Mohon tunggu...
Taryadi Sum
Taryadi Sum Mohon Tunggu... Insinyur - Taryadi Saja

Asal dari Sumedang, sekolah di Bandung, tinggal di Bogor dan kerja di Jakarta. Sampai sekarang masih penggemar Tahu Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kartu Kredit Memicu Hidup Konsumtif

25 November 2017   00:40 Diperbarui: 25 November 2017   01:11 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tahun 90an memiliki kartu kredit rasanya special banget. Apalagi masih dalam status lajang, rasanya seperti eksekutif muda meski gaji tak seberapa. Ya, pelayan toko atau restoran yang tampilannya cantik-cantik pun senyumnya berbeda pada pelanggan yang membayar tunai dan pakai kartu kredit.

Meski semua orang tahu kalau yang pake kartu itu belanjanyaa ngutang, tetapi orang lebih melihat bahwa pemilik kartu kredit itu orang yang bergaji besar. Setidaknya itu yang tertuang dalam persyaratan untuk memiliki kartu hutang tersebut.

Saya pertama kali memiliki kartu kredit sekitar 1 tahun sebelum menikah. Tujuan awalnya sih hanya untuk gaya-gayaan dan mengikuti gaya hidup eksekutif meski cuma tinggal di rumah kos-kosan. Dengan kartu itu secara langsung saya dapat menyampaikan pada khalayak bahwa gaji saya di atas UMR gitu.

Ketika pertama kali menggunakannya di sebuah supermarket, di kasir tertera tulisan yang kira-kira bunyinya "Pakai kartu kredit minimum belanja 50 ribu".  Yang biasanya saya hanya beli kopi dan mie instan saja, saat itu langsung mengambil kerajang dan mengambil apa saja agar nilai transaksi lebih dari 50 ribu.  Dari mulai tusuk gigi, tisu dan barang-barang lainnya yang keperluannya kadang-kadang saja.

Setelah dihitung di kasir, nilainya ternyata nembus angka 150 ribu lebih. Saya hanya terkaget sejenak dan masih sempat tersenyum karena masih jauh dari plafon kredit yang limitnya 2 juta.  Padahal biasanya saya terperanjat kalau belanja saya ternyata melebihi badjet ketika masih menggunakan uang tunai.

Kejadian itu berlanjut sampai 2 tahun setelah menikah. Meski istri lebih selektif dalam mengambil barang yang akan dibeli namun tetap saja, karena pengendalinya hanya limit kredit dengan cicilan hanya 5% saja. Pengendali itu menjadi tidak berarti karena gaji bulanan saya tidak sebesar limit tersebut.  

Awal tahun 2000 an, saya pindah dari Bandung ke Bogor dengan beban 2 kartu kredit yang hampir mencapai limit kredit. Karena diperkirakan akan hidup permanen dengan bekerja di Jakarta, rumah yang di Bandung kami jual.  Dengan tekad menjalani penghidupan yang baru di sisi Jakarta, saya tutup kedua rekening itu dan bertekad untuk tidak lagi memilikinya.

Memang sih kalau sebelum-sebelumnya kartu itu bisa menjadi solusi ketika kekurangan uang,  setelah tidak punya terpaksa harus memutar otak lebih kencang dan main sulap agar gaji bisa mencukupi sampai gajian berikutnya. Namun lama-kelamaan kami terkondisi juga dengan situasi itu dan akhirnya benar-benar tidak tertarik dengan berhutang kecuali KPR karena memang untuk membeli rumah perlu dana yang cukup besar.

Kondisi itu membuat kami lebih selektif dalam membeli barang. Kami sudah dapat memisahkan mana barang yang ingin dibeli dana mana yang perlu dibeli. Jika masih memiliki kartu kredit, sepertinya susah memilah antara keinginan dan kebutuhan tersebut.

Yang paling penting, hidup lebih adem tanpa kartu kredit. Karena ketika awal bulan tidak harus transfer sana transfer sini tanpa ada barang yang didapat saat uang itu lenyap.

Salam......

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun