Mohon tunggu...
Robani
Robani Mohon Tunggu... PNS -

Guru pada MTsN 12 Kuningan Kec. Hantara, Kuningan Marketing Eksekutif PayTren pada PT. Veritra Sentosa International, Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rumorriak Tanjakan Muslim, Benarkah Masih Menantang?

28 Mei 2018   14:49 Diperbarui: 28 Mei 2018   14:57 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Takdir Alloh mengantarkan pengembaraanku kembali ke kampung halaman. Kuningan. Sewaktu kecil dulu, telingaku telah akrab dengan slogan, "Kecil-kecil Kuda Kuningan". Slogan ini menggambarkan bahwa kota kecilku ini punya sejuta energi bak tenaga kuda untuk lari berbenah diri dan melejit melampaui kota-kota lain. Menggapai asa  menjadi kota idaman penuh kegemilangan. Subhanallah!

Dan, sayapku pun melebar ke ujung jazirah, menyusuri bukit membiru, jauh ke pedalaman dari kota kecilku. Aku terdampar di sisi langit rabig Hantara. Sebuah daerah pemekaran dari wilayah kecamatan Ciniru Kabupaten Kuningan.

Setiap hari aku lewati onak dan duri. Pasir maupun kerikil tajam sering menghempaskan putaran semangat pada roda tungganganku. Si Abih (Abu-abu hitam) pun memaksaku mangarungi alur jalan yang mengular. Ada debu beterbangan, menggoda mataku dibalik jendela helm dan si kaca kembar hitamku. Ada deru "kolam ikan liar" di sana-sini kutemui, memaksaku untuk memilih jalur yang paling mulus. Oh .... belum lagi dibutuhkan keprigelan untuk mengatasi tikungan tajam.

Dan satu hal yang terpenting. Tanjakan Muslim. Tanjakan curam yang sering memacu adrenalin ini sering menjadi rumor di kantor tempatku mengabdi untuk pendidikan di negeri ini. Sebuah rumor yang berriak tanda tak dalam, jika dibandingkan dengan dalamnya kenikmatan kita menjadi seorang muslim. Bagaimanapun, nama tanjakan ini, konon adalah penisbatan pada nama warga pemilik rumah di pinggir jalan terjal tersebut.

Lepas dari rumor apapun tentang Tanjakan Muslim, aku merasakan kenikmatan tersendiri ketika melewatinya. Ada keinsyafan, ada harapan hanya pada Allah, ada sandaran hanya kepada-Nya, ada pengakuan ketakberdayaan di hadapan-Nya, ada pengakuan kelemahan jika tak ada pertolongan-Nya. Semua berbaur menjadi energi potensial, Untuk memacu langkah lebih cepat, lebih hebat, lebih sehat, lebih bermanfaat dan untuk menggapai selamat dunia-akherat.

Tanjakan Muslim memang tak sephenomenal Tanjakan Emen. Meskipun dari segi penamaannya jauh lebih berbobot dibandingkan jalur termashur yang sering merenggut maut tersebut. Hanya sebuah jalan desa yang menghubungkan dua buah kecamatan, yaitu antara Kecamatan Kadegede dengan Hantara. Tetapi bagi orang yang baru melewatinya, jangan salahkan jika nafas Anda senen-kamis. Berbeda dengan orang yang sering hilir mudik ke sini. Tikungan, tanjakan, bahu jalan yang labil adalah hal yang biasa. Mereka menikmatinya.

Tujuh tahun yang lalu, melewati jalan ini bagiku bagai bayi yang baru belajar merangkak. Peluh keringat, denyut nadi yang naik turun, perasaan was-was sering menghantui. Lebih-lebih jika semalaman habis hujan. Rasanya benar-benar menantang Adrenalin. Barangkali benar sekali pepatah mengatakan alah bisa karena biasa. Tanjakan terjal bebatuan nan berdebarkan ini lama-lama akrab juga denganku.

Baik-buruk, halus-kasar, bahaya ataupun tidaknya jalan ini, fluktuatif. Terkadang dipengaruhi oleh faktor cuaca. Faktor lainnya yang tidak kalah signifikan adalah beban kendaraan berat yang mengangkut bahan bangunan dari pusat kota ke perkampungan yang rindang ini. Jalan ini selalu dibutuhkan warga Hantara, karena merupakan satu-satunya jalur terdekat yang menghubungkan Hantara ke pusat kota.

Biar bagaimanapun  juga, masyarakat mengharapkan jalan ini direnovasi permanen. Mudah-mudahan pemerintah yang akan datang lebih peduli terhadap kondisi jalan seperti ini.Tidak hanya di Hantara, tetapi di daerah-daerah lainnya juga.

Oh iya selain tanjakan muslim yang penuh sensasi tadi, sekitar lima puluh kilo ke bawah terdapat pula jalan yang menukik dan menanjak cepat seperti lembah. Dulu kami iseng menamainya tanjakan kafir. Ehm. Belakangan kami ketahui, ternyata namanya tanjakan Lebak Biru.

Nah di atas lebak biru ada sebuah medan yang cukup unik. Jalurnya seperti rata padahal menanjak. Maka kalau salah mengoper gigi bisa berabe deh. Itu makanya kami beri nama tanjakan munafik. Ada-ada saja sih, dan memang mengada-ada. Tiada lain untuk menghibur diri agar kami tetap bisa tersenyum walaupun setiap hari harus melalui jalanan terjal seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun