Mohon tunggu...
Nur Azis
Nur Azis Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar sepanjang waktu

Bercerita dalam ruang imajinasi tanpa batas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Genting yang Bocor

3 November 2019   20:30 Diperbarui: 4 November 2019   01:34 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay/congerdesign

Sebagai laki-laki, pekerjaan yang paling dibenci oleh Malika adalah memperbaiki genting yang bocor. Terlebih, rumah yang sekarang dia tempati, kondisi atapnya sebagian besar sudah lapuk. Hal yang sangat lumrah, mengingat usia bangunan rumah itu sudah sangat tua.

Ingin rasanya, Malika merenovasi rumah itu. Mengganti dengan bangunan yang lebih modern. Bergaya minimalis, terlihat bersih, dan yang jelas, jika musim hujan datang, tak perlu repot-repot memperbaiki genting yang bocor.

Namun keinginan itu tak mudah untuk diwujudkan. Keinginan itu, selalu saja di tentang oleh Mak Darmi, ibunya. Bagi perempuan pensiunan guru itu, rumah yang sekarang ditempati, terlalu banyak menyimpan kenangan. Dia tak ingin, semua itu hilang begitu saja.

"Jika gentingnya bocor, tinggal diganti saja dengan yang baru. Tak perlu harus diganti semuanya. Toh, yang bocor hanya satu dua. Tidak semuanya." Demikian kata Mak Darmi, setiap kali Malika meminta izin untuk merenovasi rumah.

Bukan tanpa alasan, jika Malika bersikeras untuk merenovasi rumah. Dalam waktu dekat ini, Lelaki itu, berencana memperkenalkan kekasihnya, Leni, dengan ibunya. 

Lantas, bagaimana nanti jika hujan turun. Genting bocor, air menetes dimana-mana. Tentu dia akan sangat malu dengan kekasihnya itu.

Apalagi, sekarang ini, sangat sulit untuk mencari orang yang mau membetulkan genting yang bocor. Dulu, masih ada Pak Sugiman. Yang setiap saat dapat dimintai bantuan, hanya dengan imbalan dua bungkus rokok. Sekarang orangnya sudah tidak sempat lagi, setelah bekerja sebagai Satpam di salah satu pabrik.

Musim sudah berganti. Kemarin yang begitu terasa panas, bahkan di beberapa daerah, sempat mengalami kekeringan. Kini, hampir tiap malam, sehabis maghrib, hujan turun dengan deras. Dan seperti dugaan Malika, ada beberapa bagian genting yang bocor. Hingga air terus menetes. Di ruang tamu, depan TV, juga di kamar Mak Darmi.

Jika sudah seperti itu, Malika biasanya mempersiapkan ember atau sejenisnya untuk menadah bocoran air hujan. Mau bagaimana lagi, nyatanya, untuk memperbaiki genting yang bocor itu, jelas Malika tak berani.

Memang Malika takut ketinggian, ditambah kondisi genting yang memang sudah lapuk. Pernah dipaksakan, mencoba meniru langkah Pak Sugiman. 

Malika naik dengan tangga dari bambu. Melintasi beberapa buah genting, untuk menuju ke genting yang pecah atau bocor. Baru beberapa langkah saja, kakinya gemetar, injakannya tidak tepat, hingga beberapa genting yang semula baik, justru pecah karena injakan kakinya.

Memang laki-laki itu tak memiliki bakat sama sekali. Sejak kecil, memang tak pernah berkutat dengan pekerjaan seperti itu. Hampir semuanya, dikerjakan oleh bapaknya. Atau kalau tidak, akan dikerjakan oleh kakak tertuanya. Sekarang bapaknya telah tiada, sementara kakaknya, tinggal bersama istrinya di luar kota.

Malam itu, sehabis Maghrib, hujan kembali turun. Memang tak terlalu deras seperti malam-malam yang kalau. Namun, kali ini, hujannya cukup lama. Dan seperti biasanya, di rumah akan ada banyak ember yang berjajar untuk menampung bocoran air hujan.

"Mak, Leni mau datang ke rumah." Kata Malika, sambil memastikan posisi ember tepat berada di bawah genting yang bocor.

"Kapan?" tanya Mak Darmi.

"Ya, mungkin minggu-minggu ini, Mak."

"Ya lebih baik seperti itu. Tak baik pacaran lama-lama. Godaannya besar."

"Tapi, Mak."
"Kenapa?"

"Bocor. Rumah kita berantakan, seperti ini."

"Ya kalau bocor, Kamu perbaiki. Kalau tidak bisa, Kamu cari orang untuk memperbaikinya."

"Apa tidak baik kita renovasi saja rumah ini, Mak?"

"Sudah berapa kali Mak katakan. Tidak, tidak ada yang boleh merenovasi rumah ini. Biarlah seperti ini. Jika kamu tidak senang, silakan kamu buat rumah sendiri. Nikmati hasil jerih payahmu dengan anak dan istrimu nanti!"

Mak Darmi, memang mudah sekali terbawa emosi. Apalagi jika sudah membahas tentang renovasi rumah. Baginya, itu lah satu-satunya peninggalan yang dia miliki. Siapa pun yang akan menempatinya, entah itu Malika dengan istrinya kelak, harus bisa menerima kondisi rumah yang seadanya.

Dengan cara itu, baginya, calon penghuni rumah kelak, juga akan mau menerima dirinya apa adanya. 

Di masa tuanya, Mak Darmi sangat khawatir. Jika nantinya, Malika, seperti putra-putrinya yang lain, akan pergi meninggalkannya sendiri. Tak mau tinggal dan mengurus dirinya yang sudah renta, dan pasti akan sangat merepotkan.

Ke empat putra-putrinya yang lain, sekarang tinggal di luar kota. Bahkan ada yang sampai di luar pulau. Mereka hidup sejahtera sebagai sebuah keluarga. 

Memiliki pekerjaan yang mapan, dengan penghasilan yang bisa dibilang lebih dari cukup. Namun demikian, mereka sangat jarang mengunjungi Mak Darmi.

Padahal, perempuan itu sangat rindu. Bagaimana, dulu, sewaktu kecil. Mereka kumpul bersama di rumah ini. Makan yang serba seadanya, selalu dibagi rata.

Masih teringat jelas oleh Mak Darmi, saat suaminya menasihati anak-anaknya. Untuk jangan melihat pembagian makanan pada piring saudaranya. Suaminya itu selalu menekankan, "Nikmati makanan yang ada di depanmu, itu lah rezekimu!"

Barangkali, putra-putri Mak Darmi yang ada di luar kota, terlampau sibuk dengan pekerjaannya. Mereka bukan karyawan biasa. Mereka adalah karyawan-karyawan dengan jabatan yang tinggi. Tentu sangat sulit, untuk sekadar meluangkan waktu, untuk menjenguk dirinya.

Jika memang berjodoh, apa pun nanti, Lena seharusnya bisa mengerti. Kalaupun tidak, Malika sudah siap, jika harus mencari penggantinya. 

Bukannya tidak mencintai, perempuan yang sudah dipacarinya, hampir dua tahun itu. Tapi ini demi Mak Darmi, orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan kasih dan cinta.

Pada Sabtu malam, sehabis Maghrib, Malika membawa Lena ke rumahnya. Hujan sudah turun sejak sore. Air hujan seperti tak ada lelahnya, bahkan makin deras. 

Malika tak seperti biasanya, sepanjang jalan, sambil mengendarai mobil Fortuner hitam, lelaki itu lebih banyak diam. Jantungnya terus memompa lebih kencang.

Ini memang pertama kali, Malika mengajak kekasihnya ke rumah. Sekaligus, dia akan memperkenalkan dengan ibunya. Bukan hal yang mudah, karena Lena, adalah perempuan yang terbiasa hidup bersih. Tinggalnya di perkotaan, dan semua serba higienis.

Baru kali ini, Malika benar-benar tidak percaya diri. Bagaimana mungkin, Lena, kelak mau hidup bersama dengan dirinya. Tinggal bersama ibunya, dengan rumah yang usianya sudah puluhan tahun. Dan setiap musim penghujan seperti ini, sudah seperti comberan. Air menggenang di mana-mana.

Mobil Fortuner hitam itu, berhenti di depan rumah. Yang pagarnya terbuat dari besi. Sudah berkarat karena termakan usia. Dari dalam mobil, jika memandang sisi depan rumah, sudah hampir mirip dengan bangunan lama, yang tak berpenghuni. Beberapa cat temboknya sudah kusam. Kalaupun di cat baru, juga akan tetap terlihat kusam.

"Kita sudah sampai," kata Malika kepada Lena, yang duduk di sampingnya.

"Oke," jawab perempuan yang berkulit putih itu, singkat. "Kita turun sekarang?" dia melanjutkan.

"Iya kita turun," jawab Malika, dengan melepas tarikan nafas yang sedari tadi dia tahan.

"Sekarang?"

Malika memandang tajam, wajah kekasihnya. Dia memegang erat tangan Lena, "Aku sangat mencintaimu."

Lena menggenggam erat, genggaman tangan Malika. Perempuan itu, mendaratkan bibirnya yang merah pada pipi Malika. "I love you too."

"What wrong, Mal? Sepertinya ada sesuatu yang ingin kau sampaikan," Lena memandang Malika penuh tanya.

"Nothing ... its okay. Everything its okay..." Malika menghela nafas panjang.

"Are you sure, Mal?"

"Of Course. Everything its okay."

"Kita turun sekarang?"

"Iya."

"Em ... itu ibu Kamu, Mal?" Lena menunjuk seorang perempuan renta, yang berdiri di depan pintu.

"Oh iya, itu ibu saya, namanya Mak Darmi. Darmina Nasution lengkapnya."

"Okay, aku sudah tidak sabar untuk berkenalan dengannya."

Malika memajukan mobilnya, hingga tepat berada di depan rumah. Lampu mobil dia matikan, lantas dia mengajak Lena keluar dari dalam mobil. Dan mengantarnya, untuk bertemu dengan Mak Darmi.

Malika mengenalkan Lena pada ibunya. "Kenalkan, ini Lena, Mak."

Lena langsung mencium tangan Mak Darmi. Seketika hati perempuan renta itu, seperti tertegun.

"Kamu cantik sekali, Nak." Kata Mak Darmi, penuh kagum.

Lena tersenyum, "Terima kasih, Ibu."

"Di luar hawanya sangat dingin, ayo Malika, ajak lah Lena masuk ke dalam!"

Dada Malika berdegup makin kencang. Ada perasaan khawatir. Semacam takut, jika Lena merasa tidak nyaman dengan kondisi rumahnya. Apakah semua harus berakhir setelah pertemuan malam ini? Entah lah. Lelaki yang baru pertama kali menjalin hubungan dengan perempuan itu, benar-benar pasrah.

Mak Darmi menggandeng tangan perempuan, yang malam itu mengenakan gaun merah yang indah. Berjalan masuk ke dalam rumah. Sementara, Malika, berjalan di belakang mereka. Berharap, semua berjalan dengan penuh keajaiban.

Doa Malika terkabul. Doa seorang anak, yang begitu patuh pada ibunya itu, sungguh didengarkan oleh sang Maha Pencipta. Malika tak melihat ada genangan air di lantai ruang tamu. 

Tak ada ember atau kaleng bekas cat berjajar di lantai depan TV. Tak ada air menetes di samping kamar. Rumah itu, benar-benar kering, tak lagi bocor.

"Malika, ajak Lena ke meja makan saja. Mak sudah menyiapkan beberapa hidangan lezat. Yang mungkin, tak pernah kalian jumpai di restoran mewah mana pun. Tapi jangan kuatir, soal rasa, masakan Mak jauh lebih enak."

Obrolan di meja makan itu, terasa begitu hangat di tengah derasnya hujan malam itu. Mak Darmi banyak bercerita, tentang anak-anaknya yang sudah sukses dan tinggal di luar kota. Juga bercerita tentang Malika, tentang suaminya, dan juga tentang malam ini.

Mak Darmi bercerita, bagaimana dia memaksa Pak Sugiman, untuk memperbaiki beberapa genting yang bocor di rumahnya. Awalnya tentu saja Pak Sugiman menolak. Dia harus bertugas di Pabrik, dan tak bisa ditinggalkan.

Lantas Mak Darmi mengancam, jika dia tak mau memperbaiki, maka Mak Darmi sendiri yang akan naik ke atas atap. Mendengar ancaman itu, Pak Sugiman tak sampai hati. Hingga akhirnya, dia terpaksa bertukar jadwal dengan teman sesama satpam. Semua itu dia lakukan, demi Mak Darmi.

Jepara, 3 November 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun