Di sini kurajut rasa yang sempat tumbuh saat usiaku memasuki remaja. Mereka menyebutnya cinta monyet. Lama kuberpisah dengan monyet itu, sampai akhirnya kujumpai lagi ia di sini. Dan ternyata aku masih mengaguminya, Nis.
Haram bagi seorang penghafal untuk mencintai seorang laki-laki, Nis. Karena itu akan mengganggumu menghafal. Itu doktrin yang aku terima dari guru-guru dan para senior. Saat pertama kali memasuki bangku kuliah, mereka menjagaku untuk tidak mengenal laki-laki. Padahal setiap hari aku berjumpa dengan laki-laki: supir angkot, satpan asrama, imam masjid, para dosen, hingga abang sopir dengan kumis tebal yang tiap hari mengantar para mahasiswi menuju kampus.
Konon, laki-laki itu candu. Sekali mengenal atau lebih dari itu, satu pintu akan menutup kekuatan menghafalmu. Mungkin karea itulah di kampus kami tak ada laki-laki dalam perkuliahan.
Candu, Nis. Karena lelaki itu penuh dengan rayuan gombal. Klepek-klepekpara wanita jika sang raja gombal datang di kehidupanmu. Dan lagi-lagi itu akan merusak konsentrasi hafalanmu.
Aku acuhkan semua itu, Nis.
Memang, banyak yang telah berubah dari ciputat. Tidak seperti 6 tahun lalu. Kini gedung-gedung tinggi berlomba menjadi yang termegah. Jejeran pedagang kaki lima tak lagi nampak disemrawutnya jalanan. Tak lagi dapat kujumpai para pedagang yang dulu biasa aku jajan, sekedar membeli aqua gelas, sambil menunggu jemputan itu datang.
Tapi tunggu. Macet masih ada ko, artinya Ciputat masih bisa kukenali. Hanya itu. sisanya? Baru dan tak berwarna lagi.
“Nah, ini dulunya bengkel-bengkel. Sekarang hanya kantor pos saja yang tersisa. Selainnya sudah dilebur. Tinggal batu nisan saja”
“Ia Nis, kasihan mereka terusir dari usahanya”
“Inilah namanya kota modern mba. Si kecil yang kusut dan kotor itu menggangu kesehatan katanya. Makanya harus digusur”
“Terus kenapa kamu begitu semangat kuliah disini?”