Mohon tunggu...
Imam Maliki
Imam Maliki Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia yang ingin berbuat lebih, melebihi rasa malas

Entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Parade Manusia Bertopeng

26 Oktober 2018   19:13 Diperbarui: 26 Oktober 2018   19:31 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

                Konon, Nusantara mempunyai peradapan luhur tiada duanya di dunia sejak dahulu kala. Seperti kisah-kisah dongeng tentang sebuah negeri yang makmur. Masyarakatnya di sabdo (digariskan) memiliki sikap toleransi dan menghargai orang lain. Dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa di dunia melalui penjaga perdamaian PBB atau forum-forum multinasional lainnya, penduduk yang mewakili nusantara cenderung di terima dengan tangan terbuka. Tentara kita jika di Libanon bukan kekuatan senjata yang di tonjolkan, tapi keluhuran budaya nusantara.

                Tapi kini, nilai-nilai itu seakan sengaja di lunturkan. Caci maki, saling fitnah, saling hujat seperti menjadi makanan sehari-hari. Mereka bangga ketika ada momentum berani menghujat dengan lantang dan kasar. Ketika dia melakukan kesalahan dengan lihai menangkisnya dan argument yang di buat-buat. Semua itu, entah karena imbas dari nilai kapitalis ataupun sosialis yang mereka pelajari di bangku-bangku kuliah di Negara berhala atau memang saat ini sudah saatnya dunia di takdirkan untuk mengalami kerusakan menyeluruh.

                Belum usai caci maki yang menghiasi layar televisi saat Ratna Sarumpaet berpura-pura jadi korban tindakan anarkis. Menyusul caci maki yang lain ketika ada drama di Garut atas nama bendera Tauhid. Drama di Garut berhasil menguras energi kemanusian kita.

Atasnama Tuhan, atas nama tauhid sebagian orang mencaci maki yang lain dengan membabi buta. Salahsatu politisi kita bahkan ada yang menyamakan dengan PKI. Padahal, drama Garut adalah drama manusia bertopeng. Nyaris tanpa tabayun (klarifikasi). Mereka memuntahkan kata-kata dari mulutnya seperti membombardir dengan bebatuan kawanan anjing-anjing. Mungkin di benaknya bilang, Eman toh klarifikasi, mumpung ada momentum, sekalian saja di gas pol teriak yang keras, penistaan agama.  

Bisa ditebak. Imbas dari nafsu manusia bertopeng itu menjalar ke daerah-daerah. Di beberapa daerah ketegangan meningkat. Kantor NU di rusak. Saling curiga. Suasana seperti balik di awal reformasi. Saling curiga dan memusuhi.

Kata Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) jika dulu manusia menghancurkan berhala dengan agama, kini agama telah di jadikan berhala. Padahal inti agama adalah pada sisi kemanusiaan. Mana mungkin seseorang di sebut beragama, jika dia tidak menganggap manusia sebagai mahluk terhormat. Sedangkan Tuhan saja memposisikan manusia sebagai mahluk terhormat, mengalahkan iblis yang di ciptakan lebih dahulu. 

                Sebenarnya, tidak perlu tabayun pun bagi manusia yang berpikir kejadian di Garut bisa di redakan. Mana mungkin Banser yang merupakan satgasnya Ansor yang tiap malam jumat menggaungkan kalimat tauhid semenjak isyak sampai larut malam, akan menistakan kalimat tauhid yang tiap minggu di dengungkan dan di muliakan.

                Tulisan ini tidak dalam rangka membela Banser lo! Ketika Ratna Sarumpaet keseleo lidahpun saya menyayangkan politisi yang tidak seirama dengannya menghujat dan mencaci maki. Tidakkah ada saluran yang kosong untuk mengalirkan noda dan riak itu agar tidak tersumbat, kenapa justru di tambahi dengan noda-noda yang bisa merusak keberagaman Indonesia.

                2018, saat tulisan ini di tulis. Politisi Nusantara sulit mengendalikan mulutnya. Apa mungkin debat kusir selama 4 tahun di DPR telah melatih mulutnya untuk mudah mencaci dan memaki. Kasihan generasi berikutnya di warisi  nilai-nilai yang kurang beradab.

Tengara itu seperti ada benarnya. Politisi muda dibeberapa partai baru sudah semakin lantang menghujat. Ada keyakinan di kalangan mereka bersuara lantang menunjukkan eksistensi, meskipun yang di suarakan jauh dari kebenaran. Maka, saya pun menyetujui apa yang di katakan presiden "Politisi Sontoloyo".

                Stop menghujat, lebih baik diam jika tidak tahu. Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun