Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Sini Hari Ini Kami Sudah Merdeka, Bung!

16 Agustus 2011   00:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:45 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Abah bergegas jalan. Katanya, takut terlambat. Tidak boleh terlewatkan. Rasanya aku setengah diseret oleh Abah. Cengkeraman tangan Abah cukup kuat. Tapi, sekali-kali aku bilang pada Abah, kalau aku kelelahan, maka Abah pun menggemblokku di punggungnya. Sepanjang jalan Abah berkata padaku, “Nak, ini peristiwa penting. Kau harus menyaksikan sebab kelak engkau, anakmu, cucumu yang akan memaknai peristiwa ini.”

Waktu itu aku tidak paham. Umurku baru lima tahun. Yang aku tahu dan ingat Abah tadi pagi sudah siap-siap mau pergi ke Kantor Wedana. Bahkan, Abah semalam membuat bendera kecil warna merah dan putih dari kertas minyak. Entahlah, darimana Abah dapat kertas itu. Mungkin, Abah minta sama Koh Iyong, pedagang kelontong dan lain-lain di simpang jalan itu. Abah dan Koh Iyong berteman baik. Entah apa sebabnya. Tapi, kedua orang itu kontras. Koh iyong kulitnya terlihat putih, sedangkan kulit Abah hitam legam, tanda petani tulen yang sehari-harinya dijemur sinar matahari. Koh Iyong matanya sipit, tapi Abah belo, bundar bulat seperti mengisyaratkan keoptimisan hidup. Keduanya kalau ngobrol seru banget.

Sekali-kali aku sering nguping pembicaraan Abah dan Koh Iyong. Tapi, kemarin pembicaraan mereka serius banget. O ya, kata Abah, di kampung kami cuma Koh Iyong yang punya radio. Itu pun sedikit saja orang yang tahu.

“Benar begitu, Koh?” tanya Abah, seperti ingi lebih yakin lagi.

“Benar, sudah menyerah mereka, itu yang saya dengar,” kata Koh Iyong.

“Ramalan Jayabaya benar juga ya, Koh,” suara Abah seperti gembira, “mudah-mudahan Ratu Adil akan benar-benar datang.”

“O ya, coba Abah tanya sama teman Abah yang anggota Peta. Mungkin beberapa hari ke depan akan ada kejadian penting di kewedanaan.”

“Baiklah, Koh. Nanti saya coba-coba tanya sama teman Peta saya.”

Nah, itu kemarin siang. Setelah itu, Abah pulang sehabis magrib. Waktu ditanya Emakku, Abah menjawab, “Besok akan ada kejadian penting. Itu kabar dari temanku.” Lalu, Abah mengeluarkan dua kertas minyak berwarna merah dan putih. Dipotong sejengkal-jengkal. Bukan pakai gunting, tapi pakai pisau dapur emak. Lantas, Abah ke dapur. “Mak, ada sisa nasi?” tanya Abah.

“Tidak ada Abah,”jawab Emak.

Abah keluar rumah, ngambil getah pohon. Tak lama, Abah sudah masuk rumah lagi.

“Nak, ayo bantu Abah,” ajak Abah kepadaku.

“Abah mau bikin apa?” tanyaku.

“Abah mau bikin bendera, Nak,” jawab Abahku.

“Kok, warna merah putih?” tanyaku heran.

“Nak, merah-putih, itu seperti tradisi kita. Bubur merah bubur putih. Tradisi yang telah hidup ribuan tahun lalu. Besok bendera ini akan kita kibar-kibarkan di kantor kewedanaan.” Begitu penjelasan Abahku.

“Kenapa kemarin-kemarin Abah tidak bikin bendera?”

“Jepang tidak suka bendera kita, Nak.”

“Kenapa?”

“Warna merah bendera kita lebih banyak daripada bendera Jepang.”

Akhirnya sampai juga di depan kantor kewedanaan. Cukup banyak orang di sana. Banyak yang berdiri gelisah seperti sedang menunggu sesuatu. Tapi, tampak tentara Peta berjaga-jaga dengan persenjataan lengkap. Persis di depan kantor Wedana, bendera merah putih berukuran besar sudah berkibar.

Melihat bendera besar itu berkibar, maka aku pun mengeluarkan bendera merah putih kecil yang semalam kami buat. Beberapa orang yang datang ke sana pun mengeluarkan bendera merah putih kecil. Lalu, dengan malu-malu—atau mungkin takut-takutan—mengibar-ngibarkannya.

Lalu, Abah bertanya pada salah seorang tentara Peta, “Jadi, proklamasinya?”

“Kita tunggu… Bung Karno dan Bung Hatta sedang dibawa ke sini,” jawab tentara Peta itu.

“Bung Karno? Kata siapa?” Abah terkejut.

“Chodanco Oemar Bachsan yang bilang begitu. Kami disuruh jaga-jaga takut terjadi apa-apa.”

“Oh, Bung Karno…, Nak, kampung kita ini kedatangan orang besar, Nak.” Kata ayah setengah berbisik padaku.

Bung Karno, siapa? Ah, aku tidak paham.

Sepulang dari kantor wedana, kami ketemu Koh Iyong. Lalu, Abah berbincang dengan Koh Iyong. Mereka serius. Berkali-kali Abah menyebut-nyebut nama Bung Karno. Abah begitu bangga menyebutkan nama itu. Koh Iyong yang mendengarnya pun matanya berbinar-binar. Sering keduanya berdecak-decak, sebagai bukti kekaguman yang luar biasa.

“Jadi, Koh..Di sini hari ini kita sudah merdeka,” kata Abah.

Lalu, sambil mengepalkan tangannya, Koh Iyong berseru pada Abahku, “Merdeka, Bung!

Keduanya tersenyum.

Setelah ngobrol dengan Koh Iyong, Abah pun menggemblokku menuju rumah. Sepanjang jalan Abah berkata, “Nak, kita merdeka. Kita sudah merdeka. Kelak kamu bebas sekolah. Kamu bisa jadi dokter, bisa jadi insinyur. Kita tidak perlu bayar uang sekolahnya, Nak.”

Aku diam, punggung abah terasa empuk.

“Nak, nanti petani seperti abah dapat pupuk gratis… orang sakit tinggal pergi ke rumah sakit, tidak perlu bayar obat… nanti, kita punya presiden sendiri, Nak. Kamu boleh jadi presiden…”

Suara abah makin terdengar pelan. Rasa kantuk menyerangku, lalu aku tertidur dan bermimpi. Bukan menjadi presiden, bukan menjadi dokter, bukan menjadi insinyur. Aku bermimpi menjadi petani seperti Abahku…..

[tambun15082011]

fiksi lainnya:

http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/08/15/sebuah-kubur-tak-berpatok/

http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/08/11/tajir-laki-laki-tanpa-kemaluan/

http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/08/10/perempuan-yang-berdandan-di-pinggir-jalan/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun