Mohon tunggu...
kangsamad
kangsamad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hikmat: Merayakan Hubungan Ayah Anak

19 Februari 2010   00:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:51 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_77123" align="alignleft" width="297" caption="Ilustrasi"][/caption] Sebagai ayah dari dua  anak yang masih kecil, 7 dan 3 tahun, sebenarnya saya tidak begitu banyak waktu dengan mereka. Kata orang Jawa "tangannya tidak dingin", artinya anak-anak tidak pernah suka untuk digendong atau untuk berlama-lama bermain-main dengan saya.

Dan terlebih-lebih, bundanya sangat dekat dengan ke dua anak kami. Jadi yang pasti saya tidak pernah merasa kerepotan untuk harus bermain dengan ke dua anak kami. Sebenarnya ingin berlama-lama dengan mereka, tetapi sepertinya mereka menganggap ayahnya sebagai penganggu keasyikan mereka.

Ada sebuah hal yang sering kami lakukan di pagi hari sebelum saya berangkat meninggalkan rumah, yaitu setelah memakai sepatu, biasanya anak saya yang sulung, akan duduk di pangkuan ayahnya. Kemudian kami bercakap-cakap singkat, dan diakhiri pamitan untuk pergi.

Biasanya saya berpesan begini kepada mereka di dalam percakapan singkat tersebut.

"Jaga bunda ya nak, Jaga adik ya nak."

Atau kepada adiknya, "Jaga kakak dan bunda  ya."

"Doakan ayah ya nak!"

Kemudian mereka biasanya menjawab dengan anggukan-anggukan kecil.

Dan tentunya juga hal-hal lain yang terkait dengan situasi hari itu, seperti supaya menghabiskan makanan, nasihat untuk membantu bunda, nasihat bermain dengan adik/kakak, belajar yang baik, bermain musik, melatih ketrampilan tertentu, dsb.

Dan kemudian tangan saya, saya letakkan di atas kepala mereka, sambil berseru di dalam hati supaya Tuhan memberkati dan menjagai mereka, dan kemudian peluk cium bagi mereka.

Betapa dunia ini bukanlah tempat yang aman dan nyaman bagi mereka. Bukankah tangan dan dekapan kedua orang tuanya tidaklah cukup lebar untuk merengkuh dan melindungi mereka selalu, sehingga selalu pengharapan akan tangan Tuhan yang kuat yang sejatinya mampu menjaga mereka senantiasa.

Ketika sepeda motor mulai meninggalkan garasi rumah, mereka akan serentak mengangkat ke dua tangannya seraya berseru "Dadah ayah, dadah ayah, dadah ayah ....," mereka berseru sambil meloncat-loncat sampai kendaraan ayah hilang di ujung gang. Para tetangga mungkin sudah sangat hafal seruan-seruan tersebut.

Pun ketika di malam hari pulang, biasanya si sulung akan dengan segera membuka pintu, dan kemudian berseru, "Ayah pulang, ayah pulang, ayah pulang ...". Suaranya memecahkan keheingan malam, dan sepertinya seruan itu adalah perayaan menyambut kedatangan seorang pahlawan pulang memasuki gerbang kota.

Saya bangga sebagai ayah ketika mendengar seruan-seruan dari mulut-mulut mungil ini. (Dan sepertinya ingin supaya seluruh dunia mendengar seruan itu). Betapa saya dan anak-anak saling merindu, malah seruan anak-anak itu menajamkan makna kebapakan saya, serta menjadi perayaan hubungan kasih yang ada diantara kami.

Kami sepakat untuk lebih banyak menggunakan kata-kata positif dibandingkan kata-kata negatif seperti, "jangan", "tidak boleh", "dilarang", dsb. di dalam mendidik anak-anak. Sehingga kapasitas mereka untuk bisa berkembang semakin besar, tetapi saya tahu bahwa anak-anak saya membutuhkan nasihat-nasihat hikmat.

Saya belajar untuk secara proaktif mengungkapkan kata-kata nasihat itu berulang-ulang dengan kata-kata yang sederhana dan di dalam penghargaan terhadap benih-benih yang mereka ada di dalam diri mereka untuk bertumbuh. Tetapi suatu kesadaran yang subtil juga muncul, kami sebenarnya dipenuhi dengan setumpuk ketidaksempurnaan di dalam menyatakan peran kami sebagai orang tua, betapa kami membutuhkan uluran tangan Tuhan yang sempurna yang memampukan kami.

Dan takut akan Tuhan adalah permulaan dari segala hikmat. Betapa berharganya hikmat bagi anak-anak ini. Seperti nasihat Kanjeng Nabi Sulaiman untuk sungguh-sungguh mengajarkan tanpa lelah tentang hikmat-hikmat yang utama kepada anak-anak kita, maka saya ingin mengalungkan (hikmat) itu pada leher anak-anakku, dan menuliskannya di dalam loh hati anakku, supaya mereka mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia.

Di dalam keheningan malam, ketika para kekasihku sudah tertidur senyap, aku kecup mereka satu persatu. Sepenuh doa kupanjatkan bagi para kekasih hati ku, biarlah di dalam hikmatNya yang penuh kasih karunia dan kebenaran, para kekasih hatiku dipuas-lelaskan kehidupannya.

Salam Taklim

Kang Samad

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun