Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sedia Rupiah Sebelum Pesta

9 Maret 2012   13:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:18 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjadi orang nomor satu, seperti kepala daerah, entah itu gubernur, bupati atau walikota, tidaklah gratis. Kecuali, bila menganut sistem kerajaan, yang menjadi putra mahkota, tinggal menunggu saatnya menerima tahta yang turun temurun, sesuai garis keturunan. Tapi menjadi kepala daerah, tidaklah begitu. Apalagi sekarang pemilihan langsung yang diterapkan. Alhasil ambisi mesti ditukar dengan gelontoran rupiah.

Untuk level menjadi kepala desa saja, minimal puluhan juta harus disediakan. Tentang ini, saya pernah mendapatkan penuturan dari seorang kepala desa di Jawa Barat. Namanya, Pak Suhena, ia kepala desa Citenjo, yang terpilih lewat pemilihan langsung. Menurutnya, 50 juta ia habiskan, untuk ambisinya menjadi kepala desa. Itu untuk ukuran desa Citenjo, sebuah desa di ujung timur Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang penduduknya kurang lebih 3000-an orang. Ia terpilih sekitar tahun awal 2008. Uang sebanyak itu, habis untuk mengongkosi tim suksesnya, menggalang dukungan. Serta menarik simpati calon pemilih.

Maka jika ukuran desa saja, yang penduduknya hanya ribuan, rupiah sudah banyak dihabiskan, pasti untuk level pemilihan kepala daerah setingkat bupati, walikota sampai gubernur, bukan lagi jutaan nominalnya. Namun milyaran rupiah. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, sendiri mengakui, betapa mahalnya harga kursi kepala daerah. Rata-rata, seorang calon bupati, atau walikota, menghabiskan 15 milyar untuk membiayai ambisi politiknya. Kian besar lagi, bila yang dibidik adalah kursi gubernur.

" Bisa habis 30 milyaran atau bahkan ada yang lebih dari itu," kata Gamawan. Angka modal politik itu, selalu diungkapkan Gamawan, untuk mengilustrasikan betapa mahal harga menjadi seorang kepala daerah.

Padahal kalau menghitung gaji, bupati atau gubernur, uang politik yang dikeluarkan dalam pemilihan, jauh tak sebanding. Gaji resmi seorang gubernur sendiri hanya 8,5 juta perbulan. Atau bila ditotal selama lima tahun hanya 516 juta saja. sementara gaji pokok seorang bupati, hanya 2,1 juta rupiah. Ditambah tunjangan lain-lain, totalnya seorang bupati, atau walikota akan menerima gaji 6,2 juta. Ketimpangan gaji dan biaya politik itulah, sangat mungkin nantinya berbuah pada praktek transaksi politik. Entah nanti lewat proyek atau jauhnya, lewat tindak tercela melakukan korupsi. Sangat mungkin, karena politik berbiaya tinggi itu pula yang menyebabkan banyak kepala daerah berurusan dengan penegak hukum, karena dugaan kasus korupsi.

" Karena mungkin ada niat untuk kembali modal," kata Gamawan.

Tapi yang pasti, politik uang, menurutnya menjadi penghambat, bagi orang yang sebenarnya punya kapasitas dan kemampuan, tapi karena tak cukup modal untuk bertransaksi politik, peluangnya menjadi pemimpin mengecil atau tertutup. Karena dari pengalamannya, sebagai kepala daerah, sebelum menjadi menteri, uang mahar politik itu memang ada. Atau dalam istilahnya modal membeli perahu politik yang akan di tumpanginya maju dalam pemilihan.

"Dan karena politik uang betapa kita kehilangan orang-orang yang tak punya uang, tapi berkualitas dan layak menjadi pemimpin," ujar mantan Gubernur Sumatera Barat dan Bupati Solok itu. Apa yang di tuturkannya, Gamawan seakan ingin menegaskan, mohon maaf bagi yang tak punya cukup uang, seberkualitas apapun dia, peluang menjadi pemimpin kecil sekali. Karena politik uang telah begitu menjerat.

Biaya lainnya, yang banyak menjadi pos pengeluaran seorang kandidat yang berlaga di Pilkada adalah biaya survei. Arya Fernandez dari Charta Politika, yang sering menggarap survei Pilkada, mengungkapkan, sekali survei itu butuh biaya ratusan juta rupiah. Sedangkan Sahdan dari Fox Indonesia, menyebutkan, survei Pilkada itu tak cukup sekali. Sebelum jauh pemilihan, survei sudah dilakukan, untuk melihat kans peluang kandidat yang akan maju. Hasilnya penting, untuk merumuskan strategi. Lalu diperlukan lagi survei, untuk keperluan menjaring calon pendamping. Menjelang pemilihan dan mendekati hari pemungutan, survei juga dilakukan lagi, untuk melihat peluang menang.

Direktur Eksekutif Erge Media and Politic, Rovy Geovani, tak menampik jika harga menyewa lembaga konsultan politik dalam Pilkada, cukup mahal. Ia sendiri yang bergelut dengan bisnis konsultan politik, mengakui, biaya yang harus dikeluarkan para kandidat, membayar lembaga survei, cukup merogoh kantong dalam-dalam. Terlebih lagi, bila lembaga konsultan yang dipakai itu yang sudah tenar dan punya nama seperti, Lingkaran Survei Indonesia milik Denny JA, Lembaga Survei Indonesia, besutan Sjaiful Mujani, atau Fox Indonesia, milik Mallarangeng bersaudara.

" Memang sih, enggak bisa dirata-ratakan. Sangat tergantung bonafiditas perusahaan konsultan politiknya. Untuk ukuran Fox, misalnya kisarannya, yang saya tahu 2 milyaran," katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun