dengan keyakinan. Dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai legalitas sahnya iman bagi dia yang mampu".

Pernyataan Ibnu Ruslan ini membuktikan bahwa sebelum seseorang itu melaksanakan ritual ibadah misalnya sholat, puasa, zakat, haji dan ibadah lainnya, maka ia harus mengetahui kepada siapa ia melaksanakan ibadah tersebut. Al-Fatsani menjelaskan bahwa yang dimaksud  pada bait di atas adalah seseorang yang sudah baligh dan berakal, kemudian yang dimaksud  mengetahui dan meyakini wujudnya Allah dan apa saja yang wajib bagi Allah dan apa saja yang tidak layak bagi Allah serta apa saja yang boleh yang menjadi haknya Allah, dan ketiganya itu terkumpul dalam dua kalimah syahadat.

Selanjutnya bagaimana cara mengenal Allah? Cara mengenal Allah adalah dengan mengetahui sifat-sifat-Nya dan melihat ciptaan-ciptaan-Nya. Lantas bolehkan membahas dzat Allah? Di sinilah yang perlu kita perhatikan. Dalam masalah keimanan, kita tidak bisa hanya mengandalkan akal semata. Karena akal manusia mempunyai keterbatasan. Sementara Allah adalah dzat yang absolut yang tidak terbatas. Tidak mungkin yang terbatas mampu menjangkau yang tidak terbatas. Maka apapun yang terlintas dalam pikiran dan tergerak dalam hati menyangkut dzat Allah, maka Allah tidaklah seperti itu. Sebab, jika hal itu dianggap "Allah" maka Allah akan tergambar dan terbentuk. Sementara setiap bentuk pasti mempunyai ukuran dan volume. Sesuatu yang terbentuk dan mempunyai volume pasti juga membutuhkan ruang dan dipengaruhi waktu. Jika hal ini yang terjadi berarti Tuhan tidak absolut lagi dan ini sangat mustahil.

Sekarang, jikalau akal dan mata tidak bisa mengetahui dzat Allah Swt, maka bagaimana untuk sampai kepada ma'rifat Allah, semementara mata kita tidak bisa melihat-Nya? Kita bisa mengenali wujud Allah dan sifat-sifatNYa dengan memperhatikan bekas-bekas kekuasaan-Nya terhadap makhluk-makhlukNya yang baru. Seperti adanya langit, matahari, bumi, pepohonan, air dan lain sebagainya termasuk keberadaan manusia itu sendiri. Apa hubungan melihat ciptaan-Nya dengan keyakinan keberadaan wujud-Nya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa membuat analogi sebagai berikut: seseorang yang melihat bangunan, ia pasti mengerti bahwa bangunan tadi tentu ada yang mendirikan. Orang melihat kitab, ia pasti meyakini ada penulisnya. Demikian pula ketika kita melihat alam semesta ini tentu ada dzat yang menciptakannya. Yang terdahulu, yang mengetahui, yang menghendaki, yang berkuasa, dan bijaksana.

Untuk lebih memantapkan akan wujudnya Allah Swt, sekalipun kita tidak bisa melihat-Nya karena keterbatasan mata dan akal, coba perhatikan ruh! Kita sepakat jika ruh itu ada, namun dimana? Seperti apa? Kita tidak tahu, tetapi kita yakin akan adanya. Mata dan akal kita terbatas untuk mengetahuinya. Begitu juga Allah Swt. sesungguhnya meskipun kita tidak dapat melihatnya dan mengetahui tentang hakikat wujudnya dengan pikiran. Kita dapat menetapkan tentang wujud-Nya Allah yang bersifat dengan segala kesempurnaan sifat-Nya karena kita memperhatikan kepada apa yang kita saksikan dari bekas perbuatan-Nya, yaitu alam ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun