Mohon tunggu...
Jaja Zarkasyi
Jaja Zarkasyi Mohon Tunggu... Penulis - Saya suka jalan-jalan, menulis dan minum teh

Traveller, penulis dan editor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pilihanku Menjadi Istri Siri

5 Juli 2013   14:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:58 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selfi nampak sibuk merapihkan baju yang berantakan di tengah rumah. Sementara Ardan, si jagoan kecilnya, lagi asyik menonton televisi kesayangannya: Baby tv. Layaknya anak kecil di masa pertumbuhan, Ardan termasuk anak yang sangat aktif. Bahkan sikap aktifnya ini terkadang  membuat Selfi kewalahan. Keingintahuannya sangat tinggi. Selfi sangat bangga dengan perkembangan Ardan. Namun dia juga khawatir karena Ardan selalu penasaran jika jawaban yang dia butuhkan tak diberikan secara logis.

Demi menyalurkan karakter aktifnya, Selfi mengajarkannya kemandirian sejak dini. Karena itu pulalah Selfi selalu mengajarkannya hidup sederhana dan bertanggung jawab. Selfi membiasakan Ardan untuk merapihkan bantal atau menyimpan gelas pada tempatnya. Ardan harus dibiasakan melakukan segala sesuatunya sendiri. Ia tidak mau Ardan tumbuh menjadi anak manja yang selalu ingin dilayani. Padahal, dia akan berada dalam keterbatasan: tidak ada pembantu dan kewemahan. Ardan harus tau itu!!

Pagi ini Selfi harus mengantar Ardan ke sekolah. Ini adalah hari keempat Ardan masuk TK. Atas bantuan teman lama, Selfi memasukan Ardan di sekolah TK yang cukup jauh dari rumah, TK Pertiwi di daerah Pondok Cabe Pamulang. Tempatnya berada di tengah perkampungan. Udaranya masih sejuk. Satu yang membuat sekolah ini unik yaitu kurikulumnya yang banyak menitikberatkan sosialisasi. Anak-anak diajarkan untuk bersosialisasi langsung dengan masyarakat. Tujuannya agar anak-anak mendapatkan suasana yang lebih luas dan variatif. Inilah alasan mengapa Selfi memilih sekolah ini, mengingat lingkungan di sekitar rumah tidak menunjang bagi karakter Ardan yang sangat aktif itu.

Sebuah motor Mio telah bersiap di depan rumah. Dengan mengenakan helm dan membawa perlengkapan Ardan, Selfi mengajak Ardan untuk segera berangkat.

“ Ardan jagoan mamah,,,udah siap belum? Ayo kita berangkat..” ajak Selfi.

“ Siap mamah,,aku duduk di depan ya mah”, jawab Ardan.

“Hmm,,,boleh. Tapi Ardan jangan nakal ya.” Selfi mengajari Ardan untuk selalu taat dan patuh peraturan lalu lintas. Sebuah helem mini dikenakan di kepala Ardan. Tak lupa, kecamata hitam menambah keren wajah Ardan.

Mio merah itu melenggang santai menuju Arah Pondok Cabe. Dibutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai ke sekolah Ardan. Maklum, karena membawa Ardan, Selfi harus menjalankan motornya dengan pelan. Padahal, Selfi itu seorang tomboy yang tak takut ngebut di jalanan. Kali ini Selfi mengalah demi jagoan kecilnya. Ia ga mau Ardan meniru ngebut-ngebutan di jalanan.

Tibalah di sekolah. Nampak anak-anak seusia Ardan tengah berlarian di halaman sekolah. Bersama mereka para ibu atau pembantu mendampingi. Begitu pula Selfi, dia mengantarkan Ardan hingga pintu kelas. Seperti kebiasaannya, setelah anak-naka masuk kelas, ibu-ibu pengantar membuat forum tak resmi. Mengobrol atau bertukar pengalaman, itulah tema para ibu yang mengantarkan dan menunggu anaknya selesai bersekolah.

Tapi Selfi merasakan hal lain yang membuatnya selalu tidak nyaman berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Bukan karena gengsi atau merasa rendah diri di hadapan mereka, namun sebuah alasan telah membuatnya merasa tersisih sebelum bergaul. Selfi merasakan ada hal yang menghalanginya bebas bergaul.

“ Eh bu Selfi,,,ko ga gabung sama ibu-ibu yang lain neh. Ayo dunk bu kita gabung, seru loh obrolannya”, sesosok ibu setengah baya membangunkan lamunan Selfi yang sejak tadi memisahkan dari kelompok ibu-ibu.

“ Oiya bu Hilda, sebentar saya lagi telp ya, insya Allah nanti saya kesana bergabung”, tegasnya.

“ iya bu jangan selalu sendirian, ga asyik. Mendingan cari inspirasi sama kita-kita”, goda Hilda sambil melangkah pergi.

Pendidikannya tinggi: S1 jurusan komunikasi. Mungkin hanya segelintir atau bahkan tidak ada yang lulusan S1 di antara ibu-ibu ini. Tapi Selfi merasakan ada yang salah dan membuatnya minder untuk sekedar ikut menikmati obrolan hangat para ibu di sana. Ajakan Hilda diacuhkannya. Dan Selfi pun kembali asyik bermain dengan Hp-nya.

Adalah pertanyaan lumrah yang sering diutarakan anak-anak kecil saat berangkat sekolah: kapan ya aku diantar papah berangkat ke sekolah. Gubrakkk!!!! Ardan tak kuasa menahan keinginannya untuk berangkat sekolah diantar ayah. Mungkin Ardan selalu melihat temannya pergi sekolah diantar ayah dan mamahnya, lalu papahnya pergi dan mamahnya menunggu sampai kelas bubaran.

Jauh sebelum masuk TK, Ardan tak pernah lelah bertanya kapan ayah pulang, kapan bermain sama ayah?

Tapi Ardan tak menemukan itu. Setiap pagi Selfi mengantar Ardan seorang diri. Ayah kemana bu? Ah,,pertanyaan Ardan itulah yang membuatku minder.

Pernah suatu hari Ardan mogok ga mau berangkat sekolah karena permintaannya diantar ayah ga dipenuhi sang bunda. Selfi pun akhirnya kebingungan. Dia tidak mau berbohong, tapi tidak mungkin juga harus jujur sekarang ke Ardan. Belum waktunya.

Gunjingan tetangga menambah beban Selfi. Tinggal di rumah sederhana dengan seorang anak kecil, tapi tak pernah terlihat suami. Apa mau dibilang orang? Mungkin saja ada tetangga yang mengira ia istri simpanan, atau suaminya telah meninggal, atau mungkin tengah bekerja ke luar negeri. Ah, banyak sekali prasangka tetangga berseliweran merongrong kebanggaan Selfi sebagai ibu dari Ardan.

**

Selfi Ardian Kamidria, sosok gadis manis dan energik. Selalu bahagia, ceria dan penuh kreasi. Di kampusnya, Selfi dikenal sebagai sosok yang pepuler karena kemampuannya bersosialisasi dengan siapa saja. Ramah. Siapapun yang ada di dekatnya akan merasakan kenyamanan.

Cita-citanya satu: menjadi wartawati.

Berbagai aktifitas telah diikutinya. Selama empat tahun menempuh bangku kuliah, telah banyak kegiatan yang diikutinya, dari mulai kegiatan berskala lokal, nasional dan bahkan internasional. Kemampuan bahasa Inggris menjadi modal Selfi untuk bersosialisasi bersama para sahabatnya di berbagai belahan dunia.

Kisah hidupnya mulai terbalik 180 derajat tatkala memutuskan menerima pinangan Aria, seorang petinggi salah satu perusahaan. Cinta? Mungkin saja. Kenyamanan dan kehangatan Aria telah menundukan rasionalitas Selfi. Ia buta dan terjatuh dalam pelukan manja Aria. Padahal, Aria telah memiliki seorang Istri dan dua orang anak.

Ah, persetan dengan semua itu. Toh aku mencitainya. Aria juga mencintaiku. Esok biarlah terjadi dengan sendirinya. Bukankah hidup ini penuh misteri? Tak perlu kita takut dengan masa depan!! Begitulah pilihan Selfi pada Aria. Selfi telah menemukan alasan logis baginya memilih lelaki beristri menjadi suaminya.

Petualangan ini bagaikan permainan. Tak pernah tahu dimana dan kapan harus berujung. Kerisauan hanya akan mengggagalkan segenap pencapaian cita dan cinta. Toh aku mencintainya, maka yakinlah semua yang akan terjadi akan dapat dilalui. Itulah keyakinan Selfi atas cinta yang ia tambatkan pada sosok Aria.

Pernikahan Aria dan Selfi digelar tanpa pencatatan di KUA. Atas restu sang kakak, Selfi resmi menikah dan tinggal di kawasan Pamulang Tangerang Selatan. Aria untuk beberapa hari berada di rumah Selfi, hingga akhirnya mereka memutuskan membeli rumah di sebuah komplek di daerah yang sama. Di situlah mereka berdua memulai kehidupan sebagai suami istri yang tengah dimabuk asmara. Buta? Entahlah!! Hanya mereka berdua yang memahaminya.

Satu dua hari, tiga empat minggu, hingga bulan demi bulan, dan kini tahun telah berganti beberapa kali. Kerisauan itu mulai menghinggapi kehidupan Selfi. Tak sepenuhnya hari menghadirkan senyum kedamaian, karena hari mulai menampakkan realitas yang tak terbantahkan. Kehadiran Ardan, hasil cintanya dengan Aria, membuka lembaran baru kehidupan Selfi dan kisah cintanya.

Ada hal baru yang tak bisa lagi ia cuek: Ardan si jagoan kecil nan penuh keingintahuan. Pertumbuhan Ardan semakin menuntut kehadiran Aria, ayah sekaligus tempatnya bermanja ria. Seperti halnya anak-anak kecil, Ardan sangat ingin bermanja ria bersama ayah dan ibunya sebelum tidur. Atau sekedar jalan-jalan di pagi hari keliling komplek sambil jajan nasi uduk. Ah, keberadaan Ardan mulai membuka mata hati Selfi betapa ada yang salah dalam perkembangan Ardan.

Sosok Aria menjadi pusat kegalauan Selfi. Setiap Ardan merengek ingin ketemu ayahnya, Selfi tak bisa berbuat apa-apa. Pedih diraskannya. Ia iri dengan anak-anak yang lain yang selalu hangat dan ramai di pagi hari. Mereka lengkap. Sementara Ardan? Hanya aku yang menemaninya 24 jam.

“ Bunda aku kangen papah. Papah kemana bunda”.

“ Aku pengen dianter ayah bunda ke sekolah. Masa temen-temenku selalu dianter papahnya.”,,,,

Ah,,,rengekan Ardan membuatku semakin larut dalam kesedihan. Tapi tak banyak yang bisa kulakukan, hanya diam dan mencoba memalingkan Ardan kepada hal lain. Walau itu jarang berhasil!

Huh,, inilah yang dinamakan konsekuensi yang harus aku jalani? Menjadi isteri muda dari seorang pengusaha. Harta berlimpah tapi begitu sulit merasakan kehangatan. Bukankah ini pilihanku? Kenapa aku harus menyesal? Gundah Selfi dalam hatinya.

Selfi sadar betapa kehadiran sosok ayah tak pernah tergantikan, bahkan oleh harta sekalipun. Menjerit dan meronta, seakan ingin mengulang hari-hari dan takdir yang telah dipilihnya. Menyesal. Mungkin saja.

**

Kring..kring... suara bel sekolah berbunyi. Tandanya kelas telah bubar. Selfi bersiap menyambut Ardan. Dirapihkan tas dan isinya. Bergegas menghampiri ruang kelas. Satu persatu anak keluar dan disambut ibu atau penjemputnya.

Badan Selfi sedikit lemas. Perasaan bersalah membuatnya keropos. Seakan tak kuasa jika harus ada pertanyaan baru dari Ardan tentang Aria. Menggigil. Entahlah, hari ini bumi seakan emoh berputar. Berhenti di batas waktu. Hidup semakin tak pernah mau mengantarkannya ke masa depan, meninggalkan semua kerisauan takdir yang telah dipilihnya dahulu.

Wajah Ardan tampak lesu. Kuhampiri dan kuberikan sebuah kecupan hangat. Padahal hatiku menjerit. Tak pernah bisa kuberikan kecupan itu sepenuh hati, karena sesungguhnya aku menangis. Itulah pengakuan terdalam hati Selfi.

Bersama mio kesayangannya, Selfi dan Ardan meluncur meninggalkan keramahan warga. Kali ini mereka mencoba menghangatkan hari-hari keduanya dengan canda dan senyum. Berat memang, tapi harus dibiasakan!!

Esok tetap harus dijalani, dan masa lalu tak sepatutnya diratapi. Kami harus melangkah, jangan ragu!!!

Pamulang, Januari 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun