Mohon tunggu...
MUSHOFA
MUSHOFA Mohon Tunggu... Guru - KHODIM PP. DAARUL ISHLAH AS-SYAFI'IYAH TANAH BUMBU KALSEL

Hobby Baca Buku-Buku Islami Klasik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Ada Sekat Lagi di Dalam Keilmuan

7 Desember 2022   14:00 Diperbarui: 7 Desember 2022   13:59 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

JANGAN ADA SEKAT LAGI DI DALAM KEILMUAN

Islam di zaman modern seperti sekarang ini rasanya malah semakin jauh tertinggal, khususnya di bidang ilmu pengetahuan umum dan teknologi. Padahal jika kita menengok ke belakang banyak sekali ulama' kita yang ahli dibidang umum. Misalnya di bidang Matematika ada Al Khwarizmi, Abu Wafa al Bawzajani (w. 998 M), Abu Kamil Syuja (abad 10 M), Al Jauhary (abad 9 M), Al Khuyandi ( w. 390 H/ 1000 M), Khusiyar Ibn Laban (awal abad 11 M), Almajriti (w. 1007 M), Al Karaji (w.410 H/1019 M), Abu Nasr Mansur (w.1039 M), Al Khazin (abad 4 H/10 M), dan masih banyak lagi.

Dibidang kedokteran Ibnu Sina (980-1037), Ibnu al-Nafis (1213-1288). Di bidang kimia, fisika dan farmasi ada Jabir Ibn- Hayyan (721-815). Dibidang sejarah dan sosiologi Islam ada Ibnu Khaldun (1332-1406). Dibidang ilmu bedah modern ada Al Zahrawi (936-1013), dan tokoh-tokoh besar yang lain. 

Mereka semua tidak hanya pandai dibidang ilmu dan teknologi tetapi mereka juga seorang ulama' yang tentu sangat menguasai ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, hadits, nahwu, shorf, tasawuf dan fan-fan yang lain. Kenapa bisa maju seperti mereka? karena mereka sadar bahwa ilmu itu milik Allah, tidak ada sekat dalam mempelajarinya. Justru ilmu agama dan ilmu umum harusnya bisa diintegrasikan, disatu padukan dan dikoneksikan.

Kata sahabat saya: "Sekarang ini di dunia Islam cenderung membuat dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Dikotomi ini sangat membekas di kalangan umat muslim. Misalnya sebagian besar orang masih terkesan bahwa ilmu keislaman adalah satu hal dan ilmu umum adalah satu hal yang lain. Hal ini tentu akan merugikan dunia Islam sendiri. Sebab akan menganggap tidak pentingnya ilmu-ilmu non-keislaman, sehingga tidak perlu dipelajari. Inilah salah satu faktor kemunduran keilmuan Islam."

Di Indonesia sendiri masalah dikotomi ilmu Islam dan umum sudah mulai pada zaman penjajahan. Terhadap pendidikan Islam, penjajah cenderung menghambat dan menghalangi karena dianggap sebagai faktor yang akan mengancam keberlangsungan pemerintah. Hal itu membuat adanya kemunculan rasa antipati terhadap apapun yang datang dari luar. 

Akibat sepak terjang penjajah tersebut sampai sekarang fenomena dikotomi ilmu masih bisa kita lihat pada dunia pendidikan seperti adanya sekolah umum atau Perguruan Tinggi Umum di bawah naungan Departemen Pendidikan dan sekolah agama atau Perguruan Tinggi agama di bawah naungan Departemen Agama. Bahkan ada sebutan ilmu umum dan ilmu agama, guru umum dan duru agama. Perguruan Tinggi Agama Islam seperti UIN pun juga menerapkan sistem ini dimana hampir 90 persen materi pelajarannya adalah ilmu-ilmu agama.

Sudah banyak sekali tokoh yang menyadarkan akan adanya sekat ini sebanarnya, diantaranya Prof. Amin Abdullah. Beliau menawarkan teori jaring laba-laba (spider web) yang berkaitan dengan keilmuan Islam, bertujuan untuk mengembangkan kerangka ilmu-ilmu dasar keislaman yang bersifat normatif, tetapi juga mengintegrasikan dengan ilmu sekuler yang bersifat empiris-rasional. Berbagai disiplin ilmu yang berbeda saling berhubungan dan berinteraksi secara aktif-dinamis. 

Yaitu, corak hubungan antar berbagai disiplin dan metode keilmuan tersebut bercorak integratif-interkonektif. Jadi intinya beliau ingin menyatu padukan ilmu keislaman dan ilmu umum agar kejayaan Islam khususnya dibidang IPTEK pulih kembali.

Beliau juga menawarkan pendekatan multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin diperlukan dalam Studi Keislaman kontemporer. Linearitas ilmu dan pendekatan monodisiplin dalam rumpun ilmu agama akan mengakibatkan pemahaman dan penafsiran agama yang selama ini kehilangan kontak dengan realitas dan relevansi dengan kehidupan sekitar. 

Budaya berpikir secara mandiri yang baru dapat mendialogkan sisi subjektif (agama), objektif (sains), dan intersubjektif (filsafat) dari keilmuan dan keberagaman menjadi niscaya dalam kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun