Ketika Bangsa Indonesia sebentar lagi mempunyai hajat besar yaitu pilpres dan pileg. Tekanan terhadap politisi berada di puncaknya. Seringkali politisi kehilangan akal sehatnya. Tidak peduli kawan atau lawan asal bisa meningkatkan ratingnya di depan pemilih semua akan dilakukan.
Pemilu tahun lalu teman penulis ada yang nyaleg di DPRD Kota Malang. Demi untuk meraup suara, dia merelakan mobil satu-satunya di gadaikan beberapa ratus juta.
Penulis melihat dengan kepala sendiri, gepokan uang itu di serahkan kepada tim suksesnya. Pada waktu penghitungan dia tidak lolos menjadi legislative. Sampai saat tulisan ini di tulis, teman saya yang 4 tahun lalu nyaleg itu saat ini masih berkutat dengan permasalahan hukum tentang hutang piutang. Yang menurut pengamatan penulis, imbas dari pencalegan periode lalu.
Saya pribadi setelah purna dari organisasi kepemudaan 10 tahun lalu, tidak lagi perkecimpung ke dalam organisasi manapun, baik social maupun politik. Beberapa Partai politik pernah mengutarakan untuk men-calegkan saya dengan nomer yang bagus. Saya pribadi belum merasa mampu untuk berbuat lebih banyak di politik. Jika saya nekat untuk menjadi politisi, kekuatiran saya justru kontraproduktif.
Tsunami korupsi terjeratnya 41 anggota DPRD Kota Malang itu bagian dari ketidaksiapan mereka menjadi politisi yang baik. Untuk menjadi politisi yang baik menurut hemat penulis, harus mampu dahulu secara ekonomi. Jika ekonomi sudah tertata dengan baik, dia tidak perlu lagi mencari-cari komisi dari proyek-proyek.
Menurut para cerdik cendekia, orang baik tidak boleh alergi dengan politik. Jika orang baik tidak mau berpolitik, maka orang-orang berwatak busuk yang akan menguasai pemerintahan. Tentang argumen itu penulis sepakat. Orang baik tidak boleh melepaskan diri dari politik. Tapi, seyogyanya siapapun yang sudah berniat terjun ke politik harus selesai dulu urusan dapur dan finansial.
Jika urusan finansial selesai, godaan matrealistik apapun yang tidak halal tidak akan mampu menggoyahkan imannya. Kecuali dia benar-benar figur yang rakus, seperti politisi kaya yang menghuni rutan Sukamiskin.