Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... profesional -

Lahir di Pekalongan, 28 Agustus 1980. Seorang pria biasa saja. Hanya seorang 'TOEKANG KEBOEN'.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata Dadu

13 Januari 2015   07:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:16 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat menyaksikan adu ketangkasan bermain dadu antara Pandawa vs Kurawa yang disiarkan langsung oleh Kurawa TV, sejak mula Ki Lurah Semar tampak tegang. Bukan karena khawatir Pandawa kalah. Tetapi, ketegangan itu lebih dikarenakan efek dari tata ruang studio lengkap dengan tata cahaya dan musik pengiringnya yang dikonsep sedemikian rupa oleh tim kreatif Kurawa TV. Dominan warna hitam yang bergradasi dengan biru tua sebagai warna latar panggung, dengan sedikit menambahkan warna merah menyala sebagai ornamennya, membuat kesan muram pada panggung. Belum lagi dengan warna nyala lampu sorot yang memadukan antara cahaya kuning, biru, dan merah, dibiaskan melalui efek asap menambah kesan kian cekam.

Suasana menegangkan kian terasa dengan permainan musik latar. Dimainkan langsung oleh kelompok orkestra yang dipimpin oleh mahaguru Drona, kelompok orkestra itu memainkan nada-nada minor pada biola dengan memadukan cello yang memainkan nada-nada bass. Sementara genderang bass drum ditabuh dua kali dalam satu ketukan di bagian awal tiap birama. Seperti degup jantung. Benar-benar musik latar yang demikian menegangkan.

Meski begitu, ada bagian lain yang tetap mempertahankan kesan megah dan elegan. Kursi yang dibungkus beludru warna merah tua dengan sentuhan ornamen ukiran yang berkilauan warna emas menjadi penanda kesan kemewahan. Juga beberapa pilar yang dibikin mirip dengan pilar-pilar istana kebesaran Hastina ikut menjadi ornamen yang megah.

Semua kesan itu disempurnakan dengan sudut-sudut pengambilan gambar yang sedemikian dramatis. Ada lima puluh kamera yang digunakan dalam waktu bersamaan. Pertimbangannya, luas ruangan studio yang dibandingkan dengan keterjangkauan mata kamera serta perpindahan kamerawan yang terbatas. Ya, studio itu dibikin khusus. Sebenarnya, studio itu adalah gedung olahraga yang berkapasitas sepuluh ribu penonton. Itu belum termasuk luas area lapangan yang tersedia. Salah satu gedung olahraga megah di Hastina.

Jadi, pertunjukkan adu ketangkasan permainan dadu ini nyaris mirip sebuah konser musik besar. Kelompok orkestra ditempatkan di sisi kanan panggung utama, agak berjauhan. Sementara di sisi kiri panggung utama disediakan pula panggung lain yang digunakan untuk para artis kenamaan. Mereka tampil sebagai pengisi acara. Ada yang menyanyi, ada juga yang bermain drama, pantomim, dan sebagainya.

Pemandu acara yang diperani oleh Patih Sengkuni pun mulai naik panggung. Dengan iringan musik yang memberi kesan keagungan sang patih, ia pun naik dengan langkah optimis. Dadanya tegap. Langkahnya pasti. Sebelum memberi kata pengantar, ia pun menuju ke sudut kanan-kiri panggung seraya membungkukkan  badan dan memberi lambaian tangan tanda penghormatan pada semua penonton. Lalu, tepat di tengah-tengah panggung ia berdiri, memberikan kata pengantar, “Sekian lama kita nantikan, sebuah helat besar di negeri yang besar, Hastinapura. Kita lama menanti perjamuan agung dua keluarga besar negeri ini. Wangsa Pandawa dan Kurawa. Kita merindukan keduanya duduk satu meja, tampil sebagai bintang. Bintang fajar yang memperindah pemandangan langit senja.

“Dan malam ini, kita menjadi saksi. Dewa-dewa di kahyangan juga menyaksikan. Mereka merestui. Memberikan berkahnya pada kita malam ini. Ini bukan sekadar tontonan. Tetapi, penentu masa depan negeri Hastina.  Lewat enam sisi mata dadu, nasib negeri ini akan ditentukan.

“Ya, permainan dadu bukan soal permainan menang-kalah. Bukan juga soal keberuntungan. Tetapi, di balik mata dadu, ada restu para dewa. Sebab kita tidak akan pernah tahu, sisi mana yang akan muncul di permukaan. Kita bisa saja salah menerka. Oleh karena itu, ada dua kemungkinan bagi sang pemenang dalam permainan dadu. Ia sekadar beruntung atau direstui.

“Tetapi, oleh restu para dewa, pemenang permainan dadu kali ini, sudah tentu, adalah mereka yang direstui. Mereka yang dikehendaki oleh para dewa. Mengapa begitu? Karena keduanya adalah orang-orang pilihan. Pewaris keagungan para raja Hastinapura.

“Dan dengan tepuk tangan yang meriah, mari kita sambut kedua keluarga besar ini untuk naik ke atas panggung. Kita sambut keluarga pertama, Pandawa!” ucap Sengkuni dengan membentangkan kedua tangannya lebar-lebar sedikit membungkukkan badan.

Tampak pada layar televisi Yudhistira muncul dari sisi kanan panggung. Diikuti Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Kelima ksatria putra Pandhu ini menuju kursi yang disediakan. Satu-satu wajah mereka disorot kamera, sehingga yang tampak pada layar televisi adalah wajah mereka, wajah para Pandawa. Menyaksikan itu, mata Semar berkaca-kaca. Sepertinya ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh para putra Pandhu. Tetapi, ia tak kuasa menyampaikannya. Semar hanya bisa duduk di atas kursi kayunya. Mengamati perkembangan tiap detik layar televisinya. Lalu, layar televisi itu kembali menayangkan wajah sang pemandu acara, Sengkuni.

Bagong yang duduk melantai di sisi Semar tampak mengamati raut wajah Rama-nya. Agak ragu, ia ingin mengajukan pertanyaan. Tetapi, tatapan mata Semar lekat-lekat tertancap pada layar televisi. Bagong pun urung bertanya. Kembali menempelkan pandangan matanya pada layar kaca.

“Gong, mana Petruk dan Gareng, Gong?” tiba-tiba Semar membuka suara.

Bagong yang baru saja mengalihkan perhatiannya pada layar televisi sontak kaget. Bahunya menghentak mundur, menegak. Wajahnya mendongak menatap Semar. Tetapi, sama sekali Semar tak menatapnya. Tatapan mata Semar masih pada titik yang sama. Ya, pada layar televisi itu. Bagong tahu, pasti ada sesuatu. Tetapi, ia membiarkannya. Ia hanya menjawab apa yang ditanyakan Semar, “Anu Rama, tadi pamitnya sih mau nonton pertandingan dadu itu di poskamling.”

Semar hanya mengangguk.

Untuk beberapa saat kemudian, Bagong setia menunggu reaksi Semar. Tetapi, tak ada. Ia pun kembali menatap penuh layar televisi. Meski pikirannya dipenuhi dengan sangsi.

Di atas panggung itu sosok Sengkuni tampak lihai memandu acara. Semua sudut panggung bisa dimanfaatkan begitu maksimal. Kini, ia berjalan pelan menuju sisi kiri panggung setelah menyalami lima ksatria putra Pandhu itu. Tepatnya, setelah sedikit melakukan wawancara kecil dengan Pandawa. Sambil berjalan, ia pun berkata, “Ya, rakyat negeri Hastinapura pasti bangga memiliki ksatria-ksatria agung putra Pandhu. Kita semua bangga. Mereka adalah ksatria-ksatria yang dianugerahi dewa, bakat-bakat agung. Yudhistira yang bijaksana, Bima yang perkasa, Arjuna yang gesit, Nakula yang tangkas, dan Sadewa yang pemberani. Pandawa!”

Riuh tepuk tangan penonton menyahut. Sorak-sorai pun bersahutan.

“Baiklah, kita tinggalkan sejenak Pandawa. Dan kini, berilah sambutan yang meriah pula untuk junjungan kita, Prabu Doryadana dan kawan-kawan!”

Tatapan Semar makin lekat. Sedikit pun tak bergeser. Layar televisi itu seperti telah menghipnotis. Dilihatnya wajah Duryadana dan bala Kurawa. Saat itu pula layar televisi menampilkan respons penonton yang memadati deretan kursi penonton. Mereka semua berdiri sambil memberi tepuk tangan yang meriah. Sementara, di deret kursi VVIP, Bhisma tampak duduk tenang. Sesekali hanya memberikan tepukan tangan yang ringan. Sedang Destarartra, ayah Prabu Duryadana tampak tersenyum pada mereka. Seulas senyuman bangga.

Di seberang, Krisna, Baladewa, Drupadi, juga beberapa kerabat Pandawa tampak berusaha tenang. Seolah tidak terjadi apa-apa. Tetapi, mata batin Semar dapat membaca gelagat mereka. Ada ketakutan, rasa khawatir, dan cemas yang demikian hebatnya. Mereka tahu apa yang sesungguhnya tengah menimpa pada lima ksatria itu. Tetapi, demi menghormati undangan itu, lima ksatria itu tidak bisa melanggar janji untuk tidak menghadiri undangan itu.

Mata Semar sedikit mulai berkaca-kaca. Seperti ada sesuatu yang dipendamnya dalam-dalam. Sesuatu yang benar-benar menusuknya. Tetapi, ia tak sanggup mengatakannya, bahkan kepada anak-anaknya yang selama ini setia mengawal Pandawa.

Bagong yang beberapa kali menoleh pada Semar pura-pura tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Ramandanya. Ia memilih diam. Tetapi, bukan berarti ia tidak mau mengerti perasaan sang ayah. Sikap diamnya justru wujud dari pengertiannya yang sangat dalam. Ia tidak mau memperkeruh suasana hati Semar, Ramanya.

Kini, Sengkuni mendekati meja permainan dadu. Ia berdiri tegap dan membentangkan tangannya sambil berucap, “Di arena laga dadu ini, sudah hadir dua ksatria yang akan bermain ketangkasan dadu. Seperti kita tahu, meskipun kecil, kotak dadu adalah penentu kemenangan sekaligus kekalahan. Enam sisi dadu ini tidak peduli siapa di antara dua ksatria ini yang paling hebat. Ia tidak memihak siapa pun. Tetapi, kemenangan dalam permainan dadu adalah sebuah tanda, bahwa siapapun pemenangnya adalah ia yang diberkati oleh dewa.

“Jadi, apapun pertaruhan di atas meja dadu ini adalah sebuah tanda, siapapun yang menang memiliki hak atas kemenangannya. Karena kemenangan itu direstui dan disaksikan oleh alam raya ini!”

Kemudian, Sengkuni pun menatap dua pihak yang tengah beradu. Kepada Yudhistira, ia berkata, “Apakah kalian sudah siap?”

Yudhistira mengangguk, “Bahkan sejak langkah pertama kami untuk menuju kemari, kami sudah siap, Paman.”

“Bagus kalau begitu.” Lalu, Sengkuni menoleh pada Duryadhana. “Bagaimana dengan Prabu Duryadhana?”

“Tuan rumah selalu siap, Paman,” ucap Duryadhana mantap.

“Baiklah kalau begitu. Tetapi, sebelum permainan ini dimulai, apakah kalian berdua sudah paham aturan permainannya?” tanya Sengkuni.

“Paham, Paman,” Jawab Yudhistira.

“Bagus.”

“Kalau begitu, segeralah dimulai saja permainannya, Paman. Jangan biarkan rakyat Hastinapura menunggu. Itu akan sangat membosankan, Paman,” sahut Duryadhana.

“Baiklah, Baik. Tetapi, sebelum permainan ini dimulai, ada baiknya para tetamu, penonton, juga pemirsa di rumah untuk menerima persembahan yang satu ini. Sebuah sendratari yang dimainkan oleh penari istana Hastinapura, yang menceritakan keagungan negeri Hastinapura. Negeri agung yang diberkati oleh para dewa! Terimalah persembahan sendratari Nagari Adiwisesa Hastinapura!”

Betapa Sengkuni memainkan perannya dengan amat piawainya. Sebagai seorang entertein, Sengkuni tahu saat harus menjeda. Suhu yang memanas tak boleh diteruskan memanas. Hal itu akan membuat tontonan jadi membosankan. Tetapi, menjeda luapan emosi yang segera akan muntah adalah suatu strategi yang ampuh untuk tetap menahan penonton dan juga pemirsa televisi agar tidak berpindah ke saluran lain. Mereka akan menunggu dan menunggu.

Seperti halnya dengan Semar dan Bagong yang juga setia menunggu. “Gong, sisa kopi di almari apa sudah habis?” tiba-tiba Semar bersuara setelah sekian menit lamanya ia menahan diri.

“Rama mau dibikinin kopi, Ma?” tanya Bagong.

“Ya, kalau masih ada. Tapi jangan terlalu kental, juga jangan terlalu manis. Gulanya sedikit saja. Tak baik orang setua Ramamu ini minum yang manis-manis,” sahut Semar.

“Ya, Ma!” jawab Bagong sambil berlalu menuju dapur.

Mata Semar masih tertuju pada layar televisi itu. Kini duduknya agak lebih santai. Bahunya ia sandarkan pada sandaran kursi. Tangannya yang tadinya sedikit maju ke depan, kini diserahkannya pada pegangan kursi.

Tak berselang lama, Bagong muncul dengan nampan dan secangkir kopi. Ia letakkan kopi itu di atas meja samping kursi.

Lirih terdengar Semar terkekeh.

“Ada apa ta, Ma kok ketawa sendiri?” tanya Bagong heran.

“Aku tak menyangka, Sengkuni bakal tampil sebegitu dahsyatnya. Begitu lihai memandu acara. Caranya membawakan acara mengingatkanku pada seorang pemandu acara kondang di negeri Jawadwipa, namanya Tantowi Yahya. Aku dulu bahkan mengidolakannya lho, le.

“Setiap kali acara kuis di televisi yang dipandunya menjadi lebih hidup. Tidak kalah gaya dengan senior-seniornya macam Kushindratmo atau Kris Biantoro. Entah sekarang, konon kabarnya, dia kini lebih memilih jadi seorang politikus di negerinya. Kemunculannya di televisi sebagai pembawa acara kuis pun sudah mulai jarang,” jelas Semar.

Bagong tahu, sebenarnya obrolan ringan semacam ini hanya hiburan kecil buat Semar. Ya, Semar sedang menghibur dirinya. Tidak benar-benar sedang terhibur. Ia sedang mengalihkan perhatiannya sejenak. “Wah, Rama ini malah bernostalgia rupanya,” seloroh Bagong lepas.

“Apakah orang tua macam aku ini tak boleh bernostalgia, Gong?” tanya Semar.

Bagong hanya mengangkat pundaknya dan menggeleng kepala.

“Setiap orang pasti memiliki masa lalu. Tidak semuanya bisa dikenang. Tetapi, tidak semuanya pula harus dilupakan. Setidaknya, dari semua peristiwa itu pasti ada hal-hal yang membuat kita bisa tertawa geli. Merasa lucu dan merasa bodoh dibuatnya. Tetapi, begitulah lelakon urip. Selalu ada yang keliru, sampai-sampai kita dibikin gemuyu,” ungkap Semar.

“Dan kali ini, Rama dibikin ketawa oleh Sengkuni. Ya kan, Ma?” celatuk Bagong.

Semar pun terkekeh. Cangkir kopi yang digenggamnya tak jadi beradu dengan mulutnya. “Kau ini lucu sekali, Gong. Bukan Sengkuninya yang bikin aku tertawa. Tetapi cara dia membawakan acara itu yang membuatku terkenang pada masa laluku itu. Lucu dan menggemaskan.” Lalu, Semar pun menahan agar tawanya tak tertumpah ruah, hingga lupa pada kopi yang bisa saja ikut termuntahkan dari mulut cangkir di genggamannya itu. Sembari menghela napas, Semar berucap, “Bagaimana bisa ya aku dulu sampai terkagum-kagum sama seorang pembawa acara televisi. Sampai-sampai semua kuis yang dibawakannya aku ikuti. Meski tak pernah mendaftar jadi peserta.”

“Rama menyesal nggak sempat ikut kuis, Ma?” tanya Bagong polos.

“Justru karena jadi penonton aku puas, Gong. Sebab, aku bisa menggoblok-goblokkan peserta kuis yang jawabannya salah, atau karena ia terlalu ragu-ragu dan mudah terpancing oleh bujuk rayu pemandu acaranya agar memilih bantuan atau memilih menyerah. Aku juga bisa menggoblok-goblokkan peserta kuis itu yang terlalu percaya diri memberikan jawaban padahal jawaban itu salah!” kata Semar sedikit bersemangat.

“Tetapi, bagaimana dengan acara malam ini, Ma?”

Semar mendadak diam.

Cukup lama jeda terbiarkan.

Bagong merasa bersalah menanyakan itu. Tetapi, tak bisa juga ia meminta maaf. Karena ia tahu Semar tidak mau diganggu lagi. Semar hanya diam. Menatap dalam-dalam pada layar televisi itu. Diseruputnya pelan kopi bikinan Bagong. Lalu diletakkannya cangkir itu di atas meja. Hanya suara cangkir yang beradu dengan tatakan dan meja itu yang mengisi kekosongan.

“Babak pertama dalam permainan ini, segera dimulai. Tawaran pertama, akan saya berikan kepada Prabu Duryadhana. Apa yang akan menjadi taruhan Prabu?” tanya Sengkuni.

Dengan mengangkat tangannya dan dagu yang sedikit didongakkan, Duryadhana berkata, “Akan aku pertaruhkan seluruh kekayaan pribadiku. Rumah, mobil, tanah perkebunan, pabrik-pabrik, dan juga perusahaan media milikku akan aku pertaruhkan di atas meja ini, Paman!”

“Prabu yakin?” tanya Sengkuni.

“Semua sudah kuserahkan pada Paman. Keyakinanku ada di tangan Paman.”

Sontak seluruh penonton bersorak.

“Baiklah kalau begitu. Nah, bagaimana dengan Prabu Yudhistira?”

“Sepanjang itu tak melanggar kehormatanku, aku setuju Paman,” suara Yudhistira terdengar mantap.

“Jawaban yang mantap. Ini menandakan, bahwa seorang ksatria yang agung. Ya, Prabu Yudhistira tidak bisa diragukan lagi rekam jejaknya. Beliau juga salah seorang pemain dadu yang handal yang dimiliki negeri ini. Tetapi, semuanya akan terjawab dengan mata dadu ini. Kira-kira, kepada siapakah mata dadu ini akan berpihak?” ujar Sengkuni. “Kalau begitu, silakan Prabu Yudhistira tentukan pilihanmu sekarang. Angka berapa yang Prabu kehendaki sebagai angka kemenangan?”

“Pemenang hanya ada satu. Maka aku pilih satu, Paman.”

“Bagaimana denganmu Prabu Duryadhana?”

“Menjadi yang kedua tidak berarti selalu kalah, Paman. Menjadi yang kedua bisa jadi menjadi bayangan dari sang pemenang. Dan bayangan tak bisa lepas dari sang pemenang. Artinya, kemenangan yang sesungguhnya adalah ketika ia menyadari adanya yang kedua. Aku pilih angka dua, Paman.”

Lalu, Sengkuni pun mengocok wadah dadu. Sambil ia berkata, “Dua pilihan ini luar biasa membuatku terpesona. Alasan mereka memilih sungguh di luar dugaan. Tetapi, kepastian akan segera dihasilkan dari mata dadu yang akan muncul. Dan inilah dia!” Sengkuni pun melempar dadu itu di atas meja.

Dadu itu berguling-guling cukup lama. Berputar-putar. Tak terbaca dengan jelas, sisi angka mana yang akan muncul di permukaan. Begitu cepat ia berputar. Pada layar televisi, perputaran dadu itu diambil gambar penuh.

Semar menatap layar televisi itu lekat-lekat. Tak sedikit pun ingin beranjak. Begitu pula dengan Bagong. Ia tak ingin melepaskan pandangannya dari layar televisi. Keduanya menjadi tegang. Kian tegang. Menantikan sisi mata dadu yang akan muncul. Mereka berharap satu! Ya, satu! Seperti yang dikehendaki Yudhistira. Mereka tak ingin kemenangan di tangan Duryadhana. Mereka tak bisa membayangkan bagaimana jika kemenangan itu ada di tangan Duryadhana. Mereka sama sekali tak bisa memikirkan apa yang akan terjadi jika itu yang menjadi kenyataan. Mereka tak bisa menyaksikan bagaimana nantinya dengan nasib Pandawa jika kekalahan itu dialami mereka. Sama sekali, itu tak diinginkan. Tetapi, lagi-lagi mereka tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa menonton tayangan televisi itu. Sebuah tayangan yang sebenarnya tidak ingin mereka tonton.

Dadu putih itu terus berputar. Tetapi, putarannya makin melemah. Mulai tampak sudah angka-angka yang ada pada sisi-sisi dadu itu. bersamaan dengan melemahnya putaran itu, sorak sorai penonton pun membahana. Mereka meneriakkan, “Dua!! Dua!! Dua!! Dua!!”

Tampak Duryadhana bersemangat. Karena apa yang dikehendakinya didukung oleh penonton. Wajahnya berseri, seolah tahu kemenangan akan memihak pada dirinya. Dia pun berdiri sejenak. Mencoba menenangkan penonton.

Sementara Yudhistira dan empat saudaranya tetap menjaga ketenangan mereka.

Tap! Angka yang muncul pun tampak sudah. Semua tercenung. Semua terkejut. Semua terdiam. Seluruh gemuruh suara redam dalam seketika. Seperti dihentikan oleh hawa dingin yang tiba-tiba merasuk ke dalam ruangan studio raksasa itu. Sengkuni menatap tak percaya. Begitu pula Duryadhana. Mereka terkaget-kaget. Ini benar-benar hal yang di luar dugaan mereka. Ya, angka yang keluar dari mata dadu itu tidak lain adalah angka dua!

Duryadhana pun bangkit dari tempat duduknya. Meloncat girang. Sementara Sengkuni, sebagai seorang pembawa acara berusaha tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh gelagat tuannya. Dari jauh, Bhisma tampak tenang. Tak ikut senang, tak jua ikut sedih. Air mukanya seperti tak menunjukkan sesuatu apapun. Ekspresinya datar.

Sedang Yudhistira, menerima kekalahan pertamanya itu dengan berusaha tetap tenang. Ia memberi kode kepada empat saudaranya agar tetap tenang dan menjaga sikap.

“Dadu telah bicara. Dua! Itu artinya, sesuai dengan kesepakatan, Prabu Yudhistira harus menyerahkan segala kekayaan pribadinya kepada sang pemenang, Prabu Duryadhana. Semoga berkat ini direstui,” kata Sengkuni.

Tetapi, Semar dan Bagong tampak gelisah. Kekalahan pertama Pandawa bisa jadi adalah pertanda buruk. Terlalu naif jika Pandawa harus kalah untuk sesi-sesi berikutnya. Mereka tak terima, tetapi tak bisa berbuat banyak.

“Ah, andai saja kita ada di sana,” gumam Semar.

“Tidak akan ada gunanya, Rama,” ucap Bagong lirih. “Kita justru akan membikin onar. Karena kedatangan kita tak diharapkan.”

“Setidaknya kita bisa berbuat, Gong.”

“Berbuat untuk membubarkan acara itu? Bahkan membatalkannya saja kita tidak bisa kok, Ma.”

Semar menghela napas panjang. Dalam-dalam. “Benar, Gong. Kau benar.”

“Baiklah, sekarang sesi kedua akan saya tawarkan pada Prabu Yudhistira. Apa yang akan menjadi pertaruhan Anda di meja ini, Prabu?” tanya Sengkuni. Tetapi, belum juga pertanyaan itu dijawab, Sengkuni kembali memotong, “Ah, maaf Prabu, sebelum dijawab, saya pikir tak ada salahnya kita nikmati dulu persembahan dari grup band Mahadewa. Sekadar mengendurkan urat saraf kita agar tak tegang. Kita sambut, Mahadewa!”

“Sudahlah, Ma. Ganti saluran saja, Ma. Rasanya aku mulai mual-mual melihat tayangan adu dadu itu, Ma,” keluh Bagong.

“Kalau tak tahan, pergilah sana! Susul kakangmu Petruk dan Gareng,” ucap Semar agak marah.

Mendengar nada ucapan itu Bagong menjadi ciut nyali. Ia tahu, kemarahan Ramanya itu akan menjadi petaka jika dilawan.

“Sepahit apapun kenyataan, harus kita kunyah. Bukan dimuntahkan. Bahkan kejadian-kejadian manis pun tak selamanya enak dirasakan. Bisa juga kejadian-kejadian manis itu membuat kita mual dan ingin muntah,” kata Semar.

Bagong hanya mengangguk diam.

“Kau benar, kita tidak bisa berbuat banyak untuk kejadian ini. Tetapi, bukan berarti kita sudah tidak lagi dibutuhkan. Tidak, Gong. Mereka, para putra Pandhu itu masih membutuhkan kita, Gong. Tetapi, bukan untuk hal ini. Mereka sudah telanjur menentukan pilihan. Mereka juga berhak menentukan pilihan mereka, tanpa harus membicarakannya dengan kita. Kita ini punya kuasa apa atas mereka, Gong?” kata Semar.

“Lho setidaknya kita ini kan yang ngemong mereka, Ma. Sekecil-kecilnya peran rakyat jelata seperti kita ini, mereka butuh diemong sama kita, Ma,” kilah Bagong.

“Mereka memang harus mendengarkan kita. Memang. Tetapi, tidak selalu apa yang mereka dengar dari kita sebagai rakyat kecil itu harus mereka laksanakan. Mereka tentu punya perhitungan-perhitungan yang belum tentu kita pahami. Itulah mereka.”

“Kalau begitu, apa gunanya kita bersuara, Ma? Apa gunanya kita selalu mengingatkan?”

“Mengingatkan bukan berarti memaksa orang untuk menjadi ingat. Karena mengingatkan itu artinya kita sendiri juga harus ingat, sebelum mengingatkan. Kalau mereka tak ingat, bisa jadi karena kita sendiri belum betul-betul ingat.”

“Rama itu terlalu bijaksana untuk urusan semacam ini. Sampai kapan Rama akan membela mereka, para Pandawa itu, mati-matian, Ma?”

“Di dunia ini tak ada sesuatu pun yang perlu dibela. Bahkan diri sendiri pun tak patut untuk dibela jika memang bersalah. Bahkan, ketika kita dipersalahkan, kita tidak perlu membela. Yang perlu dilakukan adalah memberi bukti pada kebenaran. Bukan menunjukkan diri seolah-olah benar meskipun kita tidak salah.”

“Pikiran Rama terlalu njlimet, sulit aku pahami, Ma.”

“Ya sudah!” Semar agak kesal dengan gerutu Bagong yang tak habis-habis. Ia kembali pada layar televisi itu.

“Seperti janji saya tadi, tawaran untuk sesi kedua ini akan saya berikan kepada Prabu Yudhistira. Bagaimana?” tanya Sengkuni.

Yudhistira agak berpikir.

“Apakah sudah tidak ada yang akan dipertaruhkan? Apa kau akan menyerah? Bagaimana dengan kehormatanmu sebagai seorang putra mahkota?” ejek Duryadhana.

Sengkuni agak kurang berkenan dengan ucapan Duryadhana. Ia pun segera memeringatkan tindakan Duryadhana, “Saya kira, permainan dadu ini tidak ada kaitannya dengan kehormatan seorang putra mahkota. Tetapi, ini sekadar hiburan, Prabu. Jadi, alangkah baiknya jika permainan ini dilakukan dalam suasana yang gembira.”

“Maaf, jika ucapanku tadi kurang elok, Paman.”

“Tidak apa-apa. Namanya juga permainan. Kadang memang harus ada kerikil tajamnya,” ucap Sengkuni dengan senyumannya yang khas. “Baiklah, sekali lagi, saya tawarkan kepada Anda, Prabu Yudhistira.”

“Kemenangan bukanlah keinginan kami. Tetapi, bermain dengan cara yang indah, itulah yang kami harapkan. Jadi, untuk memberikan permainan yang indah ini, saya tidak akan sia-siakan kesempatan ini. Dan saya, akan pertaruhkan pasukan perang saya. Bagaimana?” ucapan Yudhistira membuat sejumlah tamu di kursi VVIP terhenyak kaget. Mereka menganggap taruhan Yudhistira terlalu berani dan ngawur. Tidak masuk akal. Tetapi, semua kadung diucapkan, maka pantang untuk ditarik kembali.

“Maaf Prabu, apakah sudah dipertimbangkan masak-masak?” rayu Sengkuni.

“Satu kalimat utuh pantang untuk dipatahkan. Sekali diucapkan pantang pula ditarik kembali. Itulah yang pernah kami terima dari ajaran guru kami, Paman Drona,” kata Yudhistira mantap.

“Guru Drona tidak pernah salah memilih murid-muridnya. Berbanggalah guru Drona! Salut untuk beliau!” Sengkuni mengucapkannya sambil menengok ke arah Drona yang tengah memimpin kelompok orkestranya. Lalu, memberi salam hormat padanya.

“Silakan Paman, mainkan dadunya,” ucapan Yudhistira kali ini tak menampakkan kekhawatiran. Nadanya datar dan meyakinkan.

“Baiklah! Sekarang, angka berapa yang kau pilih Prabu Duryadhana?”

“Permainan cantik itu ketika ada pemenang dan yang kalah. Maka, untuk mempercantik permainan ini, dibutuhkan pula kemenangan yang cantik pula. Dan, untuk melengkapi kemenangan yang cantik, dibutuhkan angka cantik. Sementara, angka cantik itu bagiku adalah tiga,” kata Duryadhana.

“Hmm... angka tiga?” tanya Sengkuni.

“Tiga itu tri. Tri itu menunjukkan dimensi ketiga yang tak terjangkau oleh kebaikan maupun keburukan, dua dimensi yang berada di bawahnya. Dimensi ketiga itulah titik kemenangan yang sejati. Bagaimana, Paman?”

“Argumentasi yang indah. Dan, bagaimana dengan Prabu Yudhistira?”

“Kebaikan dan keburukan selalu memiliki pasangan, yaitu kepura-puraan. Pura-pura baik, atau pura-pura buruk. Itu artinya dua dimensi itu memiliki dua dimensi lain yang maya. Maya berarti pula memiliki batas abu-abu. Dan sebagai penegasnya ada titik tengah yang menetralisir batas-batas itu. Titik kelima. Maka, aku pilih lima. Sebagaimana jumlah kami, ada lima,” ucap Yudhistira.

“Baiklah. Kalau begitu, kita mainkan saja. Tiga lawan lima! Manakah yang akan muncul?! Ini dia!” Sengkuni melempar dadu itu di atas meja. Kali ini, agaknya perputaran dadu tidak terlalu lama. Cukup singkat. Hanya dalam hitungan detik.

Semar memejamkan mata. Tak tahan melihatnya. Bagong memilih memalingkan mukanya. Ia tak ingin melihat perputaran dadu itu. Dalam hati mereka menjerit, ‘Ayoooo limaaaaa!’ Tetapi jeritan itu dipungkasi oleh suara letupan kegembiraan penonton yang terdengar dari televisi. “Horeee!”

“Apa!?” ucap Bagong.

Semar membuka mata pelan. Dia tampak lemas.

“Ini sudah benar-benar keterlaluan!” Bagong bergegas mengambil remote televisi. Tetapi, dengan sigap Semar menangkis lengan Bagong. Remote itupun membentur meja lalu jatuh dengan bunyi ‘prak!’ yang amat keras. Remote itu hancur terbelah. Seluruh isi remote dan beberapa komponen elektroniknya terburai di atas lantai.

Bagong kesal dengan sikap Semar. Ia lalu mengomel sejadi-jadinya. “Ini sudah keterlaluan, Ma! Keterlaluan! Rama masih akan membela Pandawa?!”

“Ini bukan salah mereka, Gong. Bukan!”

“Rama bisa membuktikan? Ayo buktikan, Ma? Katakan pada dunia, bahwa ini hanyalah kecelakan sejarah. Ayo, katakan Ma!”

“Kebenaran tidak perlu diteriakkan, ngger anakku. Tidak dengan cara itu. Tetapi, kebenaran sudah berada di jalur yang tepat. Ia tidak akan bergeser sedikitpun!”

“Rama memang pandai berkhotbah. Rama paling pandai berceramah. Selama ini, aku dan juga Kang Petruk, Kang Gareng sudah terpedaya oleh ocehan-ocehan Rama yang bijaksana itu. Rama tadi dengar sendiri, Yudhistira putra sulung Pandhu itu mempertaruhkan kekuatan perangnya. Itu artinya sudah melecehkan negaranya sendiri, Ma. Ia lupa pada kedaulatan negerinya. Itu sama artinya akan membuat rakyat mudah terancam. Itu artinya, Yudhistira sama juga dengan raja-raja lainnya di muka bumi ini. Mereka doyan mengorbankan rakyatnya demi permainan yang tak patut ini. Ini harus diakhiri. Harus, Ma!”

“Bagong!” satu tamparan mendarat di pipi kiri Bagong. Semar lantas diam.

“Baik, Ma. Baik. Anggap saja ini adalah perjuangan Rama. Rama akan dikenang sebagai pahlawan pembela Pandawa yang dielu-elukan sebagai pembela kebenaran itu. Maaf Ma, Bagong pamit minggat!” Bagong pun segera berlalu dari hadapan Semar.

Semar sama sekali tak mencegahnya. Ia membiarkan Bagong pergi begitu saja. Semar masih setia dengan keyakinannya untuk ngemong Pandawa. Sekalipun, perasaannya tertusuk oleh permainan dadu yang disiarkan langsung oleh televisi itu.

“Kemenangan kedua yang cantik baru saja diraih Prabu Duryadhana. Dan kini, memasuki sesi ketiga, aturan permainan sedikit akan dimodifikasi. Begini aturannya. Pertama-tama, pihak pemenang akan saya beri kesempatan menentukan pilihan angka yang muncul pada mata dadu. Tetapi bukan menyebut angkanya, melainkan menyebut angka besar atau kecil. Karena dalam permainan sesi ini, dadu yang digunakan ada dua biji. Setelah dipastikan siapa pemenangnya dalam adu tebak besar kecil angka mata dadu ini, pihak pemenang dibolehkan meminta apapun dari yang kalah. Apakah ini disetujui?” kata Sengkuni.

“Untuk kali ini, saya mengajukan syarat, Paman,” sergah Yudhistira.

“Syarat apa itu?”

“Permintaan pemenang tidak boleh melanggar kehormatan lawan. Itu syaratnya,” pinta Yudhistira. Ia tahu, pelanggaran atas kehormatan bisa saja dilakukan oleh Duryadhana. Ia sangat tahu.

“Baiklah. Bagaimana dengan Prabu Duryadhana?”

“Aku tidak keberatan, Paman.”

“Apa bisa dimulai?”

“Silakan, Paman.”

“Baiklah. Prabu Duryadhana, Anda pilih besar atau kecil?”

Duryadhana tertawa, lalu berkata, “Itu sudah pasti besar, Paman.”

“Jika begitu, Prabu Yudhistira tidak bisa tidak harus mengatakan pilihan Anda adalah kecil.”

Yudhistira hanya mengangguk.

“Sekaranglah saatnya. Lempaaaaarrr!”

Dua biji dadu itu berputar. Sesekali mereka beradu.

Semar yang menyaksikan itu menekan dadanya kuat-kuat. Ia memalingkan wajahnya. Seolah ingin menjauh dari layar televisi itu. Seperti hendak lari dari kenyataan. Alisnya mengkerut. Matanya memejam sekuat-kuatnya. Seperti tengah berhadapan dengan goncangan yang begitu dahsyatnya.

Lalu,

“Kemenangan ada di pihakmu, Prabu!” teriak Sengkuni.

Seketika Semar menoleh ke arah layar televisi itu. Ia terbelalak manakala menyaksikan dua mata dadu itu. Disaksikannya sebuah kenyataan pahit. Angka besar yang muncul dari dua mata dadu itu telah memukul Pandawa lagi.

“Apa yang akan kau minta dari Prabu Yudhistira, Prabu Duryadhana?” tanya Sengkuni.

“Aku meminta kerajaannya. Apakah ini diterima? Apakah ini melanggar syarat?”

Sengkuni tercenung sejenak.

Semar terkaget. Betapa permintaan itu sangat berat dipenuhi. Tetapi, jika tidak dipenuhi, itu juga melanggar sumpah Yudhistira sebagai seorang ksatria. Semar tak kuasa, meleleh pula airmatanya. Sesuatu yang telah diperjuangkan untuk ditegakkan harus diruntuhkan oleh permainan dadu. Benda kecil itu telah membuat semuanya raib dari sang empunya.

“Oh, jagad bethara, penderitaan apa yang tengah ditimpakan pada rakyat Indraprasta? Sehebat apapun badai menyapu bersih istana dan negeri ini, deritanya tidaklah sedahsyat dari permainan kotor ini. Sedahsyat apapun lindu yang mengguncang dan merobohkan negeri ini, permainan kotor ini lebih memalukan dari lindu,” ucap lirih Semar.

Hal serupa juga dialami Bhisma yang duduk di deret kursi tamu VVIP. Ia tak tahan memandang kejadian itu. Ia merasa jijik dengan permainan kotor itu. Tetapi, ketika ia hendak beranjak dari tempat duduknya, ia ditahan oleh Destrastra. Ia pun terpaksa menahan diri.

Tampak juga pada layar televisi, keempat adik Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa mulai terpancing emosi. Tetapi, Yudhistira berusaha menenangkan mereka. “Baiklah, memenuhi janjiku, aku serahkan kerajaan Indraprasta ke pangkuanmu.”

“Ha ha ha ha! Indraprasta adalah istana penuh kemegahan. Apa kau tak sayang kehilangan kerajaanmu itu?” ucap Yudhistira dengan nada meledek.

“Maaf Prabu Duryadhana, ada baiknya Anda juga menjaga sportivitas dalam permainan ini. Ini kali keduanya saya memeringatkan Anda, Prabu,” ucap Sengkuni sekadar untuk menunjukkan rasa empatinya pada Yudhistira. “Dan sebaiknya, kita masuki saja sesi berikutnya. Masih dalam aturan yang sama. Silakan Prabu Duryadhana, tentukan pilihanmu.”

“Sudah pasti besaaaarrr!” kata Duryadhana.

Sengkuni menatap pada Yudhistira, tanpa berkata apapun. Yudhistira hanya mengangguk kecil tanda menyilakan agar Sengkuni segera melempar dadu yang ada di genggamannya itu.

“Sungguh ini sudah tidak ingin aku saksikan lagi,” gumam Semar. “Tetapi, aku harus melihatnya. Bukan karena aku ingin, tetapi karena ini sebuah keharusan. Bahwa seorang rakyat kecil juga harus tahu bagaimana penguasanya melakukan hal-hal yang begini. Meski sebenarnya ini sangat memalukan. Bukan karena kekalahan yang membuatnya memalukan, tetapi permainan dadu itu sudah amat sangat memalukan.”

Tubuh Semar tiba-tiba menggigil gemetaran. Ia merasa seluruh tubuhnya lemas. Seperti kehilangan daya. Seluruh persendiannya terasa ngilu.

“Mungkin benar kata Bagong. Sudah semestinya ini tak dilanjutkan. Pandawa sudah kehilangan banyak hal. Bahkan kerajaan Indraprasta sudah dipertaruhkan. Ini artinya, rakyat Indraprasta sudah kehilangan kedaulatan sebagai bangsa, juga sebagai negara. Kalau penguasa sudah mempertaruhkan kedaulatan negerinya, lalu apa lagi yang akan dipertaruhkan selain persaudaraan? Setelah itu, apakah ini artinya akan ada banjir darah sebagai pertaruhan terakhir dari permainan dadu yang bentuknya sekecil biji kelereng itu?” Semar mengomel sendiri.

“Tidak. Semestinya ini tidak terjadi. Jangan sampai terjadi. Oh... Bagoooong.... Bagong.... Petruuuuk.... Petruk.... Gareeeeng.... Gareng.... Ke mana kalian?”

Semar merasakan dingin yang begitu beku. Suhu badannya naik drastis. Ia lemas terkulai di atas kursi kayunya. Gemetaran. Menggigil. Ia tak lagi menggubris suara-suara bising dari televisi itu. Televisi yang diperbaikinya beberapa hari lalu. Hanya untuk menyaksikan pertandingan adu ketangkasan bermain dadu. Kini, tayangan di televisi itu tak lagi ditontonnya. Tetapi suara bising itu terus mengisi kepalanya.

“Besar! Prabu Duryadhana menang lagi!” ucap Sengkuni.

Sorakan kegembiraan pun membuncah. Seluruh penonton menyambut kemenangan itu dengan histeris. Seketika itu, pamor Pandawa seperti hilang ditelan bumi. Di atas panggung, tampak Duryadhana meloncat-loncat kegirangan. Ia menari-nari. Lalu, di tengah tarian kegembiraannya itu, ia langsung nyerocos, “Aku minta Bima. Ya Bima... Bima... Bima sang ksatria gagah berani jadi milikku. Ha ha ha ha!”

“Apa kau keberatan, Prabu Yudhistira?” tanya Sengkuni

Yudhistira agak berat hati, tetapi ia tak bisa menolak. Sementara Bima awalnya tak terima hasil kekalahan itu. Tetapi, ia tidak bisa melawan kakaknya, Yudhistira. “Ambillah ia,” ucap Yudhistira.

Bima berjalan gontai menuju ke belakang kursi Duryadhana.

“Sesi berikutnya, Prabu Duryadhana pilih besar atau kecil?” Sengkuni mulai mempercepat tempo permainan. Sebab, semakin ia memainkan pola yang sama dalam tempo yang pelan akan semakin membosankan. Ia paham itu. Ia benar-benar seorang entertain handal.

Kali ini, sedikit menunjukkan sikap ksatrianya, Duryadhana menyilakan Yudhistira untuk memanfaatkan kesempatan, “Aku tidak memilih, tetapi aku berikan kesempatan ini untuk Yudhistira lawan tanding yang hebat ini. Apakah ini dibolehkan Paman?”

“Baiklah. Pemenang memiliki hak untuk banyak hal. Dan itu artinya sangat dibolehkan. Baik, Prabu Yudhistira, besar atau kecil?”

“Besar,” Jawab Yudhistira singkat.

“Kita lihat sekarang. Apakah besar atau kecil? Lempaaarrr!” Aksi lempar dadu Sengkuni kali ini begitu indah. Bahkan paling indah di antara sekian lemparan yang telah dilaluinya. Tangannya membentang dan sikap badannya tampak begitu indah untuk dilihat.

“Kecil!”

“Kau menang lagi saudaraku,” ucap Dursasana.

“Ha ha ha... ini kemenangan kecil, saudaraku. Bukan apa-apa!”

Sengkuni memotong pembicaraan tidak penting antara Dursasana dan Duryadhana, “Baiklah, Prabu Duryadhana, apa yang kau minta dari Prabu Yudhistira?”

“Aku minta Arjuna. Pemanah dengan mata yang sangat awas.”

“Ambillah Arjuna dariku,” ucap lirih Yudhistira.

Melihat Yudhistira yang mulai kepayahan itu, Sengkuni merasa perlu memainkan rasa empatinya sebagai seorang entertain. Ya, ia pun memberikan kesempatan bagi Yudhistira untuk menimbang-nimbang lagi. “Apakah Anda masih akan melanjutkan permainan ini, Prabu Yudhistira?” tanya Sengkuni.

“Jangan bikin Ibumu malu hanya karena kau menyerah karena kalah, Yudhistira! Tunjukkan pada Ibumu bahwa kau adalah ksatria yang tangguh. Ksatria sejati.” Seloroh Dursasana.

Agaknya, ucapan Dursasana sedikit menyinggung perasaan. Yudhistira pun terpaksa bersikap tidak lunak. Ia meminta agar Dursasana diingatkan sang pembawa acara yang tak lain adalah Sengkuni, “Maaf, apakah dia boleh bicara dalam permainan ini?”

“Terima kasih Prabu Yudhistira, Anda memang seorang ksatria yang bermartabat. Mampu menempatkan diri dengan sebaik-baiknya. Dan Raden Dursasana, saya peringatkan agar Anda tidak ikut campur dalam urusan ini. Bisa dimengerti?” kata Sengkuni.

“Baik, Paman,” Dursasana menunduk.

“Saya masih akan melanjutkan permainan ini, Paman. Jangan khawatir. Saya tidak akan memunggungi lawan dan lari karena kalah ataupun karena menang. Silakan, Paman.”

Tanpa ada aba-aba dari Sengkuni, Duryadhana langsung menyerobot, “Aku pilih besar, Paman!”

“Baiklah. Lempaar!”

“Sebuah lemparan besar dengan angka besar. Kau menang lagi, Prabu Duryadhana,” kata Sengkuni.

“Ha ha ha! Ya ya! Aku minta Nakula!”

“Ayo Paman, lanjut lagi! Aku besar!”

Kini permainan makin dipercepat ritmenya. Soal begini, Sengkuni sudah sangat lihai. Ia tahu, Duryadhana sedang kegirangan. Dan kegembiraan Duryadhana sudah sangat diimpikan oleh penonton. Maka Sengkuni tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.

“Baiklah. Lempaaar!”

“Besar lagi!”

“Ah, tak perlu basa-basi lagi. Sadewa untukku!”

Kini tak ada yang tersisa dari Pandawa, semuanya sudah disikat habis oleh Duryadhana. Tinggal Yudhistira seorang. Saat itu, Sengkuni pun hendak menghentikan permainan. Tetapi, Duryadhana punya cara lain untuk terus melanjutkan permainan.

“Semua sudah dipertaruhkan. Semua sudah habis. Jadi, tinggallah kini Prabu Yudhistira seorang. Tentu permainan ini tidak bisa dilanjutkan,” kata Sengkuni.

“Maaf Paman, masih ada satu lagi yang belum ia pertaruhkan di atas meja dadu ini, Paman!” seloroh Duryadhana.

“Maksud Prabu?” tanya Sengkuni.

“Paman, gunakanlah mata Paman dengan baikbaik. Di sana, masih ada satu perempuan yang ia bawa. Perempuan yang kecantikannya tak tertandingi di muka bumi ini. Ia telah menjadi bagian dari Pandawa. Apakah itu tidak boleh dipertaruhkan?”

“Maksudmu, Dupadi?” tanya Sengkuni, “Oh, tidak... tidak. Prabu Duryadhana jangan terlalu terburu nafsu. Perempuan itu memiliki kedudukan yang sangat terhormat.”

“Tetapi, mempertaruhkan Drupadi tidak sama dengan mempertaruhkan kehormatan Yudhistira kan Paman?” kilah Duryadhana.

“Hanya Prabu Yudhistira yang bisa menjawabnya. Bagaimana, Prabu?” tanya Sengkuni.

“Sebagaimana janjiku. Sepanjang tidak melanggar kehormatanku, aku akan memenuhinya.”

“Kau dengar Paman, sepanjang tidak melanggar kehormatan Yudhistira, bukan kehormatan yang lain. Itu artinya, Drupadi bukan bagian dari kehormatan Yudhistira.”

“Baiklah kalau begitu,” kali ini tangan Sengkuni agar gemetaran. Ia seolah tak lagi mampu menguasai dua buah dadu di tangannya. Lalu, ia pun mulai memberikan tawaran kepada Duryadhana. “Prabu Duryadhana, mana yang kau pilih?”

“Aku minta dipilihkan Yudhistira.”

“Baiklah, bagaimana Prabu Yudhistira?”

“Karena aku diberi kehormatan untuk memilihkan angka besar atau kecil dari lawan mainku, maka kehormatan itu akan aku terima dengan sebaik-baik mungkin. Aku memilih besar untuk kemenangan Duryadhana,” kata Yudhistira.

“Baiklah. Tetapi, sebelum dua mata dadu ini saya lempar. Ada baiknya kita beri kesempatan untuk sebuah jeda. Ya, saya ingin sekali mahaguru Drona memberi persembahan yang indah lewat komposisi musiknya. Kabarnya, beberapa waktu lalu, guru Drona menyiapkan satu komposisi musik khusus yang dipersembahkan untuk Prabu Duryadhana. Tetapi, komposisi itu akan dimainkan jika memungkinkan. Dan inilah saat yang memungkinkan, guru! Mainkanlah musikmu, guru Drona!”

Ucapan Sengkuni itu disambut dengan permainan musik grup orkestra yang dipimpin Drona. Mereka memainkan sebuah komposisi yang mengesankan kemegahan dan kemasyhuran negeri Hastina. Dimulai dengan nada yang lembut mengalun, seolah menggambarkan negeri Hastina sebagai negeri yang damai. Perlahan nada itu merambat menuju pada ketinggian, diiringi ritme yang secara pelan ikut meninggi. Nada yang seolah-olah tengah membangun sebuah kesadaran akan keagungan negeri Hastina. Kini, nada itu meliuk-liuk bagaikan permukaan bukit yang tak rata. Tinggi rendah nada pada permainan musik itu mengalun begitu sempurna seolah ingin memberi gambaran pada semua untuk menghayati keindahan dalam harmoni negeri Hastinapura. Inilah sajian musik agung yang digubah oleh seorang guru besar, Drona.

Tetapi, alunan musik itu tak sedikitpun mampu membuat Semar tersemangati dan bangkit dari keterpurukannya. Ia membiarkan alunan musik itu melintasi gelombang udara. Ia tak peduli. Seagung apapun musik itu, tetaplah di pundaknya ada beban berat dipanggulnya. Kehancuran negeri Indraprasta.

“Untuk apa nyanyian, alunan nada, atau puisi-puisi agung itu diciptakan dan diperdengarkan ketika kedaulatan sebuah negeri telah tercabik-cabik? Rakyat sudah tak lagi dijunjung sebagai pamomong para pemimpin. Nyanyian, musik, atau puisi-puisi agung itu hanya akan menjadi impian kosong. Seperti sebuah tusukan yang tepat menikam hati rakyat. Apa menariknya?” untuk kali ini, Semar menggumam. Perasaannya hancur.

Kini, dari layar televisi, tampak Sengkuni tengah bersiap melempar dadu. Sementara Duryadhana tampak senang. Ia yakin akan menang. Yudhistira, sosok yang dikenal bijaksana, kali ini terlihat seperti seorang pecundang di mata Semar. Ia tampak berusaha tenang, tetapi ketenangan itu hanya pura-pura. Yudhistira berlagak seorang ksatria berhati besar, berjiwa mulia.

“Nah! Kita lihat! Ternyata angka besar!” teriak Sengkuni. “Dengan demikian, kemenangan untuk Prabu Duryadhana!”

“Ayolah, Yudhistira, boyong Drupadi untukku,” ucap Duryadhana dengan nada mengejek.

Yudhistira menatap erat Drupadi. Ia tak tega.

“Kalau kau tak mau, biarlah Dursasana yang melakukannya.”

“Baik Kakang Prabu!” Dursasana bergegas mendatangi Drupadi dan berusaha membopongnya. Setelah sempat dibopong, Duryadhana rupanya punya permintaan lain.

“Karena Drupadi sekarang ini sah menjadi milikku. Maka, aku pun berhak untuk memperlakukan apa saja padanya. Dan adikku Dursasana, aku minta kau lucuti dia! Ha ha ha ha!”

Seketika itu, listrik di seluruh pelosok negeri Indraprasta padam. Gelap!

“Bagooong.... Kau benar, anakku! Negeri ini sudah gelap. Ditimpa oleh kegelapan yang berlapis-lapis. Matahari yang menggantung di atas langit negeri ini hanyalah tipuan. Maka, jalan satu-satunya adalah melubangi lapisan-lapisan kegelapan itu. Kalau perlu merobeknya sampai hancur! Sampai hancur! Sampai hancur!!!”

Pekalongan, 9 Januari 2015

Ribut Achwandi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun