Mohon tunggu...
Taryadi Sum
Taryadi Sum Mohon Tunggu... Insinyur - Taryadi Saja

Asal dari Sumedang, sekolah di Bandung, tinggal di Bogor dan kerja di Jakarta. Sampai sekarang masih penggemar Tahu Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aku dalam Ketakaburan di Laut Cina Selatan

27 Desember 2012   08:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:58 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu tahun 2007,  sudah sangat lama memang. Cuaca cerah sekali,  burung-burung laut tampak riang bercengkrama sambil menikmati hangatnya matahari pagi. Kamipun berangkat dari Pulau Laut dengan tujuan ke Pulau Natuna menggunakan pompong kecil , besarnya hanya lebih sedikit dari angkot tetapi lebih panjang. Cuaca yang cerah memang merupakan syarat untuk kami bisa berlayar di Laut Cina Selatan yang kabarnya cukup ganas tersebut.

Dalam pompong itu kami hanya berlima berikut tekong (pengemudi) kapal. Dua jam pertama kami sangat menikmati suasana laut yang terlihat masih agak dangkal. Sesekali kami menjuntaikan kaki ke laut, meskipun banyak yang mengatakan kalau itu pantangan dalam berlayar. Selain burung-burung laut, kami bahkan menjumpai ikan hiu yang siripnya muncul di permukaan. Kami seolah ada dalam perjalanan wisata.

Waktu hampir menunjukkan jam 12 siang, saat sang tekong berkata : “satu jam lagi kita sampai…..” Entah mengapa ucapan sangat biasa itu aku tafsirkan sebagai suatu sikap takabur. Hatiku tiba-tiba sangat khawatir kami mendapat masalah dan tidak segera sampai di tujuan karena ucapan takabur Sang Tekong tersebut.

Jantungku semakin berdetak, saat lima menit kemudian mesin kapal tiba-tiba mati. Pengemudi kapal masih sangat tenang dan mencoba memperbaiki mesin kapal.Setengah jam belum juga selesai, kamipun terkatung-katung di tengah lautan. Saat itu, tiga di antara kami bergiliran memompa air yang masuk ke dalam lambung kapal. Sementara seorang tertidur lemas karena sejak berangkat tadi sudah mabuk laut.

Setelah satu jam upaya tekong itu tiada hasil, dua orang penumpang lain yang kebetulan teknisi telkomsel mencoba membantu memperbaiki mesin kapal. Usaha merekapun berhasil dan mesin kapal hidup lagi. Hatiku mulai sedikit tenang. Akupun kembali semangat memompa air laut yang selalu masuk saat kapal diterpa ombak. Namun hanya sepuluh menit rasa tenang itu sirna, saat melihat asap keluar dari mesin dan mendadak mati. Rupanya blok mesin yang paling bawah itu retak sehingga oli mesinnya habis.

Akhirnya kami semua akhirnya terdiam. Pengemudi kapal itu berujar “jika kita hanyut ke batas perairan Vietnam, maka jangkar harus diputus dan mesin harus dirusak”. Menurut dia, itu merupakan akal agar tidak dipenjara kalau tertangkap Polisi Laut Vietnam. Aku kembali tersenyum kecut, terbayang aku akan menjadi bahan berita dan berurusan dengan kedutaan negeri lain.

Sampai menjelang magrib, kami bergiliran mengibarkan bendera putih dengan berdiri di atas kapal untuk mencari pertolongan. Aku juga heran, kok tiba-tiba berani berdiri di atas kapal sekecil itu yang oleng di lautan lepas. Sedikitnya ada enam kapal sejenis yangsempat mendekat, namun setelah hampir dekat selalu menjauh lagi. Aku akhirnya bertanya : “mengapa mereka tidak mau menolong?”. Sang tekong mengatakan jika bukan kapal biru, yaitu kapal yang berasal dari Pulau Laut, mereka tidak akan menolong. Ia pun mengaku berlaku demikian, jika yang minta pertolongan bukan kapal biru tidak akan ditolong. Menurutnya ada sentimen antar kelompok pelaut di Perairan Natuna yang menyebabkan demikian. Kamipun akhirnya tertunduk lesu.

Hari mulai gelap. Aku kehilangan harapan. Aku dan dua teman teknisi itu saling memandang ketika mata melihat 4 buah jerigen ukuran 20 literan yang berada di sudut kapal. Kami seolah sependapat, “jika harus berenang untuk mempertahankan hidup, mengapa tidak”.

Hampir satu jam setelah gelap, aku baru teringat dua senter kecil dalam ranselku. Dengan mengedip-ngedipkan senter itu, aku berharap sinarnya dapat memancing perhatian kapal lain yang lewat. Satu senterku habis batrainya, aku lanjutkan dengan senter kedua. Tiba-tiba terdengar suara kapal mendekat, dan memang benar dekat sekali sampai sekitar 10 meter. Kamipun diliputi kegirangan luar biasa.

Namun seperti kapal-kapal sebelumnya, kapal itu hendak pergi lagi. Tapi Tekong kapal kami berteriak “tolong selamatkan penumpangnya, biar saya dan kapal ini tetap disini”. Aku sebenarya sangat keberatan jika kapal mogok itu tak ikut ditarik, tapi ia bilang sudah biasa dan tidak masalah. Si Tekong hanya pesan agar memberi tahu bosnya yang kebetulan tinggal di Natuna diminta menjemput kapalnya di Laut Penajam.Dengan menyesuaikan irama kapal, aku yang pertama melompat ke kapal yang ternyata kapal nelayan yang pulang menangkap ikan. Sinar rembulan akhirnya menyertai kami mendarat sekitar 30 km dari Kota Natuna. Kabin kapal nelayan yang penuh lendir ikan yang bau amis, seakan ruangan nyaman hotel bintang lima.

Lima tahun sudah kejadian itu berlalu. Kapal pompong biru, konflik nelayan antar pulau , Laut Penajam dan senter kecil adalah bagian-bagian yang tak akan terlupakan dalam hidupku meskipun sangat disadari bahwa Allah lah yang menyelamatkan kami...

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun