Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Tidak Semua yang Berbahasa Arab Itu Harus Diamini

14 September 2020   21:17 Diperbarui: 14 September 2020   21:21 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Ismael Paramo-Unsplash (edited) 

Ini adalah sebuah kisah tentang pengalaman saya sendiri ketika mengikuti shalat Jum'at di berbagai masjid yang pernah saya singgahi. Pada saat akhir khutbah pertama, biasanya khatib pun akan berdoa: "barakallahu lana wa lakum fil qur'ani al-karim.."

Seperti halnya doa pada umumnya, biasanya hal ini diiringi dengan aminan beserta tangan yang menengadah dari para jama'ah yang menyimaknya. 

Dalam tulisan ini, saya tidak hendak menyoal isi dari doa itu. Namun, saya hanya sedikit menyoroti kalimat berikutnya yang biasa mengiringi doa itu, "aquulu qaulii haadzaa wa astighfirullaaha rabbii wa rabbukum fastaghfiruuhu innahu huwa al-ghafuurur rahiim."

Kalau diterjemahkan dengan bebas maksud dari kalimat kedua sang khatib tersebut kurang lebihnya adalah: "Saya sampaikan pesan saya ini dan saya memohon ampun kepada Allah untuk diri saya sendiri dan untuk kalian, maka hendaklah kalian juga memohon ampun kepada-Nya. Sesunggunya Dia-lah Dzat yang Maha Pengampun lagi Maha Mengasihi." 

Jika dicermati terjemahan saya tadi [atau jika ingin lebih yakin juga boleh menggunakan referensi yang lain. Atau kalau ingin yang instan dengan memakai google translate], tidak ada dalam kalimat pak khatib tersebut yang berisi doa. Lantas, jika bukan doa kenapa tangan masih menengadah seperti layaknya orang yang berdoa? 

Maka sudah pasti, jawabannya adalah karena diantara jama'ah itu masih belum paham dengan arti dari kalimat yang disampaikan oleh sang khatib tadi, sehingga mereka menganggap hal itu sebagai sebuah doa. 

Apalagi biasanya khatib ini pun membawakannya dengan intonasi atau nada yang relatif sama dengan bacaan-bacaan Arab lainnya. Sehingga jama'ah yang masih belum memahami apa yang disampaikan oleh khatib itu pun sulit membedakan antara kalimat pernyataan biasa dengan kalimat doa.

Entah bagaimana harus memulai sosialisasi mengenai hal ini. Namun, setidaknya melalui tulisan ini, saya sudah memberikan sedikit pandangan sejauh yang saya tahu, yang itu boleh diterima atau juga boleh diabaikan. 

Namun, jika saya boleh sedikit memberikan pertimbangan manakala ada yang hendak menolak isi dalam tulisan saya ini, saya menyarankan pada siapa saja untuk membayangkan manakala suatu waktu mereka bertemu dengan orang Arab yang mengajak berbicara dengan bahasanya sendiri, yakni bahasa Arab? 

Apakah kiranya mereka juga akan mengamini semua yang diucapkannya itu? Jika memang itu yang terjadi, maka alangkah lucunya hidup ini. [mam]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun