Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Usulan Pak Mendagri Tak Diamini "Suara Tuhan"

5 April 2014   07:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:03 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernah dengan istilah vox populi vox dei? Istilah itu, artinya kurang lebih seperti ini : suara rakyat adalah suara Tuhan. Sebuah istilah yang kerapkali disematkan pada sebuah pesta demokrasi, bahwa rakyat adalah pemegang kuasa. Rakyatlah yang punya mandat kekuasaan. Sederhananya, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Suara rakyat adalah segalanya.

Jadi, kalau kemudian sebuah kontestasi politik itu dilakukan secara langsung dengan rakyat sebagai jurinya, maka itu adalah penghargaan bagi suara Tuhan. Tapi bagaimana kalau kemudian pemilihan itu dilakukan tak secara langsung, misalnya yang jadi juri penentu itu adalah wakil rakyat atau anggota parlemen. Adakah itu suara Tuhan juga?

Tapi yang pasti, kepercayaan rakyat kepada wakilnya di parlemen baik itu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  maupun di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, sedang buruk-buruknya. Banyaknya kasus seperti wakil rakyat yang ditangkap karena kasus korupsi, membuat rakyat kian tak percaya. Atau kisah wakil rakyat yang doyan bolos. Citra anggota parlemen pun di mata pemberi mandatnya cukup negatif. Rakyat banyak yang menganggap miring para anggota dewan. Padahal, mereka diberi mandat untuk memperjuangkan rakyat. Mereka juga disumpah agar tak mencuri duit rakyat. Tapi yang terjadi, banyak yang mengabaikan sumpah, mengkhianati rakyat, dengan mencuri uang milik khalayak alias korupsi.

Nah, sekarang pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, punya niat untuk merubah pemilihan kepala daerah, dari tadinya bersifat langsung dengan rakyat sebagai juri politiknya, dipindahkan ke gedung DPRD, dimana anggota dewan yang akan jadi juru coblosnya. Niat itu sudah dituangkan dalam RUU Pilkada yang dirancang kementerian yang sekarang dipimpin Pak Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri asal Sumatera Barat tersebut.

Lalu, seperti apa suara rakyat, terhadap niat dan usulan Kementerian Dalam Negeri itu, yang bertekad pemilihan kepala daerah itu dilakukan di dalam gedung DPRD. Charta Politika, sebuah lembaga riset politik di Tanah Air, mencoba memotret itu. Pada 5 Desember 2013, lembaga riset yang dikomandani Mas Yunarto Wijaya itu merilis telepolling yang bertema :  Qua Vadis Pilkada Langsung : Fakta dan Realita. Telepolling Charta sendiri, dilakukan antara rentang 18-24 November 2013.

Hasil telepolling sendiri, sebanyak 74,0 persen responden menyatakan, bahwa pemilihan kepala daerah sebaiknya tetap menempatkan rakyat sebagai jurinya, alias tetap dilaksanakan dengan cara pemilihan langsung. Sementara responden yang setuju dengan pemilihan kepala daerah lewat DPRD, hanya sebanyak 18,0 persen. Dan yang menjawab  sama saja, sebanyak 4,5 persen. Sedangkan yang menjawab tidak tahu, 3,5 persen.

Kalau merujuk pada telepolling Charta,”suara Tuhan” tak mengamini niat pemerintah, alias tak setuju atau menolak. Jadi usulan Pak Gamawan itu tidak segaris lurus dengan “ Suara Tuhan”. Apakah dengan itu, lantas Pak Gamawan bersama Kementerian Dalam Negeri yang dipimpinnya, mencabut niat memindahkan pemilihan ke gedung DPRD? Sepertinya, Pak Gamawan jalan terus. Karena usulan pemilihan lewat DPRD tak dicabut dari RUU Pilkada yang sekarang sedang dibahas dengan DPR.

Tapi, ada yang menarik, awalnya pemerintah mengusulkan pemilihan kepala daerah lewat DPRD itu hanya berlaku untuk pemilihan Gubernur, tapi kini mulai berubah sikap, pemilihan lewat DPRD sebaiknya di berlakukan untuk pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten atau kota. Sementara pemilihan Gubernur yang tetap bersifat langsung. Namun usulan itu, belum di iyakan oleh pihak Senayan, masih didebatkan.

Sementara saat ditanyakan kepada responden bagaimana sebaiknya mekanisme pelaksanan pemilihan kepala daerah,  sebanyak 60,5 persen responden menjawab sebaiknya pemilihan bupati atau wali kota dilaksanakan terpisah dengan pemilihan gubernur. Sedangkan responden yang menyatakan sebaiknya pemilihan di kabupaten dan provinsi di satukan atau dilaksanakan serentak sebanyak 28,0 persen.  Responden yang menjawab tidak tahu, hanya 11,5 persen.

Telepolling Charta Politika sendiri, menurut Mas Yunarto, dilakukan pada 18-24 November 2013.  Telepolling menggunakan sampel 9 kota besar di Indonesia, diantaranya, Medan, Palembang, Jakarta Timur, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar. Jumlah responden yang dilibatkan sebanyak 600 orang yang tersebar secara proporsional berdasarkan populasi pengguna telepon di 9 kota besar. Sampel dipilih secara proporsional berdasarkan populasi telepon di 9 kota. Pemilihan responden dilakukan dengan melalukan pengacakan sistematis. Tingkat kepercayaan telepolling adalah 95 persen dengan toleransi kesalahan sebesar +/- 4 persen.

Pada Rabu, 26 Maret 2014, Mas Yunarto dan kawan-kawan di Charta Politika, kembali merilis hasil surveinya yang kali ini bertajuk, “ Analisis Perilaku Pemilu di Pemilu Legislatif 2014 : Pengaruh Kekuatan Tokoh dan Media.” Isi hasil survei Charta kali ini, sebenarnya banyak terkait dengan elektabilitas partai dan juga calon presiden. Tapi, Charta juga memasukan pertanyaan kepada respondennya tentang pemilihan kepala daerah lewat DPRD.

Hasilnya, 80,0 persen responden menyatakan, pemilihan kepala daerah harus tetap dilakukan secara langsung alias menganut asas vox populi, vox dei, dimana suara rakyat yang harus jadi penentu. Sementara yang setuju dengan pemilihan kepala daerah lewat DPRD, hanya 10,3 persen. Sisanya, 9,7 persen responden menjawab tidak tahu.

Responden yang dilibatkan dalam survei Charta yang dilakukan pada 1-8 Maret 2014, sebanyak 1.200 orang. Mereka tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Sampel dipilih secara acak atau probability sampling dengan menggunakan metoda penarikan sampel acak bertingkat  atau multistage random sampling dengan memperhatikan karakter urban atau rural dan proporsi antara jumlah sampel dengan jumlah pemilih di setiap provinsi. Margin of error (MoE) survei Charta sendiri,  +/-2,83  persen  pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun