Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Money

Mimpi Ahmad dalam Sachetan Kopi Seduh

23 Juli 2011   19:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:26 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1311444125203722445

[caption id="attachment_124637" align="aligncenter" width="300" caption="Ahmad dengan sepeda sachetan kopi seduhnya"][/caption] Waktu merambat ke Ashar, tapi hawa Jakarta, masih terasa terik. Disebuah taman, yang terletak depan gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, di bilangan Menteng Jakarta Pusat, hawa terik memang tak begitu terasa.

Pohon-pohon besar, yang tumbuh berjejer sepanjang sisi dan tengah taman, yang membuat hawa terik ibukota terusir. Sepoi angin, dan rerindang daun-daun yang rimbun, membuat betah, siapa yang singgah di taman itu. Namanya Taman Suropati, sebuah taman favorit yang kerap disinggahi warga Jakarta.

Di taman itu pula, kala tanggal merah, keramaian begitu terasa. Banyak yang singgah, menikmati suasana teduh taman, yang memang semakin jarang di ibukota. Apalagi taman ini, cukup ditata rapi. Rumput yang tumbuh menghampar selalu hijau terurus. Makin menarik dengan ruapan air mancur yang dibangin di sisi kiri dan kanan taman. Tak heran, bila hari minggu tiba, banyak keluarga yang menyempatkan diri mampir ke taman ini. Di taman itu juga, tiap libur selalu digunakan, serombongan pemusik cilik yang berlatih menggesek biola. Atau para komunitas fotografi yang melatih skil menjepret kameranya. Bagi yang singgah, taman Suropati ibarat oase di tengah Jakarta yang sudah semakin sesak hutan-hutan beton.

Namun bagi Ahmad, lelaki muda asal Sampang, Taman Suropati adalah

’taman rejeki’. Di taman itulah ia mengais rejeki, mendapat sedikit rupiah dari para pengunjung taman. Bermodal sepeda ontel tua, Ahmad tiap pagi hingga sore memutari sekujur taman, menawarkan jualan kopi langsung seduh. Mimpi rejeki Ahmad memang ada dalam sachet demi sachet kopi langsung seduh.

Sepeda tua yang ia beli dari saudaranya ia dandani sebagai gerai berjalan. Di sadel belakang, ia buat bok dari triplek, tempat menaruh termos air panas, dan rentengan sachet kopi seduh. Tak hanya kopi, juga minuman langsung seduh lainnya, seperti milo, nutrisari, atau minuman sereal dan lainnya, adalah jualan lainnya yang ditawarkan Ahmad pada para pengunjung taman.

Sore, pertengah Juli 2011, saya, singgah di taman itu, sekedar melepas rehat usai meliput satu acara diskusi. Di taman itu pula, bertemu Ahmad, yang langsung menawari jualannya, begitu saya baru mau melangkah ke dalam taman.

” Kopi mas, kopinya,” Ahmad menawarkan jualannya.

Wajahnya nampak lelah. Tapi bersemangat penuh harap. Kopi hitam pun dipesan. Dengan cekatan, begitu sudah mendapatkan pesanan, Ahmad menuju sepedanya, langsung menyobek satu sachet kopi hitam, menuangkan dalam gelas plastik, baru diseduh dengan air panas dari termos yang ditaruh di sadel belakang sepedanya.

Saat ia sedang menyeduh, saya pun mengajaknya berbincang, sekedar mengorek suka dukanya sebagai penjual kopi sepeda. Menurut pengakuannya, ia anak kedua, dari tiga bersaudara. Orang tuanya, tinggal di Sampang Madura,ayahnya petani dengan beberapa petak tanah.

Sulitnya mendapat kerja di kampung halaman, membuat ia terpaksa mesti merantau. Ibukota jadi pilihan, karena disana, banyak pula orang Madura, bahkan yang sekampung dengannya mengais rejeki di ibukota. Di ibukota, ia menumpang tinggal dengan saudaranya di daerah Kwitang.

”Saya numpang tinggal sama saudara di Kwitang. Biar ngirit,”kata Ahmad.

Dari Kwitang pula, pagi-pagi ia sudah mengayuh sepeda dari Kwitang. Sampai Taman Suropati, sekitar pukul sembilan pagi. Lalu mutar-mutar, menawari pengunjung taman. Jika pagi, menurut Ahmad, pengunjung taman belum terlalu banyak. Memasuki tengah hari, pengunjung taman mulai berdatangan. Rejeki pun mulai mengalir lumayan di mulai dari tengah hari.

”Biasanya kalau masuk siang, baru banyak yang datang. Yang kerja kantoran, banyak yang istirahat sebentar di taman,”ujarnya.

Ahmad mengaku, mulai menjadi penjual kopi sepeda sejak awal 2011. Tadinya hanya jadi buruh bangunan. Lalu diajak teman sekampung, yang juga jualan kopi sepeda di Taman Suropati. Ada uang sedikit, ia pun langsung membeli sepeda dari saudaranya yang tinggal di Ancol. Dengan dikayuh, dari Ancol sepeda ontel tua itu ia boyong ke Kwitang, tempat ia numpang tinggal.

Lalu membuat bok dari triplek tempat menaruh jualannya. Juga keranjang sepeda bekas yang ia beli loakan dan ia pasang di depan sepeda, sama fungsinya sebagai tempat menaruh rentengan sachet kopi seduhnya. Awal tahun, ia pun beralih profesi sebagai penjual kopi sepeda. Rutinitas mengayuh sepeda pagi hari hingga malam ia jadi menunya tiap hari. Nyaris tanpa libur, karena minggu ketika yang lain menikmati liburan, ia mesti jualan, sebab di hari libur, rejeki lumayan didulang.

” Kalau lagi sepi, ya jualan dari jam 9 sampai magrib. Tapi kalau lagi semangat sampai malam mas, malah sampai jam dua pagi, karena kalau malam di sini ramai juga,”kata dia.

Keuntungan dari jualan kopi seduh, menurut ukurannya lumayan. Dari satu renteng kopi yang jumlahnya 10 buah, ia mengantongi untung 6.500 rupiah. Satu gelas kopi plus gelas plastik, ia jual 2000 rupiah. Jumlah rupiah dalam sehari yang ia bawa ke Kwitang, tak tentu. Kadang mendapat 40 ribu. ”Tapi bila ramai bisa dapat 80 ribu sampai 100 ribu,” ujarnya.

Menurut Ahmad, para penjual kopi sepeda di Taman Suropati, semunya orang Madura. Beberapa diantaranya, orang sekampungnya. Jadi ia merasa nyaman, serasa ada di kampung. Karena bila tak ada pembeli, dan sedang rehat, sepeda di parkir, lalu mengobrol ngalor ngidul sesama penjual kopi sepeda.

” Ya seperti di kampung sajalah, karena disini juga banyak teman kampung saya,”kata Ahmad.

Ikatan kekeluargaan pun begitu kuat sesama penjual kopi sepeda. Bila yang di pesan pembeli tak ada di sepedanya, ia pun akan sigap memanggil temannya yang menyediakan apa yang dipesan pembeli. ” Saling bantu, bila tak ada di saya, ya saya akan manggil teman yang ada,” kata dia.

Ahmad bukan tak punya cita-cita. Tapi apa mau dikata, keterbatasan ekonomi membuatnya hanya sempat menikmati sekolah sampai di bangku sekolah dasar. Padahal ia waktu sekolah, bercita-cita menjadi polisi. Tapi nasib mengantarkannya menjadi penjual kopi sepeda. Itu pun sudah ia syukuri, setidaknya ia tak menganggur, meski hanya berpenghasilan sedikit.

Saat ditanya, apa rencananya kedepan dan ingin menjadi apa, Ahmad hanya menarik nafas berat. ” Nggak tahu mas, jalani saja yang ada sekarang, soal nanti bagaimana, itu soal nanti,” katanya dengan lirih.

Di ujung obrolan Saya menanyakan umurnya, Ahmad mesem-mesem, sebelum menjawab. ”Lupa berapa yah,” katanya.

Ketika Saya berkemas, Ahmad terlihat, kembali mengayuh pedal sepedanya, menyusuri jalan setapak yang melingkari taman. Setiap ada pengunjung yang duduk-duduk di pinggir atau tengah taman, ia memelankan laju sepedanya, danmenawarkan jualannya. Dalam rentengan sachet kopi seduhnya, Ahmad menyimpan harapan sederhananya, rejeki bisa mampir ke kantongnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun