Pernah kita menggembar-gemborkan kata “tawakal”?
Menyerahkan diri pada yang teryakini tanpa protes, komplain, menggerutu dan mencoba untuk “nrimo ing pandum”. Diam seribu bahasa, tak bersuara dengan apapun yang diterima. Akui saja kita sering meneriakkan kata itu, tawakal.
Namun pernahkan kita benar-benar tawakal?
Berserah dengan sepenuhnya serah seperti yang kita teorikan?
Kembali akui saja, bahwa sebagian dari kita masih “kecolongan” tidak mampu untuk melakukan itu. Karena nyatanya sebagian dari kita masih penuh dengan caci, gerutu, iri dan terbang bebas tanpa ikhlas. Sudah, akui saja.
Mari kita kembali ke dalam kandungan.
Membayangkan diri menjadi sebongkah daging tak bersuara hasil pertemuan ovarium dan sperma. Kala itu, kita tak pernah berbicara tentang tawakal.
Tapi apa anda tau, bahwa kala itu kita pernah menjadi makhluk yang begitu hebat ?
Menyerahkan hidup pada yang Terkasih dalam rahim bunda dan tak pernah protes dengan apapun yang diterima.
Apapun yang diberikan, tak pernah menjadikan kita untuk bergumam mengumandangkan bentuk penolakan, kita selalu terima. Bahkan, jika harus dibunuh sekalipun dengan cairan beracun.
Percayalah, kita pernah menjadi ciptaan dengan kualitas tawakal yang tinggi. Hanya menerima, tak bersuara. Bahkan benar-benar berserah, jika detik itu sang pencabut nyawa datang menjemput usia.
Saatnya kita kembali belajar pada diri sendiri.
Belajar tentang tawakal dan berserah diri.
Kita pernah bisa, dan kita pasti akan kembali bisa.
Jika mau.