Seorang teman (Eko), dahulu mantan aktivis mahasiswa di kampus Malang. Dia membuka usaha kuliner lalapan berbasis ikan laut (sea food) di dekat terminal Gadang Kota Malang. Modalnya besar, patungan dari beberapa teman dan seniornya di organisasi. Hampir Rp. 100 juta. Dia menyewa sebuah ruko di pinggir jalan. Sewa pertahun Rp. 30 juta, langsung sewa 3 tahun. Untuk beli peralatan, meja kursi dan lainnya membengkak lebih dari Rp.120 juta.
        Ketika awal membuka, dia mengundang teman-teman untuk mencicipi menu yang di jual. Ketika itu penulis langsung sangsi usaha ini bisa berjalan. Meskipun terletak di pinggir jalan raya, tidak ada daya tarik yang menyebabkan orang lain penasaran untuk mampir. Warna warungnya putih, sama dengan ruko-ruko di sekitarnya, harusnya di buat lebih mencolok. Benar juga warung itu hanya berjalan 5 bulan. Setelah itu tutup. Kabarnya dia kekuarangan modal untuk memutar bahan. Karena omzet di luar ekspektasi.
        Ada juga cerita teman. Dia ikut sebuah usaha bersama, berupa rumah makan warung padang. Usaha ini juga di gotong ramai-ramai. Sistem yang dipakai model slot (saham). 1 slot bernilai Rp. 10 juta. Teman saya ini beli 1 slot. Dari berjualan slot ini terkumpul Rp. 350 juta. Maka di bukalah warung makan padang di kota Bogor hasil uang patungan. 1 bulan berjalan, usaha di tutup sementara, karena karyawan bagian  masak meninggal dunia karena kecelakaan. 1 bulan berikutnya buka lagi karena sudah dapat koki yang baru. Hingga saat ini sudah berjalan setahun perhari omzet Rp. 400.000. Para pemilik saham  resah karena omzet tidak meyakinkan.
        Usaha Modal Kecil
        3 tahun lalu seorang teman mengeluh usaha jualan sandalnya sepi. Modal dari bank sebesar 10 juta seperti hilang tidak berbekas. Penagih dari bank (dept collector) hampir setiap hari datang ke rumahnya untuk menagih tunggakan. Saat itu semangat hidup seperti tidak bersisa. Jika tidak ingat anak istri dan tidak takut dosa, dia merasa mengakhiri hidup lebih dia pilih. Pendidikannya yang pernah di pesantren menjadikannya dia kuat untuk bertahan. Teringat sebuah ajaran agama yang mengatakan di balik kesulitan pasti ada kemudahan.
        Pada suatu hari, pada hari minggu bersama anak istri dia berkunjung ke saudaranya. Singkat cerita, dia menemukan ide untuk berjualan angsle dan ronde (minuman tradisional). Sudah berjalan 2 tahun usahanya itu. Sudah tidak terdengar keluh kesahnya, hasil jualan angsle dan ronde itu cukup untuk membiayai 2 anaknya. Rata-rata 60 porsi tiap hari dengan harga Rp. 5000 dan keuntungan 50%, bersih tiap hari Rp. 150.000. Perbulan dengan 25 hari kerja efektif dia berhasil mendapatkan Rp. 3.750.000. Sangat cukup untuk hidup di Malang.
        Ada lagi kenalan yang lain. Juga  sudah 2 tahun memulai usaha. Usahanya sate tahu Rp. 3000 per porsi.  Sebelum berjualan sate tahu. Dia harus sering merantau sampai keluar kota untuk menjadi kuli bangunan, kadangkala menjadi buruh angkut. Titik baliknya ketika saudaranya menyarankan dan mengajari cara membuat sate tahu. Dia mencari tempat yang strategis di depan pasar. Buka mulai pukul 10 sampai 17.00. Tiap hari minimal terjual 150 porsi. Dengan harga yang murah itu, pembeli seringkali membeli 3-4 porsi. Dengan keuntungan 50% tiap hari dia berhasil mendapatkan laba bersih Rp.225.000. Perbulan minimal Rp. 5.625.000 masuk kantong. Tak aneh, mobil baru terparkir di garasi rumahnya yang berlantai 2.
        Beberapa kisah nyata di atas menjadi pelajaran bagi yang bingung memulai usaha. Tidak perlu  menunggu modal besar untuk memulai usaha. Keuntungan usaha modal kecil, usaha lebih mudah di realisasikan. Resiko kerugian lebih kecil. Jika kuantitas penjualan lebih banyak usaha kecil ini tidak kalah dengan usaha dengan modal besar.
Usaha meskipun kecil, kita telah berhasil menjadi juragan bagi diri sendiri. Bekerja di perusahaan besar meskipun di posisi direktur kita tetap menjadi karyawan. Jangan tunda lagi untuk memulai usaha. Wallohua'lam.