Mohon tunggu...
Deni Ridwan
Deni Ridwan Mohon Tunggu... Akuntan - Just call me KangDeni

Pengamat pasar keuangan dan pasar kaki lima

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kaji Ulang Biaya Isi Ulang Uang Elektronik

18 September 2017   00:34 Diperbarui: 18 September 2017   08:03 3268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langkah untuk mengembankan keuangan inklusi dan meningkatkan transaksi nontunai mendapat momentum saat pemerintah memutuskan penghapusan transaksi tunai bagi pengguna jalan tol. Kebijakan ini diprediksi dapat mendongkrak pengunaan uang digital (electronic money) melalui kartu prabayar. Belum juga terealisasi, momentum tersebut seakan terganjal oleh kebijakan Bank Indonesia untuk mengijinkan lembaga keuangan mengenakan biaya untuk isi ulang uang elektronik tersebut. Wajar jika sebagian anggota masyarakat protes karena seolah bank penerbit kartu menyalip di tikungan dan masyarakat terpojok tanpa punya alternatif lain.

Bagi nasabah yang punya rekening tabungan dan kartu prabayar uang elektronik dari bank yang sama, perpindahan dana dari tabungan ke kartu prabayar tak ubahnya perpindahan dari saku kiri ke saku kanan. Menjadi sulit dicerna oleh logika awam jika perpindahan antar rekening sendiri dikenakan biaya, manakala transfer ke rekening orang lain pada bank yang sama justru tidak dikenakan biaya (Semoga para bankir tidak mendapat ide "nah kalau gitu, transfer pada bank yang sama juga kami kenakan biaya!").

BI beralasan kebijakan tersebut ditempuh untuk memberi insentif bagi lembaga keuangan untuk mengembangkan uang elektronik dan meningkatkan pelayanan bagi masyarakat. Tercatat saat ini ada 25 perusahaan yang menerbitkan uang elektronik di Indonesia, 11 diantaranya perbankan. Hingga Juli 2017 tercatat 69,5 juta uang elektronik dan 455.227 mesin reader e-money yang beredar. 

Saya belum mempunyai data berapa banyak investasi yang telah dikeluarkan oleh penerbit uang elektronik. Yang dapat kita perkirakan adalah dana yang dapat diperoleh lembaga keuangan dari bisinis ini, khususnya bank penerbit kartu prabayar. Hingga semester I-2017 jumlah uang elektronik berbasis kartu atau e-money milik Bank Mandiri tercatat 9,5 juta. TapCash milik BNI 1,5 juta kartu. Brizzi milik BRI 6,6 juta user, dan Flazz BCA tercatat sekitar 10 juta kartu. Jika ditotal dari empat bank tersebut saja jumlah kartu e-Money tercatat 27,6 juta kartu. Diluar itu masih ada kartu uang elektronik milik Bank Mega, Bank DKI, Bank BTN dan Bank Nobu. Untuk memudahkan ilustrasi, asumsikan saja total 30 juta kartu prabayar yang sudah diterbitkan oleh 11 bank.

Di awal saat membeli kartu uang elektronik, pengguna sudah dikenakan biaya kartu dengan kisaran harga Rp 20.000-50.000 per lembar. Nilai tersebut di luar saldo awal yang ada di masing-masing kartu. Dengan harga jual terendah Rp 20.000, bank dari penjualan 30 juta kartu dapat meraup penghasilan kotor senilai Rp 600 milyar. 

Jika isi ulang dikenakan biaya Rp 2.000  per transaksi dan pengguna melakukan isi ulang sebulan sekali, penghasilan yang dapat diperoleh bank senilai Rp 720 miliar (12 bulan x Rp 2.000 X 30 juta kartu). Kalau diasumsikan pengguna melakukan isi ulang seminggu sekali, penghasilan yang dapat diperoleh bank melonjak menjadi Rp 3,12 triliun (52 minggu x Rp 2.000 X 30 juta kartu). Lumayan kan? 

Selain itu, karena bank tidak memberikan bunga atas saldo dana di kartu e-money, bank masih dapat mendapat keuntungan dari hasil pengelolaan dana tersebut. Jika diasumsikan saldo rata-rata kartu prabayar senilai Rp 50.000, bank dapat memperoleh dana seniali Rp 1,5 triliun tanpa perlu membayar bunga. Kalau diinvestasikan dalam instrumen keuangan dengan imbal hasil minimal senilai suku bunga acuan BI 4.5%, Bank bisa mendapat tambahan keuntungan setara Rp 67.5 milyar. Not bad lah

Dari sisi pengelola tol, penghapusan transaksi tunai jelas menguntungkan baik secara operasional maupun finansial. Dari sisi operasional transaksi tunai dapat memperlancar antrian di tol sehingga mobilitas kendaraan makin tinggi. Dari segi finansial, pengelola tol tidak perlu lagi membayar gaji ratusan atau mungkin ribuan pegawai yang selama ini menangani transaksi tunai di gerbang tol. Efisiensi juga dapat dicapai karena pengelola tol tidak perlu lagi dipusingkan dengan pengelolaan dana tunai yang rumit dan mahal.

Dari sisi konsumen, kebijakan biaya isi ulang ini juga memaksa mereka untuk memiliki saldo dana lebih tinggi pada kartu e-money yang mereka miliki. Disini ada opportunity cost yang diderita konsumen karena tambahan saldo tersebut tidak mendapat imbal hasil dari bank. Selain itu, karena umumnya kartu prabayar ini unregistered, konsumen juga berisiko kehilangan makin banyak uang jika kehilangan kartu e-money tersebut.

Dari analisi sederhana diatas, terlihat bahwa bank dan pengelola tol yang mendapat paling banyak keuntungan dari kebijakan transaksi nontunai di jalan tol. Jadi sepantasnya mereka yang berinventasi untuk meningkatkan pelayanan kepada konsumennya. Kalau dibandingkan dengan transaksi kartu kredit, bukankah BI juga melarang merchant/toko untuk membebankan biaya transaksi kartu kredit kepada nasabahnya? Apa bedanya dengan isi ulang uang elektronik? Singkat kata, sebagai nasabah bank dan pengguna kartu prabayar, kami berharap BI sudi mengkaji ulang rencana biaya isi ulang uang elektronik. Semoga 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun