Begitulah kisah. Perempuan muda menyeberangi samudera, tangan kecilnya seakan hendak merengkuh luasnya dunia. Berkeluh-kesah bukan tabiatnya, menunggu hujan emas telah ia singkirkan dari anganya.
Poniyah, perempuan lugu melanglang buana. Malaysia, singapura, kini di Saudi Arabia. Bukan plesiran menghabiskan warisan, tapi mencari sesuap nasi sebagai kepastian. Delapan belas tahun meninggalkan rumah, tiga anaknya tumbuh besar tanpa sempat merasakan belaianya.
Poniyah perempuan berhati baja ditempa derita. Pernah dikejar-kejar pria Bangladhes bahkan hampir dirudapaksa, pernah punya majikan gemar menyiksa dan menganiaya.
Poniyah tak pernah sekolah, hanya perempuan lemah meniti kejamnya dunia. Tak melawan meskipun gaji sering tak dibayar, tak menjerit meskipun rindu anak seperti teriris.
Demi apa Poniyah menanggung derita?
Demi apa puluhan tahun terpisah dari keluarga?
Jika Kartini hidup di masa kini, kan dipeluknya Ponia dengan airmata tertumpah.
Poniyah belum hendak pulang, hingga menyaksikan anak-anaknya menjadi orang.
Jangan tanya tentang ridu, jangan ceritakan makmurnya negeri tercinta. Poniyah berjuang demi cita-cita.
*****
Baganbatu, mei 2021