Mohon tunggu...
Imam Maliki
Imam Maliki Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia yang ingin berbuat lebih, melebihi rasa malas

Entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Lebih Baik Menjadi Politisi atau Menjadi Pengusaha?

24 Oktober 2018   18:53 Diperbarui: 25 Oktober 2018   18:54 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Drama demi drama perpolitikan Indonesia telah di pertontonkan. Tidak menutup kemungkinan drama lanjutan juga akan terus tersaji sampai hari H pencoblosan pemilihan presiden dan wakil presiden dan anggota legislatif pada 17 April 2019. 

Karena drama, kejadian tidak terduga membuat berita media menjadi semakin menarik. Yang terbaru pembakaran bendera sebuah ormas di Garut yang di goreng kanan kiri menjadi komoditas politik.

Sebelumnya, siapa yang menduga aktivis kritis sekaliber Ratna Sarumpaet, yang anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Parbowo Sandi terbelit kasus hoak.

Siapa yang menduga Idrus marham mantan sekjen Partai Golkar yang jago lobi dan mempunyai kekuatan politik yang besar terjerat KPK karena kasus korupsi. Siapa yang menduga Habib Rizieq yang mempunyai darah arab dan mempunyai pergaulan yang luas di Arab Saudi harus berurusan dengan Pemerintahan Arab Saudi.

Pemilu kali ini berbeda dengan pemilu pada tahun-tahun yang lalu. Kali ini lebih seru dengan hadirnya media massa dan netizen yang mewarnai proses pemilu.

Dengan kekuatan media massa, dia bahkan bisa merubah opini masyarakat dari yang sebelumnya benci pada figure seseorang menjadi simpati dan respek. Dan sebaliknya media massa dengan mudahnya merubah seorang figure panutan menjadi figure yang paling di benci. Dalam tulisan ini saya tidak hendak membahas politik pada tataran praktis. Tapi membandingkan menjadi politisi.

Bagi yang sebelumnya apatis terhadap politik dalam negeri, dengan rentetan kejadian-kejadian itu menambah keapatisan semakin besar. Yang berniat ingin ikut dalam pusaran politik, harus berpikir ulang untuk mundur teratur.

Ada beberapa lakon pada drama Indonesia. Sebut saja Habib Rizieq, Ratna Sarumpaet, Fadli zon, Fahri Hamzah, Andi Arief, atau bahkan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Figur-figur di atas seperti mempunyai segmen 'penggemar' tersendiri. Jokowi tokoh sentral bagi koalisinya, tapi dia dibenci habis-habisan bagi koalisi yang lain. Dan sebaliknya Pabowo.

Pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di Garut salah satu bukti politik condong untuk membesarkan masalah kecil. Politik mempunyai kemampuan membolak-balikkan isu. Saat ini tim sukses saling mengamati, apa saja dari lawan yang bisa dimanfaatkan untuk di blow-up. Fenomena ini menjadikan masyarakat enggan untuk berpolitik. Masyarakat menganggap politik terlalu kejam dan kasar.

Menjadi Pengusaha

Saya dulu pernah aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan dan organisasi kepemudaan. Untuk level kabupaten saja tekanan ketika aktif di organisasi sangatlah berat. Fitnah dan intrik begitu kentara. Tidak hanya tekanan dari eksternal (competitor organisasi), tekanan di dalam internal (pengurus) pun sangatlah besar.

Ketika Bangsa Indonesia sebentar lagi mempunyai hajat besar yaitu pilpres dan pileg. Tekanan terhadap politisi berada di puncaknya. Seringkali politisi kehilangan akal sehatnya. Tidak peduli kawan atau lawan asal bisa meningkatkan ratingnya di depan pemilih semua akan dilakukan.

Pemilu tahun lalu teman penulis ada yang nyaleg di DPRD Kota Malang. Demi untuk meraup suara, dia merelakan mobil satu-satunya di gadaikan beberapa ratus juta.

Penulis melihat dengan kepala sendiri, gepokan uang itu di serahkan kepada tim suksesnya. Pada waktu penghitungan dia tidak lolos menjadi legislative. Sampai saat tulisan ini di tulis, teman saya yang 4 tahun lalu nyaleg itu saat ini masih berkutat dengan permasalahan hukum tentang hutang piutang. Yang menurut pengamatan penulis, imbas dari pencalegan periode lalu.

Saya pribadi setelah purna dari organisasi kepemudaan 10 tahun lalu, tidak lagi perkecimpung ke dalam organisasi manapun, baik social maupun politik. Beberapa Partai politik pernah mengutarakan untuk men-calegkan saya dengan nomer yang bagus. Saya pribadi belum merasa mampu untuk berbuat lebih banyak di politik. Jika saya nekat untuk menjadi politisi, kekuatiran saya justru kontraproduktif.

Tsunami korupsi terjeratnya 41 anggota DPRD Kota Malang itu bagian dari ketidaksiapan mereka menjadi politisi yang baik. Untuk menjadi politisi yang baik menurut hemat penulis, harus mampu dahulu secara ekonomi. Jika ekonomi sudah tertata dengan baik, dia tidak perlu lagi mencari-cari komisi dari proyek-proyek.

Menurut para cerdik cendekia, orang baik tidak boleh alergi dengan politik. Jika orang baik tidak mau berpolitik, maka orang-orang berwatak busuk yang akan menguasai pemerintahan. Tentang argumen itu penulis sepakat. Orang baik tidak boleh melepaskan diri dari politik. Tapi, seyogyanya siapapun yang sudah berniat terjun ke politik harus selesai dulu urusan dapur dan finansial.

Jika urusan finansial selesai, godaan matrealistik apapun yang tidak halal tidak akan mampu menggoyahkan imannya. Kecuali dia benar-benar figur yang rakus, seperti politisi kaya yang menghuni rutan Sukamiskin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun