Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Pejabat Disangka Office Boy

18 Juli 2011   16:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:34 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1311607877623826608

[caption id="attachment_124996" align="aligncenter" width="300" caption="Nurhidayat, mantan Ketua Bawaslu yang oleh teman saya di sangka ofice boy"][/caption]

Ini kisah sejati yang senyata-nyata. Bukan rekayasa. Ini kisah yang tercecer, dari lapangan liputan. Kisah ini terjadi ketika negeri ini sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pemilu 2009. Kebetulan saat itu saya mendapat pos liputan di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lembaga inilah yang dikasih mandat oleh undang-undang melaksanakan hajatan pemilu. Kebayangkan sibuknya, lha hajatan pemilu itu bukan hajatan ecek-ecek. Ada ratusan juta pemilih yang harus dipastikan haknya.

Puluhan trilyun di gelontorkan biar pemilu itu sukses lancar, jujur, adil dan demokratis. Nah, cerita ini tentang pejabat. Ya, pastinya pejabat yang ngurus tetek bengek persiapan pemilu.

Tapi bukan pejabat KPU yang biasa disebut komisioner. Ini kisah tentang pejabat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Nah, lembaga itu sebelumnya bernama Panitia Pengawas Pemilu. Tapi saat menjelang pemilu 2009, dipermanenkan dari yang tadinya sifatnya sementara menjadi permanen. Serta tak lagi panitia namanya, tapi sudah jadi badan. Lumayan mentereng dan gagah namanya, Badan Pengawas Pemilu disingkat Bawaslu.

Badan ini, beranggotakan lima orang. Diantara lima orang ini, ada yang didaulat menjadi ketua. Nah, yang terpilih jadi ketua Bawaslu, namanya Nur Hidayat Sardini. Beliau dulunya mantan aktivis LSM, Perludem.

Tugas Bawaslu itu sendiri ngawasin penyelenggaraan pemilu. Tahapannya dipelototin apakah ada pelanggaran atau tidak. Yang diawasi termasuk KPU, bukan hanya parpol.

Sebagai badan baru, biasanya problem utamanya itu selain anggaran, ya kantor. Bawaslu itu, saat sudah dibentuk, sudah ada ketua serta anggotanya, tapi yang enggak ada kantornya. Terpaksa, saat itu Bawaslu nebeng dulu berkantor di KPU.

Agak unik juga, yang ngawasin dan yang diawasi ada dalam satu kantor. Karena nebeng, maka fasilitasnya ya terserah yang ditebengi. Kasihan juga sih melihat kondisi Bawaslu pada awal-awal. Sampai kalau ingin nge-fax saja, mesti ngalah mengantri menunggu kerjaan fax KPU selesai.

Bahkan, yang ngenesnya, untuk layanan minum saja harus si pejabat Bawaslu sendiri turun tangan. Ngenes kan, pejabat lembaga tinggi negara, mesti pontang-panting ke kantin.

Waktu itu, karena baru saja terpilih dan diangkat tak semua wartawan yang ngepos di KPU hapal wajah para pejabat Bawaslu.Oh ya lupa, pejabat Bawaslu itu dipilih oleh DPR, dan ditetapkan oleh presiden. Sebelumnya diseleksi oleh sebuah tim penyeleksi yang dibentuk pemerintah. Baru setelah disaring siapa yang lolos seleksi, dilakukan fit and proper test istilah, untuk mendapatkan kelima pejabat itu.

Terpilihlah lima orang, yakni Nur Hidayat Sardini, Wirdyaningsih, Agustiani Tio, Bambang Eka Cahya Widodo dan Wahidah Suaib. Saat nebeng di KPU, beberapa wartawan tak hapal wajah, maklum yang biasa liput proses fit and proper test adalah para kuli tinta yang ngepos di DPR.

Karena tak hapal wajah itulah, terjadi tragedi pejabat disangka office boy. Ceritanya begini, ketika sudah ada Bawaslu, selain para komisioner yang dijadikan narasumber, pejabat pengawas pemilu juga adalah sumber berita yang bisa dikorek tentang segala hal ihwal informasi persiapan pemilu. Ada tidak yang rada-rada melanggar atau seperti apa penilaian kinerja KPU, yang ditanya para pejabat Bawaslu. Kan salah satu tugas Bawaslu ngawasi kerja KPU.

Saat nebeng, para pejabat itu disediakan beberapa ruangan di sayap kiri gedung KPU. Karena satu gedung, lumayan menguntungkan wartawan, karena tak usah pontang-panting minta tanggapan, dari KPU dan Bawaslu. Coba kalau beda gedung, berabe kan.

Waktu itu, kita beberapa wartawan sudah mendapat pernyataaan dari KPU. Tinggal cari perimbangannya dari Bawaslu. Ditujulah, ruangan tempat pejabat Bawaslu ngantor di kantor tebengannya. Didapatlah pernyataan. Tapi ternyata ada satu wartawan yang saat itu tak ikut liput wawancara.

Setelah wawancara, para wartawan keluar gedung utama KPU, menuju media center, yang biasa dipakai untuk ngetik berita. Nah, Pram, wartawan Tempo yang tak ikut wawancara, melenggang sendiri ke ruangan para pejabat Bawaslu.

Pram cerita, saat ia sudah mau masuk ruangan, di luar nampak seorang lelaki agak pendek sedang merokok santai. Ia sangka itu adalah office boy Bawaslu. Dengan santai pula, Pram bertanya. “ Ketua Bawaslu ada?”

Yang ditanya agak gelagapan. Cuma menjawab ada. Pram pun dengan santai mengetok pintu ruangan Ketua Bawaslu yang ditunjukan ‘si office boy’. Karena diketuk-ketuk tak ada sahutan. Pram berkesimpulan, si tuan rumah tak ada. Ia pun putuskan pergi dari situ.

Ia pun pergi. Si office boy yang ia temui saat hendak masuk ke ruangan Ketua Bawaslu pun tak lagi nampak. Mungkin ke kamar mandi. Baru setelah itu. Pram kaget bukan kepala. Setelah dalam satu kesempatan Bawaslu gelar jumpa pers, ternyata ia baru ngeh, yang disangkanya office boy itu, tak lain dan tak bukan Ketua Bawaslu yang dicari. Ah, Pram...Pram... Kasihan pejabat kok disamakan dengan office boy. Tapi ngomong emang sama kali ya Pram, sehingga sampean berkesimpulan yang ngerokok santai itu pesuruhnya Ketua Bawaslu. Ibaratnya manunggaling kawulo Bawaslu he...he...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun