Mohon tunggu...
Achmad Marzoeki
Achmad Marzoeki Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Pengarsip (Bagian I)

2 Februari 2019   10:00 Diperbarui: 4 Februari 2019   15:01 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari sudah mulai memerah sinarnya, pertanda hari telah beranjak senja. Kantor sudah sepi. Waktu kerja sudah usai beberapa jam lalu. Fitri baru pulang mengunjungi beberapa desa, masih harus membereskan berkas-berkas sebelum menyusul rekannya pulang.

HP-nya bergetar. Ada notifikasi pesan masuk dari whats app. Agak segan Fitri meraih HP yang tergeletak di mejanya.

"Bisa ketemu sekarang, nggak?" pesan dari Riyan.

"Aku capai, baru nyampai kantor habis keliling desa. Siap-siap mau pulang."

"Pertanyaanku tidak dijawab."

"Masa nggak bisa menyimpulkan, sih?"

"Ya sudah. Nanti malam aku ke rumahmu."

Fitri semula hendak membalas lagi. Tapi nggak jadi. Dibalas juga nggak langsung dibaca, sudah keburu off, gerutunya.

Malam Sabtu bulan purnama, cuaca cerah. Tapi Riyan justru tampak gundah. Sudah lebih dari lima menit duduk di teras rumah Fitri, belum juga keluar kata-katanya.

"Tadi minta ketemu. Sekarang kok diam saja?" Fitri akhirnya buka suara.

"Iya. Ada yang harus kusampaikan, tapi bingung memulai dari mana."

"Ya mulai ngomong saja. Kalau diam terus bagaimana bisa menyampaikan?" Fitri mencoba bergurau, tapi rasanya hambar. Membuat suasana semakin kaku. Hening lagi.

"Aku... Aku disuruh pulang oleh kedua orang tuaku." Meski sedikit terbata-bata, akhirnya keluar juga kata-kata dari mulut Riyan.

"Apa masalahnya? Selama ini kamu juga sebulan sekali pulang. Lagi pula Kebumen-Solo juga bukan jarak yang jauh," Fitri menanggapi dengan dingin.

"Aku ... disuruh pulang, karena ... mau dinikahkan sama orang tuaku ..." 

Riyan mengira apa yang diucapkannya akan mengejutkan Fitri. Ternyata dugaannya tidak tepat benar.

"Dinikahkan orang tua? Di mana-mana yang namanya dinikahkan orang tua ya perempuan, Mas. Bukan laki-laki."

Tanggapan Fitri malah kesannya meledek.

"Ya ... intinya aku disuruh menikah dengan pilihan orang tuaku." Riyan menunduk, tapi Fitri responnya tetap biasa saja, datar.

"Jadi, tadi sore minta ketemu cuma mau ngomong itu?"

"Kok cuma sih, Fit?"

"Owh, masih ada lagi?"

"Bukan. Maksudku... Apa kamu nggak terkejut dan ..."

"Apa yang harus membuatku terkejut? Cerita seperti ini sudah sering diangkat dalam novel atau film."

"Tapi ini bukan cerita, Fit. Ini nyata."

"Bagiku sama saja. Bedanya kan cuma subyek dan obyeknya saja. Semula hanya membaca atau menonton, sekarang menjadi obyek cerita itu," Fitri tetap datar saja menanggapi. Seolah tidak terjadi apa-apa.

"Bukan cuma kamu Fit, yang menjadi obyek. Tapi kita, aku dan kamu," Riyan jadi sedikit melo.

"Kamu bukan obyek, Mas, tapi subyek. Pelaku, bukan sasaran tindakan. Aku yang jadi sasaran tindakanmu."

"Kita Fit. Aku dan kamu, jadi sasaran tindakan orang tuaku," bantah Riyan sengit.

"Kamu punya pilihan, Mas. Setuju atau tidak, dengan pilihan orang tuamu. Aku belum punya pilihan. Jika Mas Riyan setuju dengan pilihan orang tua, aku yang jadi korban tindakan Mas Riyan. Lalu Mas Riyan jadi korban tindakan siapa?"

"Aku jadi korban tindakan orang tuaku..." Riyan mencoba membantah.

"Kalau mau namanya bukan korban, Mas. Tidak ada korban yang menikmati. Tapi kalau Mas Riyan tidak mau menjadi korban, kan tinggal tolak saja pilihan orang tua." Fitri masih mampu mengendalikan emosinya dalam berkata-kata, walau sebenarnya perasaannya jengkel juga.

Sudah dua tahun Fitri menjalin hubungan dengan Riyan. Fitri pun masih ingat momentum pertemuan pertama mereka. Dia sedang memberikan bimbingan pengarsipan secara online kepada perangkat desa di Kantor Desa Tanuharjo. Ada seorang yang hendak mencari informasi potensi desa.

Sambil mengobrol dengan kepala desa, lelaki itu rupanya memperhatikan perangkat desa yang sedang menangani permintaan surat menyurat. Mungkin juga karena memperhatikan Fitri, yang beberapa kali, tampak memberikan petunjuk.

"Tampaknya administrasi di desa ini, rapi sekali," lelaki itu kemudian mendekat usai mengobrol dengan Kepala Desa.

"Iya Pak, kami sedang memulai  pengarsipan secara online. Setiap surat menyurat terus dibuatkan arsip digitalnya, sehingga saat dibutuhkan lebih mudah mencarinya," jelas Rahmat, yang menjadi sekretaris desa.

"Tidak mengira saya, ternyata di sini perangkat desa juga punya pikiran yang maju," puji lelaki itu.

"Ini kami masih dibimbing Mbak Fitri, Mas. Dari dinas arsip." 

Rahmat mengarahkan pandangan ke Fitri, diiikuti pandangan lelaki itu.

"Memang ya, setiap perubahan besar, di belakangnya pasti ada perempuan hebat," pujian lelaki itu tampaknya untuk membuka pintu percakapan dengan Fitri. Hanya Fitri tampak terlalu asyik memberikan penjelasan, sehingga tidak merespon.

Rupanya lelaki itu benar-benar ingin berkenalan dengan Fitri. Terbukti dia tetap menunggu di kantor desa sampai Fitri selesai memberikan bimbingannya.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun